Posted by Imar in
on
-
Perut semakin keras berdendang. Namun tugas hari ini ternyata
belum juga usai. Niat hendak pergi ke restoran cepat saji terhenti oleh
kedatangan tugas baru. Mari selesaikan dan kita bersenang-senang. Ucapku pada
diriku sendiri.
Jalanan kembali ramai dipenuhi oleh kendaraan roda dua dan
empat. Para pendatang yang telah datang kembali dari kampung halamannya
memenuhi jalanan yang sempat lengang beberapa hari lalu. Debu beterbangan, tak
terelakkan walau penutup mulut sudah terpasang erat. Kedipan mata seketika
lebih sering karena menetralisir debu yang ingin bertamu padanya.
Untuk memberi makan cacing-cacing perut yang sudah meraung –meronta
meminta diasupi satu dua butir nasi masih dibutuhkan perjuangan panjang. Antri.
Sabtu malam membuat restoran cepat saji ini dipenuhi kawula muda dan keluarga
kecil yang hendak menghabiskan akhir pekan bersama keluarga dan teman sebaya.
Cuma membungkus tiga es krim saja lama sekali pelayan ini. Astaga
semakin lama saja ketika si pembeli –seorang ibu yang rambutnya sudah berganti
warna kurang memberikan uang kepada pelayan. Ini namanya bukan restoran cepat
saji. Lihat saja, mau makan mesti antri sudah seperti orang-orang yang mau
menerima zakat di rumah pejabat Negara itu saja.
Akhirnya satu porsi makanan cepat saji ku lahap habis. Sampai
piringnya pun habis. Mungkin saking rakusnya cacing dalam perut. Telepon genggamku
bordering. Ada pesan. Ternyata dari seseorang yang menanyakan sesuatu.
Bagiku pertanyaannya tidak begitu penting. Sombong? Memang. Mau
dikata apa jika memang kenyataannya seperti itu?
Ada beberapa pertanyaan. Salah satunya tidak jauh-jauh
tentang jodoh. Entahlah mengapa akhir-akhir ini begitu banyak yang bertanya
mengenai hal itu. Tapi aku senang. Artinya mereka-mereka yang bertanya aware
(ngeh) dengan persoalan jodoh. Well, dengan senang hati saya meladeninya.
Untuk mengenal seseorang yang ingin kita ajak berumah tangga
sebagian besar dari kita hanya mengenal pacaran. Bagi seorang muslim ada cara
yang sudah diatur yaitu ta’aruf. Banyak muslim yang tidak paham bahkan tidak
tahu bahwa ada cara tersebut. Pun banyaknya mereka hanya tahu bahwa ta’aruf itu
mengenal orang yang tidak kita kenal. Padahal tidak seperti itu. Ta’aruf boleh
dengan siapapun. Tidak mesti dengan orang yang tidak kita kenal sebelumnya.
Bagaimana jika kita tidak mengenal orang itu sebelumnya? Silakan
cari informasi dari orang-orang disekitarnya. Jangan sampai kita mau ta’aruf
dengan orang yang tidak kita kenal lalu kita kenalan terlebih dahulu tanpa ada
mahrom yang mendampingi. Itu namanya bukan ta’aruf tapi pedekate.
Saat kita memiliki niat baik tentang suatu hal carilah
ilmunya. Niat hanya sekedar menjadi niat tanpa kita bertindak. Jangan sampai
niat baik kita dilakukan dengan cara yang salah sehingga yang terbaca oleh
orang lain tidak sesuai dengan niat baik kita. Misalnya niat ta’aruf eh
ternyata dilakukan dengan cara-cara yang tidak semestinya –jalan berdua, makan
bersama, asik komunikasi, sudah pasti bagi orang yang paham ta’aruf menilainya
itu bukan ta’aruf.
Masih banyak lagi yang bisa kita temukan niat baik yang
dilakukan dengan cara tidak baik. Misalnya kita mencari nafkah untuk keluarga
namun dengan cara tidak baik atau kita niat belajar –berguru namun niat
tersebut tidak pernah Nampak dari tindak tanduk kita. Wah jangan sampai seperti
itu. Jika kita berniat baik dan belum tahu ilmu tentang hal tersebut,
sempurnakanlah niat tersebut dengan ilmu dan tindakan.
Niatkan, berilmu, dan bertindak. Tanpa tiga hal itu bisa
jadi apa yang kita lakukan tidak satu garis, tidak satu arah, tidak satu niat. Niatnya
A, ilmunya B, dan tindakannya C. Tentu tidak selaras bukan?
@imardalilah
agree! ^^