Senioritas, entah sejak kapan kata itu muncul didunia ini. Senioritas menurut saya suatu perilaku yang menganggap bahwa saya (senior, orang yang lebih tua, orang yang lebih lama berada dalam suatu tempat) adalah orang yang harus kamu taati, hargai, hormati, dls.


Hingga detik ini senioritas masih terasa, khususnya dikalangan pelajar. Baik siswa maupun mahasiswa. Saya kira di zaman yang sudah serba modern ini senioritas udah ga ada, udah ga zaman. Eh ternyata masih ada, banyak malah.


Senioritas biasanya terjadi pada masa perkenalan siswa/mahasiswa baru. Juga terjadi jika seorang siswa akan menjadi anggota OSIS, mahasiswa akan menjadi anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan sebagainya. Moment-moment tersebut dipergunakan kakak kelas sebagai ajang balas dendam.


Pada saat saya masuk kuliah dan mengikuti masa perkenalan, Alhamdulillah ga ada namanya di pelonco oleh kakak angkatan. Pun begitu pada saat saya masuk SMA, ada sih tapi dikit banget. Belum lama saya dengar berita ada mahasiswa yang menjadi korban saat dia mengikuti masa perkenalan UKM gitu. Dia disuruh tidur diluar dengan kondisi hujan dan tanpa baju, dan itu tempatnya di gunung. Bayangkan !


Pelonco seperti itu terlihat jelas. Pelakunya bisa dilaporkan atas tuduhan penganiayaan. Ternyata ada juga pelonco yang ga terlihat, apa itu? Misalnya di omel-omelin oleh senior, udah gitu ngomelnya ikhlas banget. Judgement dilakukan membabi buta, menurut si senior itu ga masalah karena dia diperlakukan lebih dari itu dan adik kelasnya beruntung ga diperlakukan seperti dulu dia diperlakukan oleh seniornya.


Saya berani katakan bahwa itu adalah perpeloncoan. Pelonco mental. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri dimana senior melakukan pelonco mental kepada adik kelasnya. Mungkin sedikit sulit jika dideskripsikan dengan tulisan, namun saya mencoba untuk mendeskripsikannya.


Saat ada yang berteriak “2015….” (itu adalah angkatan si senior) maka dijawab secara bersamaan oleh angkatan tersebut “solid….”. Saat ada yang berteriak “2016…..” (itu adalah angkatan si junior) maka dijawab secara bersamaan oleh angkatan tersebut “Solid…..”. Kejadian tersebut terus-menerus terjadi. You know what? Dengan kondisi si junior tiarap (karena sebelumnya sudah ada aba-aba) dan si senior berdiri hampir mengelilingi si junior. Karena suara si junior kalah dengan si senior, para senior mengolok-olok junior.


Proses itu terlihat seperti “Angkatan gue lah yang paling solid, elooo apa? Elooo siapa?”. Senior memang sudah semestinya dihormati tapi bukan berarti petantang petenteng kayak jagoan. Juga bukan seperti itu caranya jika ingin dihormati dan disegani oleh adik kelas. Jujur, saya sangat miris melihat kejadian tersebut "Mau jadi apa kalian? Mau jadi apa Negeri ini?".


Jika senior memakai cara yang lebih elegan, itu lebih terhormat. Jadi bukan seperti orang yang minta dan maksa untuk dihormatin dan dihargain. Coba jika senior menempatkan diri sebagai kakak secara tulus mereka ingin mengajarkan adik-adiknya, mempersiapkan penerusnya kelak jika mereka lulus, dls, saya rasa itu akan lebih melekat pada si junior. Selain itu ada rasa kasih sayang diantara mereka. Bukan kebencian seperti yang terjadi sekarang ini.


Dari tahun ke tahun terus terjadi seperti itu. Lalu siapa yang akan memutus rantainya, lingkaran setan tersebut jika senior memperlakukan junior seperti itu? Menjadikan acara MOS, Ospek, dls, sebagai ajang balas dendam. Sudahlah, kita akhiri mental-mental pendendam, pembenci seperti itu.


Itulah yang menyebabkan para pejabat, para pemimpin Negara rusak mentalnya. Jika hal tersebut terus terjadi dan ga ada yang berani memutus rantainya, pendidikan di Indonesia bukan menghasilkan orang-orang terdidik tapi menghasilkan orang-orang pendendam. Sisi emosional anak-anak jadi rusak. Mereka menumpahkan segala kekesalahannya pada saat dulu mereka di pelonco kepada adik kelasnya.


Apakah kita akan terus mempertahankan pendidikan seperti itu? Jika kita adalah seorang guru, berbuatlah, didiklah anak didik kita, bukan sekedar transfer ilmu apalagi sekedar mencari uang. Jika kita kepala sekolah, tentu lebih punya wewenang untuk merubah itu. Ga usahlah kita berpikir untuk mengubah mesti menjadi Presiden dulu, mesti menjadi menteri dulu. Mengubah itu ya dari yang kecil aja, dari diri sendiri dulu, dan dari sekarang juga.






@imardalilah

One Response so far.

Leave a Reply