Perut semakin keras berdendang. Namun tugas hari ini ternyata belum juga usai. Niat hendak pergi ke restoran cepat saji terhenti oleh kedatangan tugas baru. Mari selesaikan dan kita bersenang-senang. Ucapku pada diriku sendiri.


Jalanan kembali ramai dipenuhi oleh kendaraan roda dua dan empat. Para pendatang yang telah datang kembali dari kampung halamannya memenuhi jalanan yang sempat lengang beberapa hari lalu. Debu beterbangan, tak terelakkan walau penutup mulut sudah terpasang erat. Kedipan mata seketika lebih sering karena menetralisir debu yang ingin bertamu padanya.


Untuk memberi makan cacing-cacing perut yang sudah meraung –meronta meminta diasupi satu dua butir nasi masih dibutuhkan perjuangan panjang. Antri. Sabtu malam membuat restoran cepat saji ini dipenuhi kawula muda dan keluarga kecil yang hendak menghabiskan akhir pekan bersama keluarga dan teman sebaya.


Cuma membungkus tiga es krim saja lama sekali pelayan ini. Astaga semakin lama saja ketika si pembeli –seorang ibu yang rambutnya sudah berganti warna kurang memberikan uang kepada pelayan. Ini namanya bukan restoran cepat saji. Lihat saja, mau makan mesti antri sudah seperti orang-orang yang mau menerima zakat di rumah pejabat Negara itu saja.


Akhirnya satu porsi makanan cepat saji ku lahap habis. Sampai piringnya pun habis. Mungkin saking rakusnya cacing dalam perut. Telepon genggamku bordering. Ada pesan. Ternyata dari seseorang yang menanyakan sesuatu.


Bagiku pertanyaannya tidak begitu penting. Sombong? Memang. Mau dikata apa jika memang kenyataannya seperti itu?


Ada beberapa pertanyaan. Salah satunya tidak jauh-jauh tentang jodoh. Entahlah mengapa akhir-akhir ini begitu banyak yang bertanya mengenai hal itu. Tapi aku senang. Artinya mereka-mereka yang bertanya aware (ngeh) dengan persoalan jodoh. Well, dengan senang hati saya meladeninya.


Untuk mengenal seseorang yang ingin kita ajak berumah tangga sebagian besar dari kita hanya mengenal pacaran. Bagi seorang muslim ada cara yang sudah diatur yaitu ta’aruf. Banyak muslim yang tidak paham bahkan tidak tahu bahwa ada cara tersebut. Pun banyaknya mereka hanya tahu bahwa ta’aruf itu mengenal orang yang tidak kita kenal. Padahal tidak seperti itu. Ta’aruf boleh dengan siapapun. Tidak mesti dengan orang yang tidak kita kenal sebelumnya.


Bagaimana jika kita tidak mengenal orang itu sebelumnya? Silakan cari informasi dari orang-orang disekitarnya. Jangan sampai kita mau ta’aruf dengan orang yang tidak kita kenal lalu kita kenalan terlebih dahulu tanpa ada mahrom yang mendampingi. Itu namanya bukan ta’aruf tapi pedekate.


Saat kita memiliki niat baik tentang suatu hal carilah ilmunya. Niat hanya sekedar menjadi niat tanpa kita bertindak. Jangan sampai niat baik kita dilakukan dengan cara yang salah sehingga yang terbaca oleh orang lain tidak sesuai dengan niat baik kita. Misalnya niat ta’aruf eh ternyata dilakukan dengan cara-cara yang tidak semestinya –jalan berdua, makan bersama, asik komunikasi, sudah pasti bagi orang yang paham ta’aruf menilainya itu bukan ta’aruf.


Masih banyak lagi yang bisa kita temukan niat baik yang dilakukan dengan cara tidak baik. Misalnya kita mencari nafkah untuk keluarga namun dengan cara tidak baik atau kita niat belajar –berguru namun niat tersebut tidak pernah Nampak dari tindak tanduk kita. Wah jangan sampai seperti itu. Jika kita berniat baik dan belum tahu ilmu tentang hal tersebut, sempurnakanlah niat tersebut dengan ilmu dan tindakan.



Niatkan, berilmu, dan bertindak. Tanpa tiga hal itu bisa jadi apa yang kita lakukan tidak satu garis, tidak satu arah, tidak satu niat. Niatnya A, ilmunya B, dan tindakannya C. Tentu tidak selaras bukan? 


@imardalilah

One Response so far.

Leave a Reply