Ramadhan telah berlalu. Syawal pun akan segera berakhir. Kita tersadarkan bahwa waktu bergulir begitu cepatnya. Langkah kaki tak mampu menyeimbangkan kecepatan waktu. Sudah Ramadhan kesekian hidup masih seperti hari lalu. Seperti ini dan seperti itu.


Wajah tak lagi muda. Keriput mulai melanda. Berjalan kaki sebentar saja habislah tenaga. Langkah kaki mulai goyah. Nafas tersengal. Penglihatan buram. Mata terlihat sayu dan letih. Kantung mata perlahan namun pasti membentuk diri menghiasi wajah nan pucat pasi.


Usia semakin tua. Namun kedewasaan belum tentu bertambah. Usia semakin bertambah. Namun pertemanan, persahabatan, uang, atau lainnya belum tentu semakin bertambah pula. Semakin usia bertambah, semakin sibuk. Sibuk mempersiapkan diri menuntut ilmu dalam jenjang yang lebih tinggi. Sibuk mencari pekerjaan. Sibuk berkarier. Dan sibuk lainnya.


Dalam kehidupan tentu saja ada yang berkurang dan ada yang bertambah. Hidup itu ya seperti itu-itu saja. Saat kita merasakan bertambah sukses dalam pekerjaan tentu ada yang berkurang. Mungkin saja waktu luang bersama orang tua, sanak family, teman nongkrong, atau untuk berbaur pun kita tak memiliki waktu luang.


Begitu juga bukan saat kita naik jenjang pendidikan –ke SMP, SMA, Kuliah? Teman SD-SMP-SMA kita perlahan tapi pasti tidak se-intens dulu menghabiskan waktu bersamanya. Itu alamiah sekali. Setiap manusia memiliki level/fase kehidupan masing-masing. Jadi jangan pernah samakan saat kita masih SD, SMP, SMA, kuliah, atau kerja bahkan setelah kita menikah. Kondisinya sudah pasti berbeda.


Pun begitu kala kita atau teman kita punya pacar. Tentu ia menikmati level/fasenya yang terbaru. Waktu bersama temannya berkurang. Sekali lagi, itu alamiah sekali. Namun begitu bukan berarti kita bisa menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk tidak meluangkan waktu sedikit untuk teman-teman kita. Luangkanlah waktu untuk teman bermain kita kala kecil, SD, SMP, SMA, kuliah, atau lainnya.


Memiliki fase baru bukan berarti menggantikan orang-orang lama yang ada dalam kehidupan kita dengan orang-orang yang baru. Jika kita begitu mudahnya melupakan seseorang karena ada yang baru sesungguhnya kita tidak pantas menjadi seseorang yang selalu diingat oleh orang lain. Terlebih jangan sampai kita di cap sebagai orang yang datang saat hanya ada maunya. Jagalah silaturahim.


Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Aku rasa peribahasa itu perlu kita ingat betul. Dalam menjalin hubungan apapun saat kita melakukan satu kesalahan sudah pasti seribu kebaikan yang kita lakukan sia-sia belaka. Tidak pernah terlihat. Maka sangat penting menjaga komunikasi agar kita tidak terlihat sebagai orang yang datang hanya saat ada maunya. Teknologi zaman sekarang sudah canggih toh? Jadi, tak ada alasan untuk berkilah sulit berkomunikasi.


Satu musuh terlalu banyak. Sejuta kawan terlalu sedikit. Jika ada kawan kita yang tersakiti oleh kita semestinya seperti itu pula perasaan kita, sakit. Jangan sampai kawan kita sakit hati oleh diri kita. Apalagi kita tidak sadar bahwa kita telah menyakitinya. Membuatnya sakit hati.


Meminta maaf itu mudah. Memaafkan itu sulit, susah. Bayangkan sakit hati yang dipendam begitu lamanya sudah seperti tumpukan sampah yang menggunung tinggi –menjulang ke langit lalu kita hanya mengucap kata “maafkan aku” apa gunungan sakit hati itu akan hilang saat itu juga? Tentu saja tidak. Perlu waktu lama untuk membersihkannya.


Begitu mudah meminta maaf. Saking mudahnya orang-orang menganggap enteng hal tersebut. Lihat saja saat Idul Fitri kemarin berapa banyak broadcast message yang berisi permintaan maaf? Seperti itukah caranya meminta maaf? Sungguh kita merugi meminta maaf dengan mengentengkannya. Maka dari itu aku tidak pernah membaca bahkan membalas broadcast message seperti itu. Itu seperti penghinaan permohonan dan pemberian maaf.


Jika kita memang berniat meminta maaf, gunakanlah dengan cara yang baik dan santun. Tunjukkan kesungguhan kita meminta maaf. Jangan sampai meminta maaf pada Idul Fitri hanya sebatas ceremonial belaka, hanya ikut-ikutan, formalitas saja. Minta maaflah dengan sungguh-sungguh. Jika perlu datangi.


Memaafkan itu tidak mudah. Perlu proses yang cukup lama. Lebih lama daripada sakit yang telah dideritanya.



@imardalilah

Leave a Reply