Just Do It

Melakukan sesuatu, apalagi hal baru bagi diri kita, apalagi diluar zona nyaman, apalagi yang out of the box bahkan without the box, apalagi hal tersebut asing bagi orang-orang, semua itu memiliki tantangan tersendiri. Namanya hal yang baru bagi diri kita pasti ada rasa khawatir, khawatir gagal, khawatir diri sendiri ga bisa mencapainya. Itu sangat wajar, wajar banget. Ciyus.


Namanya melakukan suatu hal diluar zona nyaman kita pasti ada rasa takut. Namanya melakukan suatu hal yang out of the box bahkan without the box, yang asing bagi orang-orang, pasti ada rasa takut, khawatir. Takut gagal, takut di cemooh, khawatir ga mampu, khawatir apa yang dilakukan salah.


Takut, khawatir, ragu, itu sangat wajar. Alamiah terjadi pada kita yang hendak melakukan hal yang baru. Kita bisa menaklukan rasa itu aja udah hebat apalagi kita melakukan suatu hal yang baru, yang memang benar-benar ingin kita lakukan.


Jika kita melakukan suatu hal yang asing bagi orang-orang pada umumnya, pasti cemooh itu ada. Saya mendeklarasikan diri sebagai Pendakwah Persiapan Pernikahan itu banyak yang cemooh saya. Sakit? Bukan sakit lagi, sakit banget. Berasa apa yaaa, lebih sakit di cemooh dibandingin patah hati *eh, hehe. Beneran, serius. Saya dicemooh kayak gitu berasa dia lagi bilang “Eh lo tuh siapa sih? Ngaca dong ! Nikah aja belom, umur masih segitu, masa udah bahas persiapan pernikahan. Ga pantes ! Nyadar diri kali. Soktoy banget belum nikah bahas-bahas nikah. Impossible banget.”


*NarikNafasPanjang* Panas banget denger orang yang cemooh saya. Dibilang kalo bahas pernikahan ya mestinya udah nikah dong. Dengan yakin saya bilang “Emang kalo kita bahas tentang kematian, kita mesti mati dulu baru kita pantes bahas itu? Emang kalo kita bahas surga neraka mesti pernah kesana dulu gitu baru setelah itu kita layak ngebahas surga neraka? Toh nikah ga mesti punya pengalaman dulu baru nikah. Toh bisnis ga mesti punya pengalaman dulu baru bisnis. Syarat punya pengalaman itu cuma ada dilowongan pekerjaan. Bagi seorang pemenang bukan IMPOSSIBLE tapi I'M POSSIBLE.”


Saya ga peduli apa yang orang katakan terhadap saya. Bagi saya, nyebur aja deh dulu. Tenggelam apa ga itu urusan entar. Kalo kata Ippho, jalan aja dulu, otak kanan. Kayak proklamasi Republik Indonesia, segala sesuatunya nanti dah belakangan yang penting kita merdeka dulu. Saya juga gitu mikirnya, udah jalan aja dulu dah.


Saya selalu yakin Allah pasti memberikan kepandaian pada saya dalam perjalanan. Karena tujuan saya bukan tujuan pribadi, bukan tujuan materialistis. Saya berdoa, semoga Allah memberikan tolong dan kurniaNya pada saya dalam menjalankan dan mewujudkan visi misi saya. Saya yakini itu. Yakini sama dengan mengimani.


Kalo kita baru punya ide aja udah melempem, takut, khawatir, ragu, ini itu, dls, RUGI! Beneran rugi dah. Karena kita ga pernah tau ide itu bakalan berhasil apa ga kalo kita ga jalanin dulu. Kalo kita udah yakin sama Allah, mengimani Allah Maha Kaya, Allah Maha segalanya, kun fayakuun. Allah yang bertanggung jawab atas apa yang kita lakuin. Kalo kata Nike (merk terkenal itu) Just Do It.


Maka dari itu, lurusin niatnya. Sertain Allah dari awal, proses, sampe akhir. Supaya Allah ridho, supaya kalo ada apa-apa Allah mau nolongin, supaya kalo kita salah caranya Allah ngelurusin, ngasih tau cara yang bener yang baik yang tepat tuh ini loh. Lagi-lagi ini tentang tauhid.


Saya dalam perjalanan aja berasa ditampar, dibanting, dijatohin sejatuh-jatuhnya. Saya dibilang tengil, saya dibilang sombing (level diatas sombong, hehe), saya dibilang gini gitu, oke saya terima. Karena ga mungkin orang bilang saya gini gitu tanpa ada sesuatu yang saya tanam sebelumnya. Itu saya jadikan bahan renungan supaya saya memperbaiki dan lebih baik lagi. Itu yang saya maksud Allah pasti memperjalankan, memandaikan kita, memberikan tolong dan kurniaNya.


Dari pesakitan-pesakitan itu, saya bisa menghasilkan satu lagu ciptaan yang ketika saya nyanyikan itu mengingatkan saya untuk selalu rendah hati, down to earth, humble (halah artinya samiun basirun wkwkkw). Lagu itu mengingatkan saya untuk terus belajar menjadi orang yang humble, mengingatkan agar saya ga lagi mengulangi cara-cara yang kurang baik dan kurang tepat. Saya masih nothing aja bisa ciptain lagu karena dicemooh begitu, apalagi kalo saya jadi something :)


Anjing menggonggong, kafilah jangan berlalu gitu aja dong. Ajakin dong anjingnya biar ikut juga menelusuri kehidupan ini biar ga sendirian, biar ada temennya *EAaaaa. Justru Allah hadirkan orang-orang tersebut, yang mencemooh, yang meragukan kita, yang underestimated (bu gulu kalo salah mohon koreksi yaaaa) kita, untuk menjadi pelecut, pemacu semangat kita. Juga agar kita bisa membuktikan kepada mereka “KAMU SALAH MENILAI SAYA!” dan membungkam mulut mereka dengan kesuksesan. Secara ga langsung mereka adalah mentor mental kita.



Banggalah terhadap diri sendiri, karena apa? Karena kita melakukan sesuatu, tapi mereka? Mereka pun melakukan sesuatu yaitu sibuk mencemooh, sibuk melatih mental kita, sibuk urusi urusan kita. Terakhir saya ingin tepuk pundak kamu, “Banggalah pada dirimu sendiri J” Selamat ACTION.



@imardalilah

p1

Mie Instan Aja Ga Instan

Melihat segala yang terjadi di Negara ini, orang-orang ‘gemes’ pengen mengubah semuanya. Ngeliat program televisi yang acakadut ga karuan, orang-orang pada pusing, protes ke Komisi Penyiaran Televisi ga ada tanggapan. Ujungnya cuma bisa cengo liatin tuh program-program televise tetap berjalan.


Ngeliat para pejabat pemerintah, anggota legislatif, hingga anggota yudikatif, pada korupsi, pada kolusi, nepotisme, orang-orang pada ‘gemes’ ga karuan. Rasanya pengen jambakin mereka sampe botak dan rambutnya ga tumbuh lagi. Gemes pengen nyubitin mereka, nyubit yang kecil sekecil-kecilnya sampe orang-orang itu jejeritan minta ampun. Gemes pengen kelitikin mereka sampe mereka ketawa-tawa ga bisa diberentiin. Yaaa ga usahlah dipenjara sama denda. Cukup itu aja hukumannya. Tapi digituin sama 250juta masyarakat Indonesia.


Gemes juga sama caleg yang money politic, pasang baliho gede-gede dipinggir jalan (untung bukan ditengah jalan), pasang pamphlet di pohon-pohon sampe bikin aktivis lingkungan geram. Tebar pesona sana sini. Orang-orang udah muak, skeptis, apatis sama caleg-caleg yang saat ini sedang mendominasi dalam kehidupannya. Katanya politikus itu brengsek, ga bersih, cuma peduli sama kepentingannya sendiri dan kelompoknya.


Orang-orang juga gemes liat program pemerintah ini itu kok kayak ga serius, ga ada yang bener, ga ada yang beres. Macet lah, banjir lah, susah cari kerja, jalanan rusak, dan segala macem dah kalo ditulis disini ga akan cukup list-nya. Ibu-ibu yang belanja sayuran tiap pagi ngeluh harga sembako naik, ongkos angkot naik, tarif listrik naik, serba naik. Sebagai manajer keuangan rumah tangga, mereka pusing ga karuan. Harga yang naik ga seimbang dengan gaji yang naik.


Itulah di negeri ini begitu banyak permasalahan. Salutnya, masyarakat tetap hidup mandiri sekalipun pemerintah, anggota legislatif, anggota yudikatif pada ble’e sebagian besar. Kenapa saya sebut sebagian besar? Karena saya yakin, didalamnya masih ada orang-orang baik dan amanah, bukan sekedar ada tapi buaaanyak.


Banyak dari kita –masyarakat Indonesia—yang mengutuk kondisi negaranya. Daripada kita mengutuk kegelapan, mending kita jadi cahaya, yekan? Toh kutukan sekutuk-kutuknya, sebanyak apapun orang mengutuk, ga akan pernah mengubah kondisi Indonesia saat ini.


Seorang pemenang selalu berkata,“Saya akan melakukan ini untuk kita.” Sedangkan seorang pecundang berkata,”Itu bukan tugas saya.” Kalo kita terus-terusan mengutuk kita termasuk pecundang. Pecundang itu selalu melihat masalah, selalu memiliki alasan, beda dengan pemenang yang selalu melihat solusi dan memikirkan jawaban apa yang bisa dia lakukan.


Saya sering denger juga ketika seseorang dihadapkan pada satu masalah dia bilang “Iya sih mungkin aja tapi kayaknya sulit deh buat dijalanin.” Nah itu jawaban seorang pecundang. Sebagai pemenang kita mesti jawab “Iya emang sih sulit tapi mungkin aja buat dilakuin dan dicapai.”


Belom lagi rasa pesimis kita yang ditambah dengan bilang “Yah bisa aja ngelakuin itu tapi kan butuh waktu yang lama, butuh proses.” Hehe, BroSis mie instan aja yang disitu jelas-jelas ada tulisan INSTAN ternyata ga instan. Buat nikmatin semangkok mie instan ada prosesnya juga. Apalagi dalam menghadapi satu masalah, udah pasti lah butuh proses, butuh waktu.


Semua permasalahan negeri ini ga bisa secepat kita mengedipkan mata lalu kelar masalah. Kita mesti kudu harus wajib optimis kelak masalah di negeri ini kelar, Indonesia jadi Negara percontohan Negara-negara lain.


Kita tau semua butuh proses dan waktu. Yang mesti kita pikirkan bukan kapan masalah ini selesai tapi apa yang udah saya lakuin untuk menjadi bagian dari solusi, bagian dari cahaya yang menerangi kegelapan ini? Kapan itu hak Allah untuk menjawabnya, tugas kita sekedar ikhtiar mengusahakan solusi terbaik. Guru saya bilang Allah yang memberikan solusi terbaik, kita –manusia—hanya bisa mengusahakan yang terbaik. Jika kita fokus pada Allah, maka Allah akan berikan yang terbaik.



Jadi, masihkah mau menjadi bagian dari tim pengutuk kegelapan? Bukankah gelap itu karena ga ada cahaya? Atau kita mau dan sedang menjadi bagian dari tim cahaya? Mie instan aja ga instan.



@imardalilah

p1

Debat dan Diskusi

Dulu semasa SMA ada mata pelajaran yang di presentasikan, dibahas oleh masing-masing kelompok lalu ada sesi tanya jawab. Dari sesi tersebut muncullah satu diskusi mengenai materi yang dibahas oleh kelompok yang mempresentasikan.


Pada saat itu saya paling getol mantengin tuh kelompok presentasi, cari celah mana yang bisa ditanyain. Kalo boleh jujur sih tujuan saya nanya selain kepo juga nyari ‘ribut’, hehe. Ada juga pertanyaan yang saya ajukan bukan karena saya ga tau. Saya tau jawabannya tapi saya mau nguji aja, belagu kan? Hihihii.


Engga tau sih kenapa dulu begitu. Eh apa sampe sekarang ya? Yang jelas pas zaman SMA itu yaa karena pencarian jati diri juga kali yaaa. Ego-nya masih sangat tinggi, selalu pengen diatas. Padahal kelasnya ga diatas juga sih, cuma lantai 2. Hehe. Cuma itu yang ga saya protes supaya bisa lebih diatas, karena dilantai 3 itu kelas IPA. Sedangkan saya kelasnya IPS, bisa-bisa dijitakin guru sampe botak.


Walhasil yang terjadi bukan diskusi malah debat kusir. Apalagi kalo saya udah berhadapan dengan ‘rival’ saya. Sebenarnya sih saya ga pernah anggap dia rival tapi itu kesan yang nampak dari dia. Saya seneng banget kalo dia K.O, hehe. Ga berkutik, mati kutu, wohoooo serasa diatas awan cinton-nya Goku, wkwkkw.


Sekarang saya sadar, namanya diskusi itu beda banget sama debat. Diskusi itu tukar pikiran, tukar pendapat, (tapi ga tukar-tukaran hati *eh) brain storming ya bahasa gaulnya? hehe, sampe nemuin satu solusi. Kalo debat itu nyari ribut, hehe. Mengedepankan ego dengan cara memenangkan opini masing-masing. Pokoknya orang lain bener, saya yang paling bener.


Sekarang masih banyak ko orang yang lebih seneng debat dibanding diskusi. Ada juga yang bilangnya diskusi tapi ga taunya itu mah debat. Walaaaah. Acara tv aja banyak kan yang debat, ga solutif, ga ada ujungnya. Cuma bikin rame doang dah.


Di Facebook juga sering tuh gegara status, terus komen, bales komen, bales lagi, ujung-ujungnya debat. Makanya kalo saya sih lebih baik ga jawab deh komen-komen yang ga ada substansinya (muncul lagi nih kata hehehe). Kalo dijawab, entar ga ada ujungnya. Mending saya diem aja, ga jawab.


Lagipula adanya kolom komen itu bukan berarti si tamu boleh seenak dengkul komen. Kalo punya pendapat lain dan keukeuh sama pendapatnya bikin aja status sendiri di akun facebooknya, jangan nyampah di status orang. Main di facebook itu ibarat kita main dirumah orang lain, ga sembarangan masuk, ga sembarangan duduk di ruang tamunya. Namanya Home si empunya akun, terserah dia mau nulis apa.


Sebisa mungkin hindari debat. Kalopun kita mau tanya, yaa mesti mau terbuka. Yaa jangan sampe kayak waktu saya SMA nanya cuma buat nguji doang. Itu namanya sok, belagu, sombong. Diskusi itu sangat baik agar kita tau opini orang tentang suatu hal, agar pengetahuan kita pun bertambah. Bisa jadi opini orang lain lebih ngena dibanding opini kita.


Acara debat mahasiswa pun menurut saya gimana yaaa. Saya sih kurang paham apa tujuannya tapi itu membuat mahasiswa hebat berdebat tanpa bertindak. Yaaa itu sih menurut penglihatan saya yang saya juga ga begitu paham tentang lomba debat itu. Akan lebih hebat debat lalu bertindak.



Jangan kita ikut-ikutan berdebat saat melihat orang lain sedang berdebat. Hindari perdebatan, perbanyak diskusi. Kalo ikut-ikutan berdebar pas papasan ketemu doi sih gpp, itu tanda masih punya jantung. Hehe.



@imardalilah

p1

Agent of Change

Semenjak kakak saya pindah dan saya tinggal sendiri, rumah terasa sangat sepi. Kakak saya yang lain menyarankan untuk memindahkan televisi ke kamar saya agar saya ga begitu kesepian *halah* hihihii. Akhirnya televisi pun dipindahkan ke kamar saya lalu saya dibelikan remotenya, berhubung tombol pindah channelnya udah rusak. Hehe.


Jujur aja, udah lama banget saya ga nonton tv. Kalo pun nonton itu sebentar sekali. Karena bagi saya, program tv saat ini udah jarang ditemukan yang bermutu. Semua programnya sama, ga ada pilihan. Ya pilihan terbaik ga nonton tv.


Dengan adanya tv di kamar saya, saya jadi lebih sering menonton tv dibandingkan sebelumnya. Ada hal yang bisa saya amati dari program-program tv. Pagi hari saat saya menonton tv ternyata masyarakat Indonesia disuguhkan dengan tontonan sinetron yang isinya menurut saya negatif. Belum lagi dengan iklan-iklan yang ada. Semakin lengkap, komplit, dan WOW.


Bayangkan, pagi-pagi dimana kondisi otak masih segar, masih bersih, dijejali dengan tontonan sinetron yang menyeramkan, perselingkuhan, keserakahan, permusuhan, kejahatan, dll. Belum lagi begitu pabalatak (eh itu bahasa apa yaaa, hehe), banyaknya infotainment yang pagi-pagi udah nongol.


Ya pantes aja ibu-ibu kalo ke warung belanja sayuran udah bergosip, gibah, pagi-pagi udah ada infotainment. Pagi-pagi udah ada sinetron yang ga jelas alur ceritanya, kontennya, pesan yang disampaikannya. Jika kondisi ini terus menerus dibiarkan, entah jadi apa Indonesia ini kelak.


Media elektronik jelas sangat berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan masyarakat. Sangat jelas bahwa kita belum merdeka, kita sedang dijajah melalui media elektronik. Siapa yang menguasai media, dia bisa kuasai opini publik, menguasai otak manusia. Inilah penjajahan yang paling berbahaya.


Iklan banyaknya menjual si model iklannya bukan produknya. Belum lagi substansi (halah ini bahasa keluar disini) dari iklan tersebut banyak yang nyerempet-nyerempet ke hal yang yaaaa gitulah. Misalnya aja iklan parfum, kenapa adegannya wanita yang tergoda oleh bau harumnya pria, yang terkesan mengumbar syahwat? Pernah juga saya liat iklan pasta gigi, ada dalam satu lift, nah terus ujung adegannya si pria dan wanita berdekatan dekat sekali wajah satu sama lain. Lagi-lagi adegan yang mengumbar syahwat.


Seharusnya masyarakat sebagai warga Negara dilindungi dari hal-hal seperti itu dan memang itu adalah haknya. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan sudah seharusnya bisa mengatur sendi kehidupan dalam rangka mensejahterakan warganya. Sejahtera itu ga selalu pendapatannya mencukupi kebutuhan dasar tapi juga melindungi masyarakat dari suatu hal yang dapat merugikan.


Jika pemerintah ga mampu, mau ga mau keluarga menjadi satu-satunya pondasi yang mesti berperan aktif. Walaupun dalam hal ini ga ada excuse bagi pemerintah menyelenggarakan suatu sistem Negara yang baik.


Keluarga, terutama ayah dan ibu, harus memahami pengaruh dari media elektronik yang dinikmati oleh anak-anaknya. Merekalah yang wajib melindungi anaknya dari pengaruh media yang udah ga sehat lagi. Para penjajah itu sangat cerdas mereka merasuki generasi muda melalui media. Saat generasi muda dan wanita pada suatu Negara itu hancur, maka hancurlah Negara tersebut.


Apakah sebatas itu tugas kita sebagai manusia atau kelak yang menjadi ayah dan ibu? Menurut saya ga Cuma itu, kita pun memiliki tugas untuk memperbaiki kondisi yang acak kadut seperti sekarang ini. Milikilah impian kita menjadi salah satu dari agent of change.


Entah kita mengubah dengan cara menjadi pengusaha media yang sehat, yang program-programnya mendidik, entah dengan cara kita menjadi guru yang benar-benar mendidik bukan sekedar mengajar dan mengejar uang. Entah dengan cara kita mempersiapkan diri menjadi orang tua yang cerdas, yang bisa mendidik anak sesuai zamannya.


Entah dengan cara kita menjadi seorang menteri, pejabat pemerintah, yang bisa membuat aturan/kebijakan yang melindungi warga negaranya. Dan entah dengan cara apapun, asal bukan dengan cara kita berdiam diri dan menyerahkan semuanya pada Tuhan tanpa adanya usaha dari diri sendiri, juga bukan dengan cara demo. Jadilah agent of change, perubahan yang baik.




@imardalilah

p1

Anak Cerminan Orang Tua

“Kamu ini kalau dibilangin ngeyel, liat tuh si Andi anaknya baik, ga kayak kamu kerjaannya maen mulu. Dasar pemalas !” omel ibu Doni karena kesal.


Kejadian seperti itu nampaknya sering banget kita jumpai dalam kehidupan  sehari-hari. Kayaknya kita juga udah terbiasa, udah ga asing lagi dan tiada duanya, hehe. Entah terdengar dari tetangga, orang tua yang sedang menunggu anaknya sekolah, atau mungkin orang tua kita sendiri.


Hayooo... Realita tersebut ga dapat ditolak, ya itulah yang terjadi bahkan sering terjadi. Apa sih yang menjadi penyebabnya sampai orang tua itu doyan banget ngomel. Ada beberapa hal yang saya lihat dari realita ini.


Anak itu emang ibarat kertas kosong yang terserah si orang tua mau nulis apa. Mau dijadikan apa si anak, ya itu tergantung pendidikan di keluarga. Ada baiknya sebagai orang tua kita review apa sebab anak seperti itu, jangan-jangan emang karena kita yang membentuk anak jadi bandel, dll.  


Dalam buku Manajemen Gejolak disebutkan bahwa anak yang terlalu sering di nasehati (apalagi dengan diomel-omelin) hatinya bakalan keras. Maksudnya, si anak ini kalau diomelin terus bakal kebal tuh kuping, otak, dan hatinya, karena udah terbiasa diomelin kayak gitu. Supaya nasehatnya bukan jadi ngomel-ngomel silakan baca Cara Efektif Menasehati Anak.


Gunakanlah variasi lain dalam mendidik, misalnya dengan memberikan keteladanan atau sanksi. Itu jauh lebih efektif. Silakan baca artikel saya tentang 5 Cara Mendidik Anak.


Orang tua sering menuntut anak untuk menjadi sempurna, tapi yaa hanya sekedar tuntutan ga diiringi dengan tuntunan. Padahal berkualitas atau ga si anak yaa (lagi-lagi harus menyebutkan) berawal dari orang tua. Kalau orang tuanya jarang solat, yaa mana mungkin anaknya rajin solat. Kalau orang tuanya sering gossip, mana mungkin anaknya kebalikannya.


Ibaratnya tuh tumbuhan yang tumbuh disemaian tidak seperti tumbuhan yang tumbuh di tanah kering. Jadi, wajar aja kalau pengen anak-anak sempurna (baik, santun, soleh) sedangkan ia di susui (dididik, diasuh) oleh ibu yang banyak kekurangan. Segala sesuatu memang berawal dari diri sendiri, apalagi ini berbicara anak yang lahir dari rahim ibu dan hasil pembenihan sel telur dengan sperma si ayah.


Ga sedikit orang tua yang sibuk dengan kerjaannya, ga peduli dengan anaknya. Mungkin bukan ga peduli yaa tapi cara ia peduli dengan anak yaitu dengan mencari harta siang malam ampe si anak ga ke perhatiin. Padahal mah anak ga semata-mata butuh harta, ia lebih membutuhkan kasih sayang orang tuanya.


Harta mah nomor sekian lah. Kasih sayang orang tua kan kekayaan juga, lah kalo banyak uang tapi ga dapet kasih sayang orang tua apa bisa disebut orang kaya? Miskin juga dia, miskin kasih sayang. Kalau bahasa saya mah KKS (Kurang Kasih Sayang, hehe).


Kasian kalo anak ga dapet kasih sayang orang tua. Pasti mereka merasa tidak penting dimata orang tua. Akhirnya dia nyari jati diri ke luar, nyari tempat yang bikin dia nyaman, nyari lingkungan yang nganggep dia ada. Iya kalo dapet lingkungan yang bagus, kalo jelek kayak pergaulan bebas gitu, gimana? Orang tua juga kan yang susah, sedih, malu.


Anak yang begitu, bisa dibilang tuh anak yatim, lah ko? Nih simak “Anak yatim bukanlah mereka yang orang tuanya meninggal dunia. Tetapi anak yatim adalah orang yang hidup bersama ibu yang tidak peduli dan ayah yang sibuk”.


Nah lho? Kasian yaa punya orang tua tapi yatim. Kalo  anak yang orang tuanya meninggal mah udah jelas itu yatim, lah ini punya orang tua tapi kayak ga punya orang tua. Ubah segera deh yaa, demi masa depan anak.


Masih banyak realita yang terjadi dalam kehidupan kita tentang anak dan keluarga. Ingat, anak adalah investasi termahal. Siapa lagi yang bisa selametin kita nanti di akherat kalo bukan anak yang soleh solehah? Warisan paling mahal itu bukan harta yang ga abis tujuh turunan tapi generasi yang kuat, yang mantep.



Inget kan 3M-nya Aa Gym, Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal-hal kecil, Mulai dari sekarang. Ubah diri dulu, baru dah ubah anak-anak. Rumusnya ingat, 3M yaa. Silakan baca artikel saya tentang Memperbaiki Diri Ala Aa Gym.



@imardalilah

p1

Kaya dan Miskin

Kaya itu apa sih? Kaya bagi banyak orang katanya pada saat kita punya banyak uang, banyak harta benda, banyak bisnis, dll. Kaya itu bisa beli apapun yang kita inginkan, bisa jalan-jalan ke luar negeri, dll. Kalo miskin itu apa? Miskin kebalikan dari kaya. Bagi banyak orang, miskin itu kondisi ga punya uang, mau beli ini itu susah karena uang pas-pasan cuma buat makan doang, ga punya mobil, ga punya motor, ga punya tabungan, dll.


Definisi seperti itu menurut saya biasa banget.  Kaya dan miskin itu ga bisa sekedar dipatok dari seberapa banyak harta benda yang kita miliki namun juga harus dipatok dari mental. Kita bermental kaya atau miskin?


Ada loh orang kaya tapi mentalnya miskin. Contohnya dia banyak harta tapi ga mau berbagi, pelit, qorun, kikir, bakhil, dan sebutan yang lainnya deh. Ada saudara yang butuh pinjaman uang ga dia kasih, nyumbang buat masjid aja susah, maunya ditraktir melulu. Nah itu mentalnya miskin. Maunya dikasih mulu, ngemis mulu.


Kata guru saya, orang yang mentalnya kaya bisa diliat dari seringnya bersedekah dan nraktir. Kalo kita sering minta-minta, sedang kita masih mampu, sedang kita mampu untuk berbagi, kita ga ada bedanya sama pengemis. Ternyata ga cuma minta ditraktir yang menandakan mental kita miskin tapi juga ngemis cinta, ngemis followback, itu termasuk juga.


Bagi yang masih mengemis cinta pada manusia (*EAaaa), sudahlah hentikan. Lebih baik menyebarkan cinta. Toh pada saat kita menyebarkan cinta, hal itu akan berbalik pada kita. Bagi yang masih mengemis followback, sudahlah hentikan. Toh pada saat akun twitter kita bermanfaat dan menarik bagi orang lain, mereka ga akan ragu untuk followback.


Saya diajarkan oleh guru saya untuk ga minta followback. Karena itu tadi, menandakan bahwa saya masih bermental miskin. Jujur saja, saya pengen banget di followback apalagi oleh akun-akun terkenal. Benar saja kata guru saya, saat akun kita bermanfaat dan menarik orang dengan sendirinya followback kita.


Saat saya cek kolom connect di akun twitter saya, @PakarSEO followback saya. Juga Ust @AbdulHaque007 lisensi trainer 7 Keajaiban Rezeki, ada juga @JamilAzzaini walaupun beberapa bulan kemudian di unfollow, hehe. Tapi itu membuat saya senang sekali. 


Belum lagi saya di followback Mas @MyBothSides author Jualan Ide Segar yang sudah saya khatamkan bukunya. Ada lagi Mas @Jafrial seorang pengusaha. Huaaaa itu bikin seneng banget. Hehe, padahal kan saya bakalan malu kalo ternyata mereka salah follow orang amburadul kayak saya.


Orang bermental miskin nyarinya yang gratisan. Saat dia liat harga, bilangnya “Aduuuh, mahal banget. Ga ada uang.” Saat kita berkata demikian sebenarnya kita sedang mendoktrin diri kita bahwa kita ga mampu dan itu masuk ke alam bawah sadar. Sampe nanti kita kaya (definisi menurut banyak orang) kita akan tetap mencari yang gratisan. Guru saya mengajarkan ga bilang seperti itu. Lebih baik mengatakan “Semoga saya bisa membelinya.”


Ada juga orang miskin bermental kaya. Mungkin pendapatannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari namun ia rutin berderma dengan hartanya yang ‘pas-pasan’. Mungkin pendapatannya per bulan hanya cukup untuk kebutuhannya sehari-hari namun dia ga segan untuk mentraktir temannya, membelikan makanan untuk keluarganya, dll.


Menjadi tangan diatas atau tangan dibawah adalah pilihan. Memilih yang mana, kitalah yang memutuskan. Menurut saya orang kaya yang sesungguhnya bukan orang yang banyak harta, besar penghasilannya, gadgetnya terbaru, dls, tapi orang kaya sesungguhnya adalah orang yang ga segan untuk memberi dan menghindarkan diri dari meminta. Kecuali meminta ilmu.


Sedangkan orang miskin sesungguhnya bukan orang yang sedikit hartanya, pas-pasan penghasilannya, gadgetnya norak ga up to date, dls, tapi orang miskin sesungguhnya adalah orang yang ga segan untuk meminta dan enggan untuk memberi. Selalu khawatir dan takut pada saat dia member hartanya berkurang lalu ia jatuh miskin.


Sudahkah kita kaya? Atau kita masih miskin?



@imardalilah


p1

Rasa Takut

Inget ga dulu waktu kita masih kecil, cita-citanya mau jadi apa? Ada yang pengen jadi dokter, pilot, guru, bahkan ada yang pengen jadi supermen, hehe. Inget kan? Seiring berjalannya waktu, semakin bertambah usia, pas ditanya lagi tentang cita-citanya kita menjawabnya semakin ragu. Cita-cita semasa kecil dulu kayaknya udah ga realistis deh sekarang.


Kalo gue tetep pengen jadi dokter, itu mustahil banget kayaknya. Jadi dokter kan biaya kuliahnya ga kecil. Belum lagi otak gue kayaknya ga mumpuni deh. Ah gue ga jadi deh pengen jadi dokter. Gue mau pilih cita-cita yang lebih realistis aja, yang gue mampu mewujudkannya.


Mungkin kurang lebih begitu kali yaaa. Semakin beranjak dewasa kita malah meragukan apa yang waktu kecil kita cita-citakan. Kenapa sih bisa begitu? Karena semakin dewasa dominasi yang kita pakai adalah otak kiri, otak yang bicara tentang logika dan realistis. Waktu kita kecil dominasi kerja otak kita adalah otak kanan. Pas ditanya cita-cita kita ga mikir lama untuk menjawabnya. Nah sekarang udah beda lagi.

Karena pakenya logika, realistis apa ga, muncullah rasa takut. Kita takut kalo tetap dengan cita-cita waktu kecil dulu ga akan tercapai, karena begini begitu. Ya dengan berbagai alasan yang kita kemukakan.

Pemberani itu kata guru saya bukan orang yang ga punya rasa takut. Pemberani itu adalah orang yang menghadapi rasa takutnya. Pada saat rasa takut itu datang, takut gagal, takut salah, takut dicemooh, dll, itu hanyalah sekedar rasa yang sebenernya belum tentu terjadi, rasa yang cuma bisa dirasain sama diri sendiri, namanya rasa itu bukan suatu hal yang konkrit, dia itu abstrak.


Takut gagal? Orang gagal itu bukan orang yang ketika dia mencoba sesuatu eh ternyata ga berhasil. Bukan. Orang gagal itu adalah orang yang ga pernah mencoba sama sekali, orang yang ga berbuat apa-apa, orang yang terus menghadirkan rasa takut gagal. Gimana bisa tau gagal apa ga kalo kita cuma bisa ngomong "Gue takut gagal"?


Takut salah? Orang salah itu bukan orang yang ketika dia belajar sesuatu lalu ternyata dia salah. Bukan. Orang salah itu adalah orang yang ga pernah belajar dari kesalahannya, orang yang selalu merasa benar, orang yang ga pernah mau disalahkan dan mengakui kesalahannya.


Anggaplah saya berada disamping teman-teman dan saya menepuk pundak teman-teman, lalu berkata “Ketakutan itu hanya ada disini (otak dan hati). Masa depan kamu, kamu yang membangunnya. Bukan saya, bukan orang tua kamu, bukan teman-teman kamu. Kamu bertanggung jawab sendiri atas kehidupan kamu. Karena hidup ini hanya sekali, maka hiduplah secara luar biasa, jadi orang luar biasa, jadilah pemberani. Ga ada yang bisa menghalangi kamu untuk mencapai impian kamu kecuali diri kamu sendiri dengan rasa takut kamu itu.


Hadapi, jangan dihindari. Jika kamu menghindar, maka dia akan terus mengejar kamu. Tapi jika kamu menghadapi dan menyelesaikannya, maka lihatlah yang akan terjadi. Allah katakan Dia akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kehilangan harta, kelaparan, kekurangan pangan. Lihat, Allah katakan Dia menguji kamu SEDIKIT saja. Tapi lihat dampaknya pada diri kamu, SEDIKIT itu menjadi banyak manakala kamu fokus padanya.


Masih ingatkah akan Law of Attraction? Yaa gunakanlah itu dengan cara bersyukur, menarik apa yang kita inginkan.  Jauhkan segala keluh kesah dan kata-kata yang membuat kita selalu menjadi orang yang tidak mungkin untuk mendapatkan apa yang kita impikan. Jauhkan hal itu mulai dari kata yang terucap langsung dari lisan kita, kata yang terucap dalam hati kita, kata yang terlintas dalam benak kita, juga kata yang tertulis pada media apapun, media sosial, buku diary, atau apapun itu.”

Kita punya Allah Yang Maha Kaya, jadi masihkah kita takut? Masihkah kita ragu? Ini tentang tauhid, kawan. Yakinilah Allah selalu bersama kita. Wujudkan impian kamu mulai dari sekarang.



@imardalilah

p1

5 Cara Mendidik Anak

Kali ini saya akan menjelaskan 5 cara mendidik anak. Mungkin sudah ada yang tau, tau sebagian, atau belum tau sama sekali. Tentunya dalam mendidik anak banyak cara, ga mutlak 5 cara. Namun saya fokus pada 5 point saja. Baiknya disimak dengan seksama yaa.... Eng ing eng….


Pertama, pendidikan dengan keteladanan. Para orang tua pasti sudah hapal betul dengan peribahasa ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’. Yaa kalau jatuhnya jauh dari pohonnya berarti itu buah punya tukang buah, hehe. Anak itu pasti lebih mudah meniru orang-orang disekitarnya. Dia ga tau apa yang ditirunya bener atau salah, yang dia tau yaa hal tersebut ada yang melakukan. 


Kalau dia lihat perilaku keluarga yang baik, apalagi kalau anaknya visual, dia pasti mencontoh hal baik tersebut. Begitu juga kebalikannya. Ga mau kan anak mencontoh hal yang tidak baik? Maka dari itu, mulai dari sekarang berikan contoh perilaku baik dan terpuji. Jadilah orang tua yang patut di teladani. Karena  keluarga itu pendidikan primer, pendidikan pertama anak.


Kedua, pendidikan dengan kebiasaan. Pendidikan ini berkaitan dengan point pertama tadi. Dengan kita membiasakan anak dengan hal-hal positif, maka si anak akan meniru kebiasaan tersebut. Misalnya gosok gigi sebelum tidur. Nah itu termasuk kebiasaan baik. Buang sampah pada  tempatnya, menanamkan rasa tanggung jawab dan cinta kebersihan. 


Solat tepat waktu, menanamkan kedisiplinan anak. Kalau sekarang belum dimulai kebiasaan-kebiasaan baik, segera dilaksanakan. Kalau sudah, ditingkatkan dan pertahankan. Cara mendidik orang tua akan dicontoh kelak oleh anak saat ia memiliki anak nanti.


Ketiga, pendidikan dengan nasihat. Yang ini mungkin sudah sering dilakukan oleh orang tua diseluruh penjuru dunia. Ga mungkin kan orang tua ga pernah nasihatin anaknya, yaa walaupun anaknya itu baik banget pasti lah dinasihatin. Kebangetan dah kalau anak ga pernah di nasihatin. 


Memberikan nasihat disini bukan berarti marah-marah, ngomel-ngomel. Bukan memberikan nasihat yang dalam kondisi emosi, tapi lebih kepada obrolan santai dimana orang tua memposisikan diri sebagai pendengar dan pemberi masukan yang baik.


Saat yang tepat memberikan nasihat adalah ketika anak bercerita kesehariannya, lalu orang tua menasihati (tanpa ada intervensi) bagaimana seharusnya anak bersikap dalam lingkungannya. Nasihat disini lebih kepada memberikan penjelasan mana yang benar dan salah, baik buruk, sebab akibat. Akhirnya si anak akan berpikir sendiri, dan mengambil keputusan atas dasar nasihat dan pemikirannya bukan atas keterpaksaan karena merasa di intervensi oleh orang tua.


Keempat, pendidikan dengan pengawasan. Cara ini menekankan peran orang tua sebagai pengontrol kegiatan anak. Bukan berarti kita mengatur anak harus berkegiatan A, B, C, dan D. Tetapi mengontrol kegiatan anak, khususnya di lingkungan pergaulannya. Sebagai orang tua, harus tau kegiatan anak apa saja setiap harinya.


Teman-temannya bagaimana, pergaulannya seperti apa, kemana saja dia pergi kalau libur sekolah. Jangan sampai orang tua tidak tau apa yang dilakukan anaknya diluar sana. Bukan membebaskan, bukan mengekang anak. Biarkan saja dia memilih kegiatan yang dia  sukai. Asal dalam menjalani kegiatan tersebut ada batasannya. Misalnya anak harus pulang tepat waktu. Disini tetap ada nilai kedisiplinan, kejujuran, dan keterbukaan.


Dan terakhir, pendidikan dengan sanksi. Mungkin hal ini jarang dilakukan orang tua. Namun ini cukup efektif. Dengan menggunakan cara tersebut melatih anak untuk berkomitmen dan bertanggung jawab. Bisa  dibuat peraturan dirumah, bangun tidur jam 5 pagi bagi yang telat harus membersihkan kamar mandi sebelum berangkat sekolah.


Atau tidak langsung main sepulang sekolah, harus pulang tepat waktu jika tidak ada kegiatan lain di sekolah jika dilanggar maka uang saku dipotong 50% selama 3 hari. Dengan begitu, anak tidak berbuat seenak dengkulnya karena dirumah ada aturan mainnya. Aturan jika dilanggar yaa ada sanksinya, tentu sanksinya harus yang bermanfaat, memberikan pelajaran, dan mengasah kedisiplinan serta tanggung jawab mereka.




@imardalilah


p1

Cara Merespon Masalah

Kemarin pagi saya ga sempet sarapan. Selesai beberes rumah, mandi, ngeblog, online, dls, perut keroncongan. Liat jam udah siang ternyata, jam 10.30. Perut udah ga bisa lagi diganjel pake balok yang ada dikolong ranjang. 


Liat ke dapur si teteh cuma ada nasi. Yaudah akhirnya minta tolong ke ponakan tercinta, terlucu, terimut, terserah lo dah apaan, buat beliin lauk ke warung sebelah. Taraaaa ga lama dateng deh tuh lauk. AsikAsik makaaaaan.


Saya ambil piring, ambil nasi secentong (sorry bukan centong semen, pasir, apalagi karang sama batu bara), ambil sendok. Tuangin lauknya ke piring, byuuurrr, lauk yang penuh dengan bumbu langsung menenggelamkan nasi yang putih merona kayak muka bintang iklan pembersih wajah yang kadang alay. Iklan itu kan boong, masa muka si bintang iklannya masih ada idungnya, mulutnya, bibirnya, alisnya. Namanya pembersih wajah yaa mukanya jadi bersih dong?


Wkwkwk malah bahas iklan. Ok, back to our bussines (duh ngeri ada bu gulu bahasa inggris liat nih sok English begini).  Pas makan itu laptop masih nyala, masih online. Eh sorry nih bukan makan laptop yeee. Tapi maksudnya saat makan, laptop aye masih nyala gitu nyanyi-nyanyi ga jelas, yaa sesuka hati doi aja dah.


Saya makan sambil online. Duh jangan dicontoh yaaa, saya udah kegilaan online kayaknya. Hehe. Tapi sih lebih kegilaan kamu lah, wkkwkwk. Makannya tuh dilantai. Eh masa makan dilantai sih kayak kucing? Makannya di piring, duduk dilantai gitu. Si laptop ditaro di kursi biar gampang online-nya. Beuh itu makan nikmat bener dah, iyeulah ga sarapan, lagi laper-lapernya.


Suapan ke berapa gitu yaaa saya tergelitik buat balik badan ke laptop. Abis kayaknya tuh laptop manggil-manggil terus sih, gini kurang lebih manggilnya “Beeeb, yank, sini dong tengok aku. Masa kamu ada yang baru, aku di anggur-in bukannya di apel-in”. Hihihihi. Mau ga mau dipanggil begitu terpaksalah yaa nengok. Cek email, blog, sosmed, macem-macem deh yang di cek. Hati kamu aja tuh yang ga bisa di cek disitu, hahaha.


Ada kali lima menit mah mlototin tuh laptop yang manggil-manggil menggoda gitu. Terus gantian perut manggil-manggil pengen diisi lagi, balik badan lagi lah ke piring yang berisi nasi dan lauknya. Pas diliat ternyata eng ing eng lauknya ga ada. APPPAAAH??? Ini pasti deh dikerjain si teteh, pikir saya gitu. Tapi ga lama liat ke arah pintu kamar, tau ga ada apa?


Ternyata tuh lauk diembat si Endut. Tau si Endut siapa? Kucing saya yang baru lahiran empat ekor anak kucing (iyalah ya anak kucing, masa anak manusia. Eh ga cuma ekornya, badannya juga) pas imlek. Jadi anak-anaknya dinamain Gong, Sisi, Fafa, Coy. Hehe. Keren kan?


Pas liat si Endut yg ngembat rasanya tuh kayak nginjek paku payung terus ketiban kursi sama kasur pas lagi tidur, eh ternyata itu semua cuma mimpi. Muka saya langsung ngelipet jadi 7 lapisan. Tapi saya putuskan untuk ga marah sama si Endut apalagi mukulin dia. Enggak ! Buat saya percuma juga.


Kenapa saya merespon seperti itu? Yaa mau marah juga percuma, mukulin juga percuma malah nambah dosa. Yaaa akhirnya saya merespon biasa aja, nerusin makan, beresin bekas si Endut makan lauk yang dia ambil. Sekalipun saya keluarkan kekesalan saya, semua ga akan pernah kembali seperti sediakala. Yekan?


Sama juga pada saat kita menghadapi satu masalah kuncinya ada pada bagaimana kita merespon masalah tersebut. Marah, kesal, sebel, maki-maki, diem, sabar, biasa aja? Itu kan seratus persen bisa kita kendalikan diri kita. Sedangkan mau kita merespon dengan gaya apapun masalah tersebut akan tetap ada toh? Keadaan ga bisa dibalikin lagi seperti semula.


Menurut saya, cara merespon masalah ya kalem aja. Saat kita merespon dengan ga tepat, itu malah nambahin masalah baru. Kalo kata guru saya, bukan masalah yang menjadi masalah tapi respon kita dalam menghadapi masalah yang sering kali menimbulkan masalah baru.


Nah kejadian lauk ilang, kalo saya merespon dengan emosional, malah jadi masalah baru. Saya jadi kesal, mood saya jelek, kucing yang ga punya pikiran jadi imbasnya, kalo sampe saya pukulin tuh kucing jadi dosa juga, energi kebuang sia-sia cuma gegara lauk lima rebu perak. Saya anggap aja itu hak si Endut, mungkin emang saya jarang kasih makan dia juga. Dengan begitu saya lebih damai, lebih bisa mengatur emosi dan belajar merespon masalah dengan tepat.


Jadi, tepatlah dalam merespon suatu masalah. Jangan keburu emosi dan menumpahkan segalanya pada saat itu juga. Cara merespon masalah lebih baik diam dulu, lalu setting pikiran, tahan emosi, lalu bicaralah pada diri sendiri (Selftalk) ‘All is Well, udah itu mah gpp. Entar juga bisa beli lagi, entar juga beres’.



@imardalilah

p1

Cara Efektif Menasehati Anak

Ini dia cara efektif menasehati anak. Simak baik-baik yaaa,  cekidooot….


Cara yang pertama ialah hindari memberikan nasehat didepan umum. Seorang anak nih biasanya kalau dinasehatin didepan banyak orang pasti malu. Bakalan minder. Dia bakal mikir, orang-orang yang denger dan ngeliat dia lagi dinasehatin emak bapaknya bakal mikir dia anak yang bandel, bakal tau kejelekannya dia. Dia bakalan malu tuh, merasa harga dirinya jatoh (kalo jatoh yaa pungut lagi aja yaaak...hehe).


Ga bagus tuh buat perkembangan psikologisnya. Kalo orang tua mau nasehatin anak baiknya liat kondisi dah. Jangan dimanapun, kapanpun, dan ada siapapun si anak diceramahin. Anak juga punya perasaan kan.

Coba deh posisikan diri kalo di nasehatin didepan banyak orang gimana rasanya. Kalau kebayangnya ga enak, berarti jangan dipraktekin. Orang tua mesti bijak dalam menasehati anak, tau timing yang pas, dan paham gimana cara nasehatinnya.

Kedua, hindari ungkapan yang terkesan menggeneralkan. Orang tua pernah kan ngebandingin anaknya sama anak tetangga? Kebanyakan orang tua malah bangga sama anak tetangga. Aneh yaa? 

“Liat tuh si Banu pinter matematikanya, lah kamu apaan maen bola mulu”. Ini nih mesti binti harus dihindari. Bakat dan kemampuan anak itu kan berbeda. Kalau anak tetangga pinter di akademiknya sedangkan anak bapak/ibu biasa-biasa aja bukan berarti anaknya bodoh alias O2n, hehe, itu tandanya si anak punya minat dan bakat di bidang lainnya.


Anak digituin ngedown dia, bakal minder lagi dah. Merasa bodoh karena dianggap ga bisa apa-apa dan ga ada apa-apanya dibanding temennya. Padahal dia jago maen bolanya, jago maen musiknya, jago gambarnya. Tapi tetep ga dianggap itu merupakan kecerdasan dan kelebihan anaknya.


Cerdas itu bukan liat dari nilai raport, tapi liat akhlaknya gimana, minat bakatnya terasah ga. Kalo nilainya seratus semua tapi sama orang tua songongnya minta ampun, apa bisa dibilang cerdas tuh? Ayo dah buka mata kita sebagai orang tua. Kita nih yang nyiapin generasi berikutnya.


Ketiga, bedakan antara memberi nasehat, mempermalukan, dan mengolok-olok kesalahan. Saya sering banget denger orang tua yang nyerocos nasehatin anaknya tapi ga ada bedanya sama ngecengin (bahasa gaulnya gitu) anaknya. Nasehat itu isinya hal yang membangkitkan motivasi anak bukan bikin anak ngedown.


Udah mah ngomongnya didepan orang banyak, kenceng udah kayak towak masjid, diolok-olok mulu lagi. Si anak bikin salah satu aja di ungkitnya ada kali seminggu, bisa sebulan. Wajar aja si anak ga maju-maju, minder, rendah diri, dll. Lah wong orang tuanya ga ngerti gimana cara nasehatin anak, ga bisa bedain mana nasehatin mana mengolok-olok.


Renungin deh mulai dari sekarang, bener ga tuh selama ini orang tua nasehatin anak. Kalo mau tau berhasil ga nih kita didik anak, liat dah anaknya gimana. Itu cerminan orang tua.

Keempat, sisipkan senda gurau saat memberi nasihat. Sersan gitu, serius tapi santai. Kan enak kalau nasihatin sambil kita becanda sama anak, kita juga seneng bisa ketawa bareng kita. Keliatannya harmonis, ga ada jarak anak sama orang tua, kayak ke temennya aja. Ini gunanya supaya suasana terasa cair, ga tegang. Anak ga merasa sedang di introgasi.

Kalo anak udah nyaman sama orang tua, tempat yang paling enak dan nyaman yaa dirumah. Ga bakal anak ngelayap ga jelas kayak anak-anak zaman sekarang. Masih bau kencur udah mojok di tempat gelap, naudzubillah.

Jauh-jauhin dah anak-anak kita dari hal begitu. Ngeri sekarang mah liat pergaulan anak remaja, ga ada batas, nyontoh yang salah. Orang tua ga berdaya, kalah sama anak, jadi pasrah terserah si anak mau ngapain. Giliran terjadi apa-apa, cuma bisa nangis dan nyesel. Jangan sampe kayak gitu. Belajar jadi sahabat anak, jangan cuma nuntut anak gini gitu, tapi contohin ke anak, orang tua itu teladan bagi anak.


Terakhir, berikan nasihat dengan hati dan perasaan terdalam. Nasihati anak penuh dengan perasaan, ketulusan, bukan atas dasar si anak harus dapet apa yang kita tuntut. Itu mah sama aja bodong.

Ibarat dalam marketing, kita ga bisa langsung nawarin produk kita ampe kita maksa-maksa bilang nih produk bagus banget, nyesel kalo ga beli. Kalo kayak gitu kan namanya profit oriented.  Si marketer harus membangkitkan rasa butuh dulu dalam diri pelanggannya.


Marketer harus memposisikan diri bahwa dia peduli dan tulus bukan untuk mencari keuntungan dari hasil jualan produknya itu. Kira-kira begitu dah perumpamaannya. Orang tua harus deketin anaknya dulu karena memang sayang bukan karena biar anak nurut. Kalau kita sudah bisa menunjukkan ketulusan dan kasih sayang ke anak, anak jadi nurut tanpa disuruh.


Disini pentingnya ketulusan, kasih sayang, komunikasi yang baik beserta caranya, biar si anak tuh ga dianggep media pemuas orang tua. Maksudnya, anak cuma dijadiin benda yang bakalan menuhin keinginan orang tua, entah itu keinginan akan anaknya jadi berhasil dengan jalan orang tua atau karena ada hal yang dulu si orang tua belum sempet dapet pas masih remaja dulu.




@imardalilah 





p1