Posted by Imar in
on
-
Sepulang dari berekreasi, badan serasa remuk redam. Mata sayup,
tak mampu lagi menatap dengan tajam. Kaki lunglai, tak lagi mampu melangkah
tegak. Jari lemas, tak lagi mampu bergerak lincah. Tubuhku ingin segera bertemu
jodohnya, kasur. Dan aku tak kuasa untuk menahannya. Aku tergeletak tak berdaya
–tak sadarkan diri hingga malam berganti pagi.
Hampir Sembilan jam aku terlelap dalam mati suri. Tubuh masih
terasa lemas dan kuputuskan untuk tetap merebahkannya diatas kasur berselimut
kain tebal yang disebut bedcover. Sambil rebahan, ku nyalakan tv dan menonton
kartun kesukaanku. Ah sayang, baru sebentar sudah habis. Ku cari program kartun
lain, ah ada kartun si Intuiting –Doraemon. Pariwara yang mengganggu keasikanku
membuat aku mencari program tv yang lain dan kudapatkan acara kartun dari
negeri tetangga –betul, betul, betul.
Dalam kelelahan dan kebosanan ternyata aku terpejam kembali.
Tidak begitu lama. Aku terbangun dan tersadar. Astaga mimpi apa aku tadi? Benarkah
mimpi aku tadi? Astaga Tuhan. Kenapa bisa?
Aku berusaha mengingat detail mimpi tersebut. Namun semakin
aku berusaha mengingatnya, semakin bayangan mimpi itu hilang. Aku kembali
mengingat dan lagi-lagi aku tak percaya bahwa baru saja –sekejap tadi aku mimpi
berpapasan dengan almarhumah ibuku. Setelah bertahun-tahun aku tidak pernah
memimpikannya, tidur yang tak aku sengaja itu membuat aku seketika terbangun
dan termenung. Pesan apa yang hendak Tuhan sampaikan padaku?
Entah kapan terakhir aku bermimpi tentangnya. Seingat aku,
dulu sekali –mungkin lima belas tahun lalu aku bermimpi tentangnya meninggal hingga
aku terisak dan membangunkan beliau yang tertidur di sampingku dan beberapa
tahun kemudian itu menjadi kenyataan. Itu pula alasan mengapa aku tidak pernah
mau menceritakan mimpi yang sangat jelas aku lihat, seakan-akan aku
mengalaminya.
Aku termenung, aku menangis, aku merenung, aku terdiam. Pun hingga
detik ini aku masih terpikirkan hal itu. Aku mencari apa artinya sekalipun aku
sangat ingat apa yang beliau katakan dalam sekejap kedipan mata itu. Pun aku
ingat betul apa yang beliau lakukan ketika berpapasan denganku. Aku seakan tak
mengenalnya dan aku seperti mengenalnya. Setelah ku selidiki ternyata benar itu
ibuku.
Kata temanku yang kuceritakan mimpi itu adalah rindu. Langsung
ku katakan bukan. Itu bukan rindu. Serindu apapun aku padanya tidak pernah Tuhan berikan aku bertemu dengannya di mimpi. Entah apa maksud-Nya. Entahlah apa
namanya, nanti juga kau merasakan.
Apalah artinya mimpi. Yang pasti kedua orang tua membutuhkan
kita sebagai anaknya –sebagai investasi baginya. Berapa banyak yang telah
mereka berikan untukku tak sepadan dengan apa yang kuberikan padanya. Sekalipun
itu doa sudah pasti doa mereka lebih sangat amat banyak dibandingkan doa ku untuknya.
Aku pernah mengatakan bahwa kesedihan ditinggal orang tua
itu hanya sesaat saja. Kesedihan yang membuatmu selalu mendoakan mereka
sungguh-sungguh, mengingat mereka –kebaikannya, kasih sayangnya, lindungannya. Lihat
saja beberapa bulan atau tahun kemudian kau berdoa tidak akan sesungguh-sungguh
seperti saat kau baru saja merasakan kehilangan. Tapi coba lihat orang tua yang
ditinggal anaknya, doa-doanya selalu sama –semangatnya, isinya, kasih sayang
dan cintanya, juga ingatannya. Itulah bedanya orang tua dan anak.
Sebanding jika dikatakan restu orang tua adalah restu Tuhan.
Dengan orang tua merestui apa yang kita (hendak) lakukan bisa dikatakan (pasti)
Tuhan pun demikian. Se-tua apapun usia kita, bagi orang tua kita tetaplah
anak-anak –yang tidak tahu apapun, mesti dilindungi, dibimbing. Sekalipun kita
sudah memiliki anak dan cucu, bagi mereka kita adalah anak-anak.
Manfaatkanlah waktu selagi kau bisa memeluk utuh orang
tuamu, berbakti nyata padanya, melihat senyumnya, dan mendengar nasihatnya. Kelak
kau akan merindukannya sekalipun itu adalah hal yang paling menyebalkan bagimu. Dan mungkin kau akan meminta pada Tuhan tak mengapa hidup penuh dengan omelan dan ocehan ibu bapak asal mereka ada disampingmu. Begitulah kala kita telah kehilangan.