Menyakiti seseorang itu ibarat kita memecahkan gelas. Kata maaf yang terucap tidak akan bisa mengembalikan gelas seperti sediakala. Saat kita meminta maaf kepada orang yang telah kita sakiti, tidak akan bisa mengembalikan hati yang telah tersakiti seperti sediakala. Pasti dalam hati tersebut ada bekas luka sekalipun sudah memaafkan.


Saya umpamakan seperti halnya anggota badan kita terkena luka bakar. Saat luka itu masih baru, sangat terasa sakit. Hingga perlahan luka itu kering dan sembuh. Namun bukan berarti sembuhnya luka menghilangkan rasa sakit yang telah dialami. Luka tersebut masih membekas dan masih ada. Untuk menghilangkannya membutuhkan waktu yang sangat lama hingga bekas luka itu tak lagi terlihat oleh mata.


Sedang jika kita tidak memaafkan orang yang telah menyakiti kita, ibarat kita memelihara --membiarkan pecahan gelas tersebut bersarang dalam hati kita yang semakin lama semakin menyakiti, semakin mengiris, semakin melukai hati. Lama kelamaan hati kita pun membusuk karena kita tak pernah mau membuang serpihan gelas tersebut dari hati kita.


Terus menerus kita biarkan serpihan itu menyakiti hati kita. Saking kita dendamnya, saking kita dongkolnya, saking kita dengkinya terhadap orang yang telah menyakiti kita. Sungguh tiada keuntungan yang kita dapatkan dengan membiarkan serpihan gelas itu terus menyelinap dalam hati kita. Justru kita semakin sakit dan semakin terpuruk karena terjebak dengan perasaan sakit hati itu.



Jadi, peliharalah perbuatan kita. Berusahalah untuk tidak menyakiti orang lain. Dan berusahalah untuk memberi maaf orang lain. Meminta maaf itu mulia, memaafkan itu ksatria.


Baik meminta maaf maupun memaafkan keduanya adalah hal yang tidak mudah. Keduanya adalah hal yang berat jika hati kita tidak lapang. Jika kita pernah melakukan kesalahan, segeralah minta maaf. Karena Allah tak akan mengampuni dosa kita jika orang yang kita sakiti belum memaafkan diri kita. Dan maafkanlah orang yang menyakiti kita, niscaya hati kita semakin lapang.


Satu kesalahan tak kan pernah terhapus tanpa mengakuinya. Satu kesalahan tak kan pernah terhapus tanpa meminta maaf padanya. Satu kesalahan tak kan pernah terhapus tanpa perubahan dan perbaikan.



Seumur hidupku dipakai untuk beristighfar, rasanya tak kan pernah cukup untuk menandingi kesalahan yang telah aku lakukan. Seumur hidupku meminta maaf, rasanya tak kan pernah cukup agar kesalahanku termaafkan. Seumur hidupku berbuat baik padamu, rasanya tak kan pernah cukup menutupi satu kesalahanku padamu.



Meminta maaf yang paling baik dan sempurna adalah dengan mengucapkan (meminta) maaf pada orang yang kita sakiti lalu menyesal dan tidak mengulangi kesalahannya lagi serta berbuat baik dan melakukan perubahan.


Percayalah, jika kita hanya sekedar meminta maaf tanpa kita menyesal tanpa kita tidak mengulangi perbuatan salah kita tersebut tanpa kita berbuat baik tanpa kita melakukan perubahan, permohonan maaf tersebut seakan percuma. Kita hanya mengucap lewat lisan tanpa menyesali dalam hati dan melakukan perubahan dengan anggota badan.


Layaknya keimanan, selalu dilakukan dengan 3 tingkat yaitu diucapkan dengan lisan, diyakini dengan hati, dan dilakukan dengan anggota badan.


Jika kita hanya meminta maaf, itu belum sempurna. Maka sempurnakanlah. Sudahlah, kita akui saja jika memang kita salah. Terus melakukan pembenaran tiada guna. Itu hanya akan membuat besar kepala.



Mumpung nyawa masih dikandung badan, mumpung orang yang kita sakiti pun masih bernafas, segeralah meminta maaf. Mungkin saja dia sudah memaafkan tapi tetap saja meminta maaf itu harus. Jangan sampai orang yang kita sakiti sudah sedemikian dendam pada kita hingga tidak mau memaafkan kita hingga akhir hayatnya. Na’udzubillah.



@imardalilah

One Response so far.

Leave a Reply