Posted by Imar in
on
-
Ramadhan telah berlalu. Syawal pun akan segera berakhir.
Kita tersadarkan bahwa waktu bergulir begitu cepatnya. Langkah kaki tak mampu
menyeimbangkan kecepatan waktu. Sudah Ramadhan kesekian hidup masih seperti
hari lalu. Seperti ini dan seperti itu.
Wajah tak lagi muda. Keriput mulai melanda. Berjalan kaki
sebentar saja habislah tenaga. Langkah kaki mulai goyah. Nafas tersengal.
Penglihatan buram. Mata terlihat sayu dan letih. Kantung mata perlahan namun
pasti membentuk diri menghiasi wajah nan pucat pasi.
Usia semakin tua. Namun kedewasaan belum tentu bertambah.
Usia semakin bertambah. Namun pertemanan, persahabatan, uang, atau lainnya
belum tentu semakin bertambah pula. Semakin usia bertambah, semakin sibuk.
Sibuk mempersiapkan diri menuntut ilmu dalam jenjang yang lebih tinggi. Sibuk
mencari pekerjaan. Sibuk berkarier. Dan sibuk lainnya.
Dalam kehidupan tentu saja ada yang berkurang dan ada yang
bertambah. Hidup itu ya seperti itu-itu saja. Saat kita merasakan bertambah
sukses dalam pekerjaan tentu ada yang berkurang. Mungkin saja waktu luang
bersama orang tua, sanak family, teman nongkrong, atau untuk berbaur pun kita
tak memiliki waktu luang.
Begitu juga bukan saat kita naik jenjang pendidikan –ke SMP,
SMA, Kuliah? Teman SD-SMP-SMA kita perlahan tapi pasti tidak se-intens dulu
menghabiskan waktu bersamanya. Itu alamiah sekali. Setiap manusia memiliki
level/fase kehidupan masing-masing. Jadi jangan pernah samakan saat kita masih
SD, SMP, SMA, kuliah, atau kerja bahkan setelah kita menikah. Kondisinya sudah
pasti berbeda.
Pun begitu kala kita atau teman kita punya pacar. Tentu ia
menikmati level/fasenya yang terbaru. Waktu bersama temannya berkurang. Sekali
lagi, itu alamiah sekali. Namun begitu bukan berarti kita bisa menjadikan hal
tersebut sebagai alasan untuk tidak meluangkan waktu sedikit untuk teman-teman
kita. Luangkanlah waktu untuk teman bermain kita kala kecil, SD, SMP, SMA,
kuliah, atau lainnya.
Memiliki fase baru bukan berarti menggantikan orang-orang
lama yang ada dalam kehidupan kita dengan orang-orang yang baru. Jika kita
begitu mudahnya melupakan seseorang karena ada yang baru sesungguhnya kita
tidak pantas menjadi seseorang yang selalu diingat oleh orang lain. Terlebih
jangan sampai kita di cap sebagai orang yang datang saat hanya ada maunya.
Jagalah silaturahim.
Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Aku rasa
peribahasa itu perlu kita ingat betul. Dalam menjalin hubungan apapun saat kita
melakukan satu kesalahan sudah pasti seribu kebaikan yang kita lakukan sia-sia
belaka. Tidak pernah terlihat. Maka sangat penting menjaga komunikasi agar kita
tidak terlihat sebagai orang yang datang hanya saat ada maunya. Teknologi zaman
sekarang sudah canggih toh? Jadi, tak ada alasan untuk berkilah sulit
berkomunikasi.
Satu musuh terlalu banyak. Sejuta kawan terlalu sedikit.
Jika ada kawan kita yang tersakiti oleh kita semestinya seperti itu pula
perasaan kita, sakit. Jangan sampai kawan kita sakit hati oleh diri kita.
Apalagi kita tidak sadar bahwa kita telah menyakitinya. Membuatnya sakit hati.
Meminta maaf itu mudah. Memaafkan itu sulit, susah.
Bayangkan sakit hati yang dipendam begitu lamanya sudah seperti tumpukan sampah
yang menggunung tinggi –menjulang ke langit lalu kita hanya mengucap kata
“maafkan aku” apa gunungan sakit hati itu akan hilang saat itu juga? Tentu saja
tidak. Perlu waktu lama untuk membersihkannya.
Begitu mudah meminta maaf. Saking mudahnya orang-orang
menganggap enteng hal tersebut. Lihat saja saat Idul Fitri kemarin berapa
banyak broadcast message yang berisi permintaan maaf? Seperti itukah caranya
meminta maaf? Sungguh kita merugi meminta maaf dengan mengentengkannya. Maka
dari itu aku tidak pernah membaca bahkan membalas broadcast message seperti
itu. Itu seperti penghinaan permohonan dan pemberian maaf.
Jika kita memang berniat meminta maaf, gunakanlah dengan
cara yang baik dan santun. Tunjukkan kesungguhan kita meminta maaf. Jangan
sampai meminta maaf pada Idul Fitri hanya sebatas ceremonial belaka, hanya
ikut-ikutan, formalitas saja. Minta maaflah dengan sungguh-sungguh. Jika perlu
datangi.
Memaafkan itu tidak mudah. Perlu proses yang cukup lama.
Lebih lama daripada sakit yang telah dideritanya.
@imardalilah