Saya Tidak Lebih Baik Dari Dia

Setiap perkataan yang muncul dari mulut seseorang biasanya itu adalah pengalamannya. Mungkin sangat sedikit perkataan yang keluar dari seseorang tanpa ia telah mengalaminya. Berbeda hal bagi para pembohong, pembual, atau bahkan penipu. Pun begitu dengan peribahasa. Nampaknya peribahasa muncul bukan sekonyong-konyong tanpa alasan. Seperti peribahasa “Jangan menilai seseorang dari luar”.


By the way, banyak orang yang tertipu oleh penampilan seseorang. Namun begitu bukan berarti kita tidak mementingkan penampilan dan lebih mementingkan apa yang ada dalam diri kita. Penampilan tetap harus baik terlebih apa yang ada dalam diri kita.


Tidak bisa dipungkiri kita menilai seseorang untuk pertama kalinya dari penampilan. Akan tetapi jangan pernah kita menilai seseorang hanya pada penampilannya, terlebih jika kita tidak mengenal lebih jauh orang tersebut.


Berapa banyak diantara kita yang merasa aneh ketika melihat seseorang memakai celana super pendek, baju ketat, dekil, celana dan baju robek-robek, dan atau lain sebagainya? Atau berapa banyak diantara kita yang merasa aneh ketika melihat seorang wanita merokok lalu bergumam “gila tuh cewek”?


Aku teringat pesan guruku, jangan pernah merasa benar sekalipun kita dalam posisi yang benar. Mungkin kedua fenomena diatas adalah kejadian yang tidak biasa untuk kita atau bahkan melanggar norma-norma, baik norma moral atau norma agama. Namun bukan berarti kita menganggap mereka lebih buruk dibanding kita yang penampilannya lebih tertutup dan tidak merokok.


Kamu tahu bahwa saat kita sedang berada di posisi yang benar Allah menguji kita dengan kebenaran yang kita yakini itu? Bisa jadi saat Allah perlihatkan orang yang tak berjilbab secara sempurna sedang kita berjilbab sempurna kemudian kita menjadi sombong. Merasa benar dibandingkan orang lain itu sombong.


Belajarlah untuk tetap rendah hati. Sekalipun kita berada dalam garis kebenaran namun bukan berarti kita bisa seenak dengkul menyalahkan orang lain dengan perilaku atau penampilan mereka yang tidak baik bagi kita. Bagaimana jika saat kita sombong seperti itu disaat yang bersamaan orang tersebut sebenarnya malu dengan apa yang ia lakukan –sebenarnya dia malu dengan penampilan dia yang urakan, lalu kemudian Allah mencabut nyawa keduanya? Siapa yang lebih mulia, kita atau orang yang kita nilai tidak lebih baik dari kita itu?



Jika kita menemukan fenomena seperti itu belajarlah mengatakan pada diri sendiri “Saya tidak lebih baik dari orang itu” insya Allah kesombongan itu hari demi hari semakin terkikis. Sungguh tidak ada manusia yang pantas membandingkan dirinya lebih baik daripada manusia lainnya. Semoga kita dijauhkan dari golongan orang-orang yang menilai hanya dari penampilannya. Semoga kita digolongkan kepada orang-orang yang bisa mensinkronkan antara penampilan, hati, pikiran, ucapan juga perilaku.



@imardalilah

p1

Merindumu

Aku merindukanmu. Aku merindukanmu lebih dari aku merindukan pedasnya sambal bebek kaleyo. Lebih dari aku merindukan sirloin double juga milkshake strawberry waroeng steak. Lebih dari aku merindukan ayam bakar madu di pecel lele lela. Lebih dari makanan apapun di dunia ini yang aku rindukan.


Kau tahu, setelah kita berjauhan aku baru merasakan dulu aku pernah memiliki dirimu? Kau tahu, setelah kita tak lagi saling sapa aku baru merasakan dulu aku pernah berdekatan denganmu? Kau tahu, setelah kita tak lagi saling tatap muka aku baru merasakan dulu kita pernah menikmati senja berdua hingga matahari tenggelam dan langit senja itu berubah hitam kelam?


Kini kau dimana, aku pun tak tahu. Tak pernah ada sepatah katapun yang ku dengar darimu kini. Jangankan sepatah kata, mendengar kabarmu pun aku tak pernah. Mungkin disana kau sedang berbahagia. Mungkin disana kau sudah mendapatkan tambatan hati. Mungkin disana kau tidak lagi ingat aku dan siapa aku ini. Ya, aku apa sih untukmu? Aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.


Aku berusaha mencarimu, menemukanmu di sela-sela gelapnya malam. Aku berusaha mencarimu, menemukanmu dalam terik matahari. Aku berusaha mencarimu, menemukanmu dalam riuhnya malam ditengah sawah. Mungkin aku dapat temukanmu disana. Aku selalu berharap menemukanmu dalam ketidaksengajaan.


Kau tau kan bahwa kita bertemu tanpa sengaja? Kau pun tahu bahwa kita dekat pun tanpa sengaja. Aku juga tahu bahwa kau tahu bahwa ketidaksengajaan itu yang membawa semuanya. Ya, semuanya. Hingga akhirnya kita sering menghabiskan waktu bersama, berdua saja. Menikmati senja di ufuk barat sana di rooftop tanpa terhalangi apapun. Kita selalu setia menunggu mentari yang sedari pagi melaksanakan tugasnya –menyinari dunia untuk pergi berganti shift dengan rembulan yang tak lama lagi datang.


Apakah kau tahu bahwa kau laksana mentari yang Tuhan ciptakan untukku? Tugasmu adalah menyinari duniaku. Hanya aku. Ya, tentu saja hanya aku. Tidak boleh ada yang lain selain aku. Dan aku adalah bumi bagimu –yang tanpamu tak akan ada kehidupan. Bumi seketika menjadi gelap gulita. Tak ada sumber energi. Tak ada sumber kehidupan. Apakah kau tahu? Itulah aku kini.


Kini bumi gelap. Tak pernah ada secercah cahayapun yang menyinarinya. Kehidupannya terhenti. Mentari telah sirna. Pergi. Hilang. Mungkin ia mendapatkan tugas lain dari Tuhan. Menyinari sisi lain dunia ini. Entah bagian mana. Entah sampai kapan bumi akan terus tidur atau bahkan mati sebelum mentari datang memberikan kehidupan. Bumi hanya berharap mentari kembali bersinar disana agar apa yang ada didalamnya kembali hidup.


Mentari, adakah kau rasa yang bumi rasakan kini? Kerinduan yang mendalam. Melebihi dalamnya sumur dirumah-rumah warga. Melebihi dalamnya galian di Freeport sana. Hendak kau ukur dengan apapun dalamnya takkan pernah ada alat ukur yang mampu mengukur dalamnya rindu bumi padamu, mentari.


Apakah kau lupa diriku? Mentari, aku tak pernah lupa akan dirimu. Mana mungkin aku bisa melupakan kenangan yang begitu indah. Mana mungkin aku bisa menghilangkan atau menganggap kita tidak pernah ada apa-apa sebelumnya? Mana mungkin? Itu tidak mungkin.


Semoga segala asumsi aku tentang dirimu adalah hanya hoax semata. Hanya asumsi semata. Semoga. Justru aku berharap disana kau sedang melakukan sesuatu hal yang kelak kau berikan padaku. Entah itu apa. Mungkin akan menjadi kejutan besar bagiku. Aku harap begitu. Disini, bumi hanya memiliki harapan. Harapan itu harus selalu ada bukan mentari? Dan itulah harapanku. Kerinduan yang mendalam ini semoga disampaikan kepadamu hingga kau tak berlama-lama diluar sana.


Ingatlah, kita ditakdirkan bersama. Bukan sendiri-sendiri seperti ini. Jangan kita mengingkari takdir kita itu. Kita ibarat sisi mata uang, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Aku yakin, sekalipun raga kita saat ini berpisah namun jiwa, hati, dan perasaan kita tetap menyatu. Berpisahnya raga tidak mengartikan bahwa kita berpisah. Aku yakin itu. Kita tetap bersama. Namun kini kita sedang berusaha masing-masing agar kelak –mungkin ketidaksengajaan itu kembali mempersatukan kita.



@imardalilah

p1

Sajak Kemerdekaan

Indonesia. Kau tahu itu nama apa? Itu nama Negara dimana aku tinggal. Tanah airku. Bumi nusantara.

Indonesia. Kau tahu apa yang membuatku bangga dengannya?

Keunikan dan keberagamannya yang bersatu dalam satu wadah yaitu Indonesia.

Memang ia tak terkenal  seperti Amerika Serikat atau Singapura. Tapi tidak ada satu Negara pun didunia ini yang tidak tertarik padanya.

Hamparan tanah yang luas, laut yang indah dan penuh dengan kekayaan. Manusia yang begitu banyak jumlahnya menjadi incaran para kapitalis dan liberalis.


Enam puluh Sembilan tahun bukanlah usia yang muda. Namun bukan berarti Indonesia sudah dewasa.

Enam puluh Sembilan tahun merdeka, bebas menentukan arah hidupnya sendiri. Namun bukan berarti bebas menentukan arah hidup Indonesia. Begitu banyak kepentingan.

Enam puluh Sembilan tahun tidak akan sebanding jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang sudah berusia jauh lebih tua dibanding Indonesia.

Enam puluh Sembilan tahun, usia kemerdekaan Indonesia.

Masih banyak orang didalamnya yang hidup tidak merdeka. Bukan hanya yang hidupnya dibawah garis kemiskinan. Lebih daripada itu.

Ada bukan anak yang tidak bebas menentukan arah hidupnya?

Ada bukan anak yang terus dibayang-bayangi ayah dan ibunya dalam menentukan pilihan yang ia sukai?

Ada bukan anak yang bermimpi besar dan tinggi lalu orang lain mengatakan “Hei, mimpi jangan ketinggian. Nanti kau jatuh, sakit” ?

Ada bukan anak yang memberikan alasan kenapa ia terlambat datang ke sekolah namun seketika itu pula gurunya langsung menghukum?

Ada bukan anak yang di cap bodoh oleh orang tua, guru, dan lingkungannya?

Ada bukan anak yang menonton program televise yang tidak layak?

Ada bukan anak yang merokok, bebas menonton video porno, bahkan dibunuh oleh tetangganya sendiri?

Ada bukan anak yang dibunuh mentalnya bahkan pelakunya diri kita sendiri?

Itu hanya sebagian kecil potret negaraku, Indonesia. Sangat kecil dari begitu banyak tempaan yang sedang menerpa Indonesia.

Apakah dengan begitu aku membencinya? Tentu saja tidak.

Berapa banyak diantara kita yang mengaku mencintai Indonesia namun sering menghina negaranya sendiri?

Saat timnas Sepakbola kalah. Saat timnas badminton kalah. Saat setiap keburukan yang muncul di Indonesia, lalu kita berkata “Namanya juga Indonesia”. Begitu bukan?

Lalu saat tujuh belas agustus kita mengaku mencintai Indonesia dengan memasang bendera merah putih didepan rumah, mengganti profil picture sosial media dengan bendera merah putih, dan perayaan lainnya.

Apakah itu yang dinamakan merdeka?

Kita sendiripun masih menjadi budak, belum merdeka.

Kita budak atas pola pikir kita sendiri. Kita masih dijajah oleh pola pikir kita yang dipengaruhi oleh modernisasi dan globalisasi bahkan westernisasi.

Mari bebas menentukan arah bangsa ini tanpa ikut campur pihak diluarnya.

Seperti saat kita membangun rumah tangga –sekalipun ibu atau bapak kandung kita- mereka  tidak boleh ikut campur dalam rumah tangga kita. Begitu bukan?

Jadi, merdekakanlah pikiran kita sehingga kita bisa berpikir dan bertindak layaknya orang yang merdeka. Bukan berpikir dan bertindak layaknya sang penjajah.

Indonesia, bagaimanapun rupamu aku mencintaimu. Dan bagaimanapun kau dimata dunia, aku mencintaimu. 

Kelak oleh generasi muda saat ini kau akan berkibar diatas Negara-negara lain di dunia ini.

Bakti dan cintaku untukmu, negaraku. Indonesia.


@imardalilah 


p1

Cinta Yang Menduakan Tuhan

“Ma, memang cinta itu mesti pegangan tangan kayak gitu ya?” Adikku seketika bertanya seraya menunjuk sinetron di tipi. Kalau tidak salah ingat adegannya seorang remaja ‘nembak’ orang yang disukainya dengan mengatakan ‘Aku Cinta Sama Kamu, Kamu Mau Jadi Pacar Aku?’. Mamaku sontak tercengang, “WOW aku tercengang” Ala Fitri Tropica. Langsung dipindahkan saluran tipi itu. Kemudian Mama menjelaskan.


“Dik, itu bukan cinta. Cinta itu tidak pernah menyentuh yang bukan miliknya. Karena cinta itu suci.” Ujar Mama pada adikku yang beranjak remaja.

“Tapi Ma cowoknya bilang dia cinta sama cewek tadi?”

“Itu tandanya cowok itu belum paham makna cinta. Kamu ingat ya Dik, Cinta itu luhur maka ia tidak menyentuh suatu hal yang membuatnya menjadi rendah seperti yang kamu lihat tadi. Kalau ada cowok yang bilang kayak gitu ke kamu apalagi sambil pegang bagian dari anggota badan kamu, jangan mau ya. Bilang aja ke dia ‘sana belajar dulu cinta itu apa, baru bilang cinta’. Ok?”

“Ok, Ma. Nah terus Ma yang pacaran gitu?”

“Mengungkapkan cinta dengan cara tadi aja sudah memperlihatkan kalau itu bukan cinta. Apalagi pacaran? Memang adik mau di pegang-pegang, dibawa kemana-mana, di macem-macemin sama cowok? Adik itu mahal. Jadi ga sembarang orang boleh pegang-pegang apalagi sampe ngebawa adik kemana-mana.”

“Oh gitu ya, Ma. Ok Ma.”

Mendengar percakapan antara Mama dan Adikku, aku jadi tergerak ingin bertanya.

“Ma, temen aku dikampus pacaran sih engga tapi dia lagi suka banget sama cowok ampe doa gitu. Doanya minta dijodohkan gitu dengan cowok yang lagi disukainya supaya si cowok bisa ngebimbing kearah yang lebih baik lagi. Aku sih aneh pas dengernya, Ma. Bukannya tentang jodoh itu kita serahkan pada Allah?” tanyaku penuh penasaran.

“Wah gitu, Kak? Memang cowoknya seperti apa sampai temen Kakak berdoa seperti itu?” Mamaku malah balik bertanya.

“Hmm, ga begitu ngerti sih Ma. Bagi aku sih biasa aja. Tapi kan bagi orang yang jatuh cinta, kalau cintanya sudah melekat tahi kucingpun rasa cokelat, Ma. Hehehe” Aku tertawa lepas. Sambil membayangkan teman-temanku yang sedang gila karena cinta.


“Kakak ada-ada aja. Kakak benar, jodoh itu serahkan pada Allah. Namun begitu kita tetap ikhtiar. Ikhtiarnya bukan meminta si A jadi jodoh kita karena kita tidak tahu siapa yang terbaik untuk kita dalam menghabiskan sisa hidup. Kakak inget ya, ikhtiar itu kita meningkatkan ibadah kita dihadapan Allah karena kita cinta pada Allah bukan karena kita sedang suka pada lawan jenis lalu meningkatkan ibadah agar Allah mau mengabulkan keinginan kita berjodoh dengan orang yang kita suka itu. Itu namanya kakak sok tahu. Allah kan Yang Maha Tahu. Kenapa tentang jodoh yang sangat rahasia itu ga kita serahkan sepenuhnya pada Allah? Kita ga percaya pilihan Allah itu terbaik untuk kita sehingga kita sok-sokan minta dijodohkan dengan orang yang kita suka agar membimbing dijalan Allah?” Mamaku menjelaskan panjang kali lebar sama dengan luas.


Aku manggut-manggut tanda mengerti apa yang Mama katakan.

“Kak, dalam Surat Al Fatihah kan ada tuh doa ‘Tunjukkanlah kami jalan yang lurus’. Yang menunjukkan jalan yang lurus itu Allah bukan pasangan hidup Kakak kelak. Tentu sebagai imam dalam keluarga, seorang suami harus bisa mengarahkan istri dan anaknya kepada jalan Allah. Mama khawatir doa teman kakak itu bermakna menduakan Allah dan sombong.”

“Maksudnya gimana, Ma?” kali ini aku bingung dengan penjelasan Mama.

“Gini loh Kak. Kan doa teman kamu itu minta dijodohkan dengan cowok yang lagi disukainya itu dan berharap si cowok bisa membimbingnya, gitu kan?”

“Iya, Ma. Terus?”

“Nah kenapa dia doanya seperti itu? Memang Allah ga bisa membimbing dia ke jalan yang baik sehingga meminta dijodohkan dengan cowok yang disukainya agar kelak ia mampu membimbing dalam kebaikan? Itu kan bisa bermakna menduakan Allah. Udah gitu sombong minta dijodohkan yang belum tentu baik untuknya.” Terang Mama padaku sangat serius.

“Terus baiknya gimana Ma kalo doa? Biar Kakak juga ga salah berdoa dan meminta pada Allah.”

“Kalau kakak lagi suka sama lawan jenis, curhat aja sama Allah. Bilang kakak lagi suka sama seseorang –misal si A sebut aja, minta pada Allah agar perasaan kakak itu ga tumpah ruah kemana-mana, minta pada Allah agar Kakak tetap bisa menjaga kehormatan kakak dengan menjaga perasaan kakak, minta pada Allah agar kakak di mampukan mengatur perasaan itu. Blak-blakan aja sama Allah. Tapi kakak jangan pernah minta untuk dijodohkan dengan orang yang lagi kakak suka. Biar Allah yang memberikan petunjuk. Kalau kakak udah siap menikah barulah kakak minta agar diberikan petunjuk jika memang dia adalah pilihan Allah.” Mama menjelaskan dengan penuh kasih sayang dan ketulusan.

“Oh gitu ya, Ma. Pointnya kita ga boleh meminta dijodohkan dengan si Anu.”

“Yaa, betul. Masa depan Kakak masih panjang. Kakak masih punya banyak pilihan di depan sana. Belum tentu kan cowok yang kakak suka saat ini adalah yang terbaik? Selagi kakak ikhtiar, mencari dan hingga nanti memilih, mantapkan dulu diri kakak dengan ilmu dan persiapan lainnya. Cowok masih banyak, Kak. Ga usah lah kita minta dijodohkan dengan orang yang kita suka segala, kayak kakak ga laku aja.” Mama mengakhiri kalimatnya itu dengan tatapan agak sinis.


“Iya, Ma. Siap. Sekarang kakak fokus ke diri kakak aja dulu. Jodoh mah gampang. Kalo kita cinta sama Allah dan Allah cinta sama kita, sekelas Reza Rahardian aja pasti Allah kasih. Yakan, Ma? Intinya sekarang kakak mesti bikin Allah cinta sama kakak bukan bikin cowok yang kakak suka cinta sama kakak.”


“Nah itu kamu paham. Cinta kamu pada Allah dan cinta dia pada Allah-lah yang akan mempertemukan kalian berdua kelak. Sumber cinta yang sama akan dipertemukan. Kalau kakak cintanya karena dia berarti dia juga cintanya karena kakak. Sedangkan sebaik-baiknya dasar cinta adalah atas dasar cinta pada-Nya.” Mama memelukku dan adikku yang melongo mendengar perbincangan aku dan Mama.


Kini aku semakin paham bahwa cinta itu suci dan mulia. Barangsiapa yang mendapatkannya dengan cara yang hina dan kotor, dia sebanding dengan apa yang dia dapatkan, dia sebanding dengan cara ia mendapatkan cinta. Dan cintanya? Tentu saja sebanding dengan caranya itu.


Ya Allah, jauhkan aku dari cara-cara yang hina dan menghinakan diriku juga cinta yang sesungguhnya mulia. Jauhkan aku dari golongan orang-orang yang mengagungkan cinta namun tidak memperlakukan cinta sebagaimana ia mengagungkannya. Jauhkan aku dari mencintai manusia melebihi cintaku pada-Mu sehingga aku pantas mendapatkan seseorang yang mencintai diriku tidak melebihi cintanya pada-Mu, pantas mendapatkan seseorang yang sangat Engkau cintai karena ia sangat mencintai Engkau dengan tidak menduakan-Mu dengan apapun terlebih dengan diriku sendiri.





@imardalilah

p1

Melupakan Itu Sulit

Tiba-tiba hujan turun malam ini. Padahal siang tadi matahari begitu menyengat kulit hingga kering seperti sawah yang terkena musim kemarau panjang. Bedanya, kulitku ini tidak sampai terbelah-belah seperti sawah yang kekeringan. Tiba-tiba pula aku teringat seseorang. Dulu ia seperti mesin penggerakku. Mungkin tanpanya aku tak akan bisa berbuat apa-apa, aku tak akan bisa berbuat banyak hal.


Aku sangat mencintainya. Bukan karena keelokan wajah, bukan karena harta, bukan pula karena siapa dia. Aku mencintainya karena aku mencintainya. Bagiku, tak ada alasan untuk mencintai. Cinta ya cinta. jika ditanyakan mengapa aku mencintainya, aku tak bisa menjawab. Sekalipun pertanyaan itu dilontarkan dengan kondisi aku ditindih batu besar aku tetap tidak bisa menjawabnya. Tak ada jawaban untuk ‘mengapa kau mencintainya?’.


Cinta yang tumbuh seiring berjalannya waktu itu semakin lama semakin kuat. Namun begitu bukan berarti tak ada halau rintang yang menghadang.


Itu dulu. Kini jauh berbeda. Aku sudah memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Tanpa harus ada yang dijelaskan karena bagiku semua sudah jelas untuknya. Walau sudah lama aku berpisah dengannya namun segala kenangan kebersamaan itu masih tersimpan rapi disini –hatiku. Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba kenangan itu kembali. Bertahun-tahun aku mencoba melupakannya namun tetap tak bisa.


Aku sangat tersiksa dikala aku mendadak ingat, ingat segala macam bentuk ingatan tentangnya. Aku berusaha sekeras mungkin melepaskan, melupakan, meninggalkan segala yang berkaitan dengannya. Sayang, semakin aku berontak dengan perasaanku aku semakin terkukung. Tak bisa pergi dari kenangan itu. Aku stuck. Mungkin aku pun pasrah.


Temanku mengatakan jangan diniatkan melupakan. Aku katakan padanya, kau tak pernah merasakan apa yang kurasakan kini. Kau mudah saja bicara demikian. Coba kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan, hah? Kau pikir melupakan itu mudah? Kau pikir lepas dari bayang-bayang masa lalu itu gampang? Dan kau pikir meninggalkan dia kala itu keputusan sepele?


Aku tak habis pikir dengan orang yang asal jeplak berbicara seperti itu.


Lalu dia mengatakan, semakin kau berniat melupakannya kau justru semakin tersiksa. Ingatan akan kenangan masa lalu itu akan terus muncul. Aku tak meminta atau menyuruhmu melupakannya tapi aku hanya mengatakan jangan kau niatkan melupakannya. Jujurlah pada dirimu sendiri bahwa kau masih mencintainya jika memang itu yang kau rasakan. Jujur atas perasaanmu terhadapnya agar kau lebih tenang dan lega.


Kata-katanya, kalimatnya. Aku berusaha mencernanya. Memahaminya. Aku terdiam. Tenggelam dalam memahami makna dari apa yang temanku katakan.


Belum selesai ku memahami perkataannya tadi, dia kembali berucap. Melupakan itu susah, sulit, tidak mudah. Kau butuh proses lama jika ingin lupa seseorang dan jangan kau niatkan. Tidak ada seorangpun menurutku bisa benar-benar melupakan orang yang pernah ia cintai. Tidak ada. Karena memang Tuhan sudah memberikan garisnya bahwa orang yang kita cintai itu menjadi salah satu tokoh yang berperan dalam hidup kita. Dia sudah dikirimkan Tuhan. Dia sudah dicatat jauh-jauh hari untuk bertemu denganmu sebelum akhirnya dipertemukan dengan dirimu.


Kembali. Aku kembali mencoba memahami kata demi kata yang keluar dari temanku itu. Memang selama ini aku terlalu berniat melupakannya. Bagiku, dia sudah tidak berarti lagi. Jadi buat apa aku masih menyimpannya dalam diriku? Hanya menyesakkan dada. Sekarang aku paham mengapa aku ingin sekali melupakannya. Karena kami sudah berbeda jalan. Dulu kami bersama, sekarang kami menjalani kehidupan masing-masing.



Melupakan itu sulit. Betul sekali. Susahnya melupakan.




@imardalilah

p1

Hidup Cuma Pengulangan


“Bro, gue bosen nih sama hidup gue. Gini-gini aja masa ga ada perubahan.” Ucap Omen, membuka percakapan malam ini saat kami berdua memandangi langit tanpa bulan namun ditemani oleh rintikan air hujan yang menetes sedari tadi ke bumi. Bau tanah yang khas tercium aromanya. Segar sekali udara malam ini.

Sebelum menanggapi ocehan Omen yang tak berbobot itu, gue nyeruput teh manis dan pisang bakar yang tersedia diatas meja. Sluuurrpp aaah. Suara khas yang keluar saat seseorang menikmati minuman yang ditengguknya.

“Emang lo mau hidup yang kayak gimana, Men?” Gue nanya datar banget sambil menaruh cangkir teh manis yang baru saja di sluuurpp aaah.

“Yaaa ga yang gini-gini aja, Bro. Lo liat sendiri kan hidup gue kalo ga makan ya tidur, kalo ga tidur ya nonton tipi, kalo ga nonton tipi ya ngupil. Ga ada perubahan sama sekali, Abrooo.” Jawabnya sambil melotot aneh ke gue.

“Lo terlalu mendramatisir hidup, Men. Hidup ya emang gini gitu aja. Ga ada perubahan sama sekali. Yang berubah cuma zamannya sama beda orang aja.”

“Maksud lo, Brooo?” Omen mulai bertingkah aneh. Menatap gue tajam seakan ia melihat sosok yang ganteng luar biasa. Melebihi gantengnya artis Korea. Eh artis Korea mah ga ganteng. Mereka mah cute, hahaha.

“Ah elu gitu aja ga ngerti. IQ berapa sih?” Sambil gue taruh jari telunjuk ke bagian kepala.
“Udah Bro jawab aja sih.” Omen mulai males.

“Oke, fine. Thank you. And you? Halah salah fokus. Oke, berhubung gue baik hati dan tidak sombong gue bakal jawab kegalauan lo itu. Yaa gue tau-lah gue itu tau akan hal apapun. Mbah google aja kalah sama gue. Hahaha”

“Masa? Apa buktinya?”
“Buktinya nih coba lo tanya Mbah Google dimana dan siapa jodoh lo. Pasti dia ga bisa jawab deh.”
“Emang lo tau?”
“Tau dong. Apa sih yang ga gue tau? Nih yaa gue kasih tau jodoh lo tuh udah pasti lawan jenis lo dan dia ada di Bumi.”

“Yeeee itu mah perawan keriput juga tau keles. Udah fokus-fokus. Lo gagal fokus mulu dah.”

“Ok, siap. Gini Men, hidup itu ya emang gini gitu aja. Ga ada yang berubah. Kayak yang tadi gue bilang hidup itu yang beda cuma zaman dan orangnya aja. Lo pernah sekolah kan dan belajar Fisika?”
“Pernah lah. Kan kita sekelas dari SD.”

“Ohiya lupa. Kan ada tuh hukum kekekalan energi : Energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Inget ga lo pelajaran Pak Giyok?”

“Emang ada ya hukum itu? Gue cuma inget hukum cambuk sama hukum karma doang.” Dengan mimik mukanya yang sok polos –lebih tepatnya sih oon itu Omen terlihat sedang berpikir sembari memiringkan kepalanya. Mungkin sinyal di kepalanya lagi ga ada, makanya kepala dia miringin dikit. Padahal tanpa dimiringin, otak dia udah miring.


“Ah elu kebanyakan nonton sinetron Ganteng-Ganteng Srimulat sama nyimak berita TKI di Arab sih. Ya jelas ada dong, Men. Dari hukum itu bisa kita ambil kesimpulan kalo Allah saat ciptain alam semesta ini sekaligus energi yang ada didalamnya dari dulu semenjak sekarang sama aja jumlahnya, ga berkurang ga nambah.”

“Oh gitu. Terus terus?” Lagi-lagi muka oonnya mendekati muka gue. Ampun deh agak enek gue liat muka dia tiap hari. “Ga usah deket-deket juga keles, Men. Woles aja. Gue tau, aura gue emang cetar membahana ulala siswanto cekalih.” Sambil gue tatap ia dengan menjauhkan kepala dari muka seramnya Omen. Dan gue gerakin bahu gue buat ngusir mukanya yang mengusik pemandangan disebelah gue.


“Gue pernah baca di buku Quantum Ikhlas, kalo energi itu cuma berpindah aja dari satu sisi ke sisi lain. Ga berubah. Ga bertambah, ga berkurang. Karena tadi –lo inget hukum kekekalan energi. Kalo kata Pak Giyok karena ga ada yang bisa menciptakan dan memusnahkan kecuali Allah. Paham ente, Men?”


“Yaelah, Bro. Lo segala pake ente-ente. Berasa gue lagi dengerin anak Lembaga Dakwah Kampus aja.”

“Lah emang ngapa? Ente kan sama aja ELO. Cuma kalo buat orang berandal kayak kita ya GUE-ELO, kalo buat mereka yang alim ANE-ENTE. Sama aja sih, Men. Jangan suka beda-bedain lah.”

“Ok, fine thank you and you…. Lanjut bro.”

“Energi itu bukan cuma kekuatan kayak kita ngangkat barang, Men. Energi itu segala sesuatu hal deh. Misalnya kaya-miskin, baik-jahat, amanah-khianat, dan sebagainya. Dari zaman dulu ada kan yang kaya-miskin? Yang baik-jahat? Yang amanah-khianat? Nah zaman sekarang juga ada kan? Itu yang namanya energinya tetap ada dan sama, yang beda cuma zaman dan orangnya atau pelakunya.”


“Oh begindang toh. Ih kok kamyuh pinter bet sih, Bro. Jadi suka deh akuh sama kamyuh.” Sambil kedip-kedip mata tuh si Omen matanya, kayak orang cacingan. Gue doain lo Men kedip-kedip terus kayak lampu yang udah mau mati –udah pengen diganti.

“Dih. Lo kesurupan setan alay ya?” Gue dorong-dorong dia sampe ke ujung berung. Bener-bener punya temen ga waras banget.

“Aaaaah Abroo, I love you. Sini-sini cama Omen di peyuk cium kangen rindu cyekalih.”
Gue rasa beneran si Omen kesurupan setan alay nih. “Men, belum selesai nih. Lanjut kaga? Kalo engga, gue pergi nih?” Gue ngancem biar dia segera sadar dari kerasukannya yang ga jelas itu. Lagian Omen mau-mauan dirasukin sama setan alay. Kalo gue sih milih-milih. Ah dia mah pacaran aja mau sama siapapun. Kambing di bedakin aja dia mau.

“Eh jangan dong, Bro. Ok, fine thank you and you… lanjut Brooo…” Nah kan dia sembuh.

“Hidup tuh cuma pengulangan masa lalu aja, Men. Tapi bukan berarti masa lalu lo yang ditinggal kawin si Jebleh bakal terulang kalo lo pacaran lagi sama cewek laen. Bukan itu.”

“Aaaah Abro, gue jadi inget si Jebleh kesayangan gue. Jadi sedih deh nih.” Omen langsung galau denger nama Jebleh. Dia langsung garuk-garuk tembok. Galau yang aneh. Se-aneh namanya, Omen. Padahal Omen tuh sebutan tikus kalo di kantor gue.

“Hahaha, alay lo. Bener-bener alay. Mending lo minum tuh air ujan yang baru turun dari langit. Anggap aja itu air mata lo yang lo minum sendiri. Wahahahaha.” Gue ketawa ngakak sambil guling-guling kasur.

“Broooo, sakitnya tuh disini.” Omen sambil nunjuk ke dompetnya. Mengisyaratkan kalo selama pacaran sama Jebleh dia udah banyak keluar modal. Iyalah, pacaran lima tahun. Kalo jajannya tiap malam minggu seratus ribu di kali dua ratus lima puluh minggu, udah berapa tuh? Udah bisa ke beli motor tinja eh ninja si Omen.

“Hidup cuma pengulangan masa lalu maksudnya dikaitkan dengan hukum kekekalan energi, Men. Kan tadi gue udah bilang, di masa lalu itu ada yang kaya ada yang miskin ada yang baik ada yang jahat ada yang amanah ada yang khianat, kan? Semua hal yang terjadi di masa lalu itu pasti sembilan puluh sembilan persen terulang kembali di masa kini. Bedanya apa, Men?”

“Beda zaman dan orang atau pelakunya.”

“That’s right, Omen my hunny sweety bunny monkey.” Omen malu-malu empus mendengar gue nyebut nama dia dengan sebutan begitu. Sesaat kemudian dia sadar kalo ujungnya ga enak.

“Masa lo nyebut sodara sendiri sih, Bro?” Tatapannya sinis.

“Canda ilah. Sensitif banget lo kayak tespack. Tespack aja ga gitu-gitu amir.”

“Ok, fine thank you and you…..Lanjut Bro…”

“Zaman Rasulullah dulu ada diantara Kaum Quraisy yang pengen jadi pemimpin dia bersikap baik tapi pamrih. Biar brand image-nya terbangun bahwa dia adalah orang yang baik. Sekarang banyak kan Men orang kayak gitu? Baik yang berpamrih. Ga cuma orang yang pengen naik ke pemerintahan atau anggota dewan tapi juga orang biasa kayak kita. Banyak kan di sekitar kita orang yang kayak gitu?”


Omen nyimak gue khusyuk banget. Padahal kalo solat belum tentu tuh dia se-khusyuk itu. Hahaha. Gapapa dah, yang penting gue liat dia khusyuk sekarang. Omen mengangguk tanda mengiyakan. Dia masih nyimak dengan seksama.


“Rasulullah saat awal berdakwah  banyak yang mengecam. Padahal beliau sangat terkenal sebagai orang yang baik, pribadi yang sangat sangat baik dan terhormat. Kaum Quraisy sendiri yang memberinya gelar Al Amin –orang yang terpercaya. Kaum Quraisy pula yang tidak percaya pada apa yang dibawa Muhammad adalah benar. Aneh kan? Zaman sekarang sudah pasti ada orang yang sangat dikagumi, dihormati, dihargai, disegani, lalu kemudian ia dijauhi bahkan dimusuhi atau mungkin diperangi hanya karena apa yang ia katakan tidak sesuai dengan keyakinan yang dianutnya, tidak sesuai keyakinan yang dibawanya dari nenek moyangnya. Padahal apa yang dibawa oleh orang tersebut adalah suatu kebenaran, bukan sihir bukan pula tipu daya.”


Omen, dia makin terkesima melihat gue berbicara. Ah, memang gue penuh pesona. Bahkan kucing gue aja saking terpesonanya dia pengen nyakar muka gue. Muka gue ngegemesin banget kan?

“Bener tuh, Bro. Berarti kejadian kayak gitu tuh membuktikan bahwa Al Qur’an memang kitab sepanjang zaman ya, Bro?  Al Qur’an isinya dari dulu ga berubah barang satu huruf pun. Dalam Al Qur’an itu berisi cerita-cerita masa lalu yang sebenernya saat masa kini juga banyak terjadi. Karena itulah Al Qur’an ga ada kata expired, ya kan? Dan karena itu pula hidup itu ya gini gitu aja, gitu kan Bro?


“Omen, lo cerdas banget. Ga nyangka IQ lo nyampe juga ke ranah logika ribet kayak gitu. Hahaha. Gue kira selama belasan tahun kita sahabatan lo ga bakal ketularan kecerdasan cara berpikir gue. Eh ternyata gue salah kira. Lo ketularan juga akhirnya. Ah, bahagianya hati ini Men. Lo keren, Men, Keren.”

Gue agak lebay. Sambil mata berkaca ngedenger Omen ngomong kayak gitu. Selama ini otak si Omen ga nyampe kemana-mana. Jangankan logika berputar berbelit kayak gitu. Satu tambah satu aja dia ga tau hasilnya berapa. Terima kasih buat setan manapun yang udah merasuki otaknya, Omen. Gue bahagia ga terkira. Akhirnya gue ga perlu lagi jelasin panjang lebar kalo ngomong sama Omen.


“Dih kok jadi lo yang lebay, Bro? Segala pake peluk-peluk gue segala lagi. Emang lo kira gue homo? Gay? Eh sorry ya, gue masih normal. Sekalipun ga ada lagi cewek di dunia ini dan lo satu-satunya penghuni Bumi selain gue, gue ga bakal nolak lo jadi pasangan gue.”

“Nyesel gue Men udah muji lo tadi. Penyakit lo kumat lagi aja. Sekarang lo ngerti kan maksud dari hidup ya cuma gini gitu aja, hidup ya cuma pengulangan masa lalu aja?” Gue mulai ragu kalo Omen beneran cerdas dan paham apa yang gue omongin panjang kali lebar sama dengan luas dari tadi. Sampe bibir gue jeding, lidah kering, upil numpuk, ingus meler, mata belekan, ngejelasin begitu doang ke Omen.


“Yaelah, ngerti lah. Sekarang gue paham kenapa gue kerjaannya kalo ga makan nonton tipi, kalo ga nonton tipi ya tidur, kalo ga tidur ya ngupil. Karena zaman dulu juga ada orang yang begitu, yakan Bro?”

Gue menghela nafas panjang, “Iya aja dah, Men. Serah elo mau kata apa juga. Suka-suka lo aja.” Gue mulai kesel, mulai males, mulai mules, dan gue mulai pengen ngegetok dia pake barbel dua puluh lima kilo.


“Bro, gue paham. Ciyus deh. Kenapa sekarang gue lagi ngerasa bosen karena diluar sana ada orang yang lagi bersemangat. Nanti kalo gue bersemangat lagi, diluar sana ada orang yang lagi bosen. Karena dari dulu juga gitu ada orang yang lagi bosen, ada orang yang lagi on fire. Berarti sekarang gue nikmatin aja rasa bosen gue. Tapi bukan berlarut-larut entar malah kebablasan hidup gue jadi ga jelas. Sambil gue bosen, gue sambil cari inspirasi pas gue makan, nonton tipi, ngupil, bahkan pas gue tidur. Ibarat kata orang tuh hidup berputar kayak roda. Nah kan roda kalo muter cuma gini gitu aja juga, kan? Pas roda itu muter terus berenti gue kebagian dibawah berarti ada orang lain yang diatas, begitu juga sebaliknya. Inget ye Bro maksud gue rodanya muter bukan jalan. Kalo jalan kan rodanya berpindah tuh. Kalo muter kan rodanya disitu aja. Tapi inti dari keduanya sama kok. Kan ibaratannya rodanya bukan perpindahan roda, yekan?”


“Ih wow, lo cerdas. Kerasukan setan mana? Setan Einsten kali yaaak?” Gue ketawa ngakak

“Ah elu Bro. Gue salah, lo begoin. Gue bener, lo ketawain.” Omen manyun. Bibirnya ampe maju dua puluh meter.

“Canda ah. Lo mau gimana juga tetep Omen sahabat gue tersayang.” Gue meluk dia. Kita udah kayak teletubbies aja. Bedanya kalo teletubbies suka adu perut, kalo kita adu otak. Hahaha.


Ok, fine thank you and youuu….Kita ketemu di lain kesempatan dengan tema yang berbeda ya. Gue mau ngelonin Omen dulu yang malam ini pinternya keblenger. Love youuuu muaaach..


@imardalilah

p1

Lucu Itu...

Aku terdiam. Aku terhenyak. Kantong plastik yang aku jinjing jatuh. Jari jemariku lemas. Mata berbinar melihat pemandangan didepanku. Astaga, benarkah ini? Atau aku hanya mimpi belaka? Kau tau apa yang aku lihat? Es cendol dengan harga seribu rupiah saja. Heloooow, hari gini ada es cendol seribu rupiah? Gile luh.


Lucu? Mungkin iya. Biasanya saat melihat atau mendengar yang lucu aku tertawa. Pun begitu kamu kan? Atau saat melakukan hal aneh kita pasti tertawa karena lucu.  Lucu itu biasanya jika kita melihat, mendengar, atau melakukan suatu hal aneh yang mengundang gelak tawa. Namun bagiku lucu itu bukan sekedar itu. Lucu ituuuu…..


Lucu itu ketika aku gelisah, khawatir akan seseorang yang aku puja yang aku cinta ternyata tak balik mencintaiku tak balik memujaku. Pun aku khawatir kelak aku tidak berjodoh dengannya. Ruang dan waktu memisahkan aku dengannya. Atau mungkin kondisi yang tidak bisa diprediksi. Disaat yang sama pula ternyata aku menemukan diriku belum siap menjalin hubungan serius dengan pujaan hatiku. Lucu bukan?


Itu sangat lucu. Aku mengkhawatirkan orang yang belum jelas atau bahkan tidak jelas bagaimana kelak aku dengannya terlebih aku temukan diriku tidak ada kesiapan sedikitpun untuk menjalin hubungan serius. Lalu kemudian aku menemukan diriku yang selalu memujanya, mengelu-elukannya, hingga aku merasakan aku tidak bisa melepaskan bayangnya dari dalam benakku, dari dalam perasaanku, dari dalam pandangan mataku.


Dan sangat sangat lucu. Lucu sekali saat aku –tidak sengaja menjadi seorang yang protektif. Menanyakan kabarnya, menanyakan kegiatannya, menanyakan apapun tentangnya dan kegiatannya. Aku ingin mengetahui segala gerak geriknya. Mulai dari dunia maya hingga dunia nyata. Aku tak ingin satu detik pun tidak tau apa yang ia lakukan.


Semakin sangat lucu sekali teramat sangat. Aku memikirkannya setiap hari, setiap malam. Aku berpikir bagaimana jika aku tak berjodoh dengannya? Lebih baik aku mati saja daripada aku tidak bisa hidup bersamanya. Aku sangat gelisah, khawatir, aku takut… Aku takut jika ia lebih memilih wanita lain dibandingkan aku.


Lebih-lebih lucu yang sangat dan teramat sangat. Kala aku terus berharap akannya, tentangnya. Perasaan lucu ini semakin membuatku gila hingga yang aku pikirkanpun gila, yang aku lakukanpun gila. Aku merasa bahwa ia pun memiliki rasa yang sama denganku. Dia selalu ada disampingku saat aku butuhkan. Dia selalu mendukung segala kegiatan yang aku kerjakan. Dan aku, aku semakin tergila-gila akan dirinya.


Kau tahu? Justru itu lebih daripada semakin lucunya berlebih. Perasaan gila yang aku katakan baru saja menunjukkan bahwa aku melakukan hal yang gila. Apa? Aku terlalu percaya diri, aku ge-er (mungkin), karena dia begitu perhatian padaku, selalu mendukungku, selalu ada membantuku. Padahal ternyata dia memang baik, pria baik yang bukan berarti tandanya ia pun memiliki rasa yang sama.



Akhirnya aku tertawa sendiri dengan es cendol seharga seribu yang aku pesan sebanyak seratus gelas untuk menggenapkan kegilaanku. Es cendol itu menyadarkanku bahwa aku ini lucu. Lucu, belum siap menjalin hubungan serius tapi mengkhawatirkan seseorang, menggalaukannya, merisaukannya. Padahal aku mah apa atuh, cuma bisa menatapi foto dan stalk akun sosial medianya serta menatapi ia dari kejauhan.



@imardalilah yang lucu

p1

Maaf

Ramadhan telah berlalu. Syawal pun akan segera berakhir. Kita tersadarkan bahwa waktu bergulir begitu cepatnya. Langkah kaki tak mampu menyeimbangkan kecepatan waktu. Sudah Ramadhan kesekian hidup masih seperti hari lalu. Seperti ini dan seperti itu.


Wajah tak lagi muda. Keriput mulai melanda. Berjalan kaki sebentar saja habislah tenaga. Langkah kaki mulai goyah. Nafas tersengal. Penglihatan buram. Mata terlihat sayu dan letih. Kantung mata perlahan namun pasti membentuk diri menghiasi wajah nan pucat pasi.


Usia semakin tua. Namun kedewasaan belum tentu bertambah. Usia semakin bertambah. Namun pertemanan, persahabatan, uang, atau lainnya belum tentu semakin bertambah pula. Semakin usia bertambah, semakin sibuk. Sibuk mempersiapkan diri menuntut ilmu dalam jenjang yang lebih tinggi. Sibuk mencari pekerjaan. Sibuk berkarier. Dan sibuk lainnya.


Dalam kehidupan tentu saja ada yang berkurang dan ada yang bertambah. Hidup itu ya seperti itu-itu saja. Saat kita merasakan bertambah sukses dalam pekerjaan tentu ada yang berkurang. Mungkin saja waktu luang bersama orang tua, sanak family, teman nongkrong, atau untuk berbaur pun kita tak memiliki waktu luang.


Begitu juga bukan saat kita naik jenjang pendidikan –ke SMP, SMA, Kuliah? Teman SD-SMP-SMA kita perlahan tapi pasti tidak se-intens dulu menghabiskan waktu bersamanya. Itu alamiah sekali. Setiap manusia memiliki level/fase kehidupan masing-masing. Jadi jangan pernah samakan saat kita masih SD, SMP, SMA, kuliah, atau kerja bahkan setelah kita menikah. Kondisinya sudah pasti berbeda.


Pun begitu kala kita atau teman kita punya pacar. Tentu ia menikmati level/fasenya yang terbaru. Waktu bersama temannya berkurang. Sekali lagi, itu alamiah sekali. Namun begitu bukan berarti kita bisa menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk tidak meluangkan waktu sedikit untuk teman-teman kita. Luangkanlah waktu untuk teman bermain kita kala kecil, SD, SMP, SMA, kuliah, atau lainnya.


Memiliki fase baru bukan berarti menggantikan orang-orang lama yang ada dalam kehidupan kita dengan orang-orang yang baru. Jika kita begitu mudahnya melupakan seseorang karena ada yang baru sesungguhnya kita tidak pantas menjadi seseorang yang selalu diingat oleh orang lain. Terlebih jangan sampai kita di cap sebagai orang yang datang saat hanya ada maunya. Jagalah silaturahim.


Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Aku rasa peribahasa itu perlu kita ingat betul. Dalam menjalin hubungan apapun saat kita melakukan satu kesalahan sudah pasti seribu kebaikan yang kita lakukan sia-sia belaka. Tidak pernah terlihat. Maka sangat penting menjaga komunikasi agar kita tidak terlihat sebagai orang yang datang hanya saat ada maunya. Teknologi zaman sekarang sudah canggih toh? Jadi, tak ada alasan untuk berkilah sulit berkomunikasi.


Satu musuh terlalu banyak. Sejuta kawan terlalu sedikit. Jika ada kawan kita yang tersakiti oleh kita semestinya seperti itu pula perasaan kita, sakit. Jangan sampai kawan kita sakit hati oleh diri kita. Apalagi kita tidak sadar bahwa kita telah menyakitinya. Membuatnya sakit hati.


Meminta maaf itu mudah. Memaafkan itu sulit, susah. Bayangkan sakit hati yang dipendam begitu lamanya sudah seperti tumpukan sampah yang menggunung tinggi –menjulang ke langit lalu kita hanya mengucap kata “maafkan aku” apa gunungan sakit hati itu akan hilang saat itu juga? Tentu saja tidak. Perlu waktu lama untuk membersihkannya.


Begitu mudah meminta maaf. Saking mudahnya orang-orang menganggap enteng hal tersebut. Lihat saja saat Idul Fitri kemarin berapa banyak broadcast message yang berisi permintaan maaf? Seperti itukah caranya meminta maaf? Sungguh kita merugi meminta maaf dengan mengentengkannya. Maka dari itu aku tidak pernah membaca bahkan membalas broadcast message seperti itu. Itu seperti penghinaan permohonan dan pemberian maaf.


Jika kita memang berniat meminta maaf, gunakanlah dengan cara yang baik dan santun. Tunjukkan kesungguhan kita meminta maaf. Jangan sampai meminta maaf pada Idul Fitri hanya sebatas ceremonial belaka, hanya ikut-ikutan, formalitas saja. Minta maaflah dengan sungguh-sungguh. Jika perlu datangi.


Memaafkan itu tidak mudah. Perlu proses yang cukup lama. Lebih lama daripada sakit yang telah dideritanya.



@imardalilah

p1

Bagiku Ia Tetap Saja Dinosaurus

Entahlah apa ini namanya. Setelah jutaan tahun ia menghilang tiba-tiba ia muncul kembali. Apa yang ia mau dariku yang sudah melupakannya jutaan tahun lalu silam. Bagiku ia seperti dinosaurus. Sudah punah dan tidak tahu dimana keberadaan tulang belulangnya kini. Aku tak peduli akan hal itu. Bagiku ia seperti dinosaurus.


Bagiku ia seperti dinosaurus. Tak (mau) berubah. Masih saja sama seperti dahulu. Sedang aku seperti komodo yang beradaptasi dengan modernisasi zaman sehingga aku bertahan hidup hingga sekarang. Mungkin aku juga masuk kategori langka seperi komodo itu.


Dinosaurus punah karena ia enggan beradaptasi dengan kehidupan. Dia juga begitu. Punah dari hatiku, dari kehidupanku, dari angan-anganku, dari cita-citaku karena ia enggan beradaptasi –menyesuaikan diri dengan kehidupan yang selalu menuntut perubahan. Sedang aku seorang yang dinamis, seorang yang selalu ingin berubah, seorang yang selalu inovatif. Tidak ingin ada hal yang sama yang terjadi dalam kehidupan. Tidak ingin itu-itu saja.


Sebenarnya dia sudah punah. Namun kini ia kembali lagi dalam bentuk yang lain, minyak bumi. Ia datang seperti ingin memberikan manfaat padaku. Ia datang seperti tidak memiliki secuil kesalahanpun pada diriku. Ia datang dengan penuh percaya diri bahwa dirinya keren, perkasa seperti dinosaurus. Bagiku ia tetap saja dinosaurus. Mau berubah bentuk seperti apapun.


Dinosaurus itu justru menunjuk padaku bahwasannya akulah dinosaurus. Aku tertawa terbahak-bahak. Masih saja kau membalikkan kata seperti itu. Memang darimana kau bisa menilai aku tanpa kau melihat diriku? Melihat apa yang aku lakukan selama aku memusnahkan dirimu?


Kemudian ia membalas ocehanku. Dia membalikkan kata-kataku yang tadi ku lontarkan padanya. Loh memangnya kau melihat dan tahu akan diriku selama ini? Bukannya kau tak tahu? Berarti kau sama saja bukan?


Aku pun membalas, hei dinosaurus –makhluk yang tidak bisa beradaptasi hingga punah dengan sendirinya. Dengan perlakuanmu selama ini padaku saat kau menghilang dan memutus segala akses-ku padamu karena ada dinosaurus baru-mu itu, itu sudah cukup membuktikan bahwa kau ini dinosaurus. The real dinosaurus. Apa itu kurang untuk membuktikan bahwa kau adalah dinosaurus? Dan saat kau datang kembali padaku apakah itu juga kurang membuktikan bahwa kau memang benar-benar dinosaurus?



Dinosaurus itu terdiam. Lidahnya kelu. Kedua bibirnya saling menempel rapat seperti terkena power glue.  



@imardalilah

p1

Begitulah Seorang Teman

Seperti biasa, aku tak pernah bisa memejamkan mata sebelum ayam berkokok. Berbagai cara sudah dilakukan, mulai dari mematikan tv, pindah ke ruang tamu, membaca novel, hingga guling-guling ditengah jalan. Ah, yang terakhir itu hanya gurauan saja. Mana mungkin aku berani melakukannya? Mungkin kalau aku patah hati aku bisa saja melakukannya.



Khayalanku bermain entah kemana. Imajinasiku melanglang buana. Ada satu dua kejadian yang aku ingat. Satu hal yang luar biasa bagiku mengingat aku adalah seorang pelupa-ers, pikuners. Bahkan temanku lebih ingat kejadian yang aku alami ketimbang diriku sendiri.


Ingatanku terhenti pada Idul Fitri kemarin. Tiba-tiba saja aku mengingat-ingat siapa saja yang memberikan aku ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri dan meminta maaf. Satu dua aku ingat siapa saja yang memberikan ucapan itu dan siapa saja yang belum. Tak tahu mengapa ingatanku sampai pada hal tersebut.


Aku teringat program Mario Teguh Golden Ways. Saat itu beliau berkata “Jangan menjadi orang yang memberi saran. Tapi jadilah petunjuk jalan bagi orang lain. Jika orang lain mengikuti saran kita lalu terjadi suatu hal yang tidak diinginkan apakah kita mau bertanggung jawab? Maka, jadilah pemberi arah.” Kurang lebih seperti itu. Ah, makjleb kalimatnya.


Tentu saja banyak orang sok tau saat ini. Temannya curhat lalu diberikan saran. Kadang orang curhat itu bukan berarti ingin diberikan saran. Terkadang orang curhat hanya ingin didengarkan. Memang kita mau bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi atas saran kita?


Kebanyakan dari kita pun menganggap bahwa mendukung teman itu dengan cara mengiyakan semua yang ingin dilakukan temannya. Teman yang baik adalah ia yang bisa memberikan dukungan dalam bentuk pandangan-pandangan yang berbeda yang bisa dijadikan pertimbangan seorang teman dalam memutuskan suatu pilihan. Eksekutor tetap ada pada teman kita. Sebagai teman kita hanya memberikan pandangan yang berbeda saja.


Andai teman kita hendak melakukan hal yang salah pun kita mendukungnya, begitukah artinya mendukung teman? Mendukung tentu dalam lingkup kebaikan bukan keburukan. Sekali lagi, kita adalah pemberi second opinion dan dia (teman kita) adalah pengambil keputusan. Sama halnya seperti Allah. Dia memberitahu bahwasannya ada jalan yang baik dan buruk. Manusia dipersilakan memilih salah satu dari kedua jalan tersebut. Tidak ada paksaan. Allah memberikan kebebasan.


Pun Allah seperti itu. Karena apa? Karena Allah memberikan manusia pelajaran untuk bertanggung jawab dengan apa-apa yang telah dilakukannya. Seperti itu pulalah kita semestinya bersikap. Berikan pandangan-pandangan kita terhadap apa yang hendak teman kita lakukan. Jangan sampai kita mendukung secara membabi buta. Karena kelak kita dimintai pertanggungjawabannya.


Aku paham saking kita sayang pada teman kita membuat kita mengiyakan apapun yang dilakukannya. Karena kita menganggap begitulah seorang teman. Memang, rasa sayang dan cinta yang berlebih sering menjadikan kita seorang yang subyektif dan protektif yang berlebihan.



Biarkan teman kita hidup dengan pilihannya dan kita tidak terbebani dengan apa yang ia lakukan karena telah memberikan pendapat dan pandangan kita terhadapnya. Jika teman kita membutuhkan pendapat kita, berikanlah. Jika tidak diminta tak perlu repot-repot mengurusi urusan hidupnya.  Biarkan saja. Yang penting kita sebagai teman selalu siaga –selalu standby dua puluh empat jam untuk teman kita. Dia menganggap kita ada atau tidak, biarkan saja. Yang terpenting dia selalu ada di hati kita. Bukan begitu? 




p1

Berniat, Berilmu, dan Bertindak

Perut semakin keras berdendang. Namun tugas hari ini ternyata belum juga usai. Niat hendak pergi ke restoran cepat saji terhenti oleh kedatangan tugas baru. Mari selesaikan dan kita bersenang-senang. Ucapku pada diriku sendiri.


Jalanan kembali ramai dipenuhi oleh kendaraan roda dua dan empat. Para pendatang yang telah datang kembali dari kampung halamannya memenuhi jalanan yang sempat lengang beberapa hari lalu. Debu beterbangan, tak terelakkan walau penutup mulut sudah terpasang erat. Kedipan mata seketika lebih sering karena menetralisir debu yang ingin bertamu padanya.


Untuk memberi makan cacing-cacing perut yang sudah meraung –meronta meminta diasupi satu dua butir nasi masih dibutuhkan perjuangan panjang. Antri. Sabtu malam membuat restoran cepat saji ini dipenuhi kawula muda dan keluarga kecil yang hendak menghabiskan akhir pekan bersama keluarga dan teman sebaya.


Cuma membungkus tiga es krim saja lama sekali pelayan ini. Astaga semakin lama saja ketika si pembeli –seorang ibu yang rambutnya sudah berganti warna kurang memberikan uang kepada pelayan. Ini namanya bukan restoran cepat saji. Lihat saja, mau makan mesti antri sudah seperti orang-orang yang mau menerima zakat di rumah pejabat Negara itu saja.


Akhirnya satu porsi makanan cepat saji ku lahap habis. Sampai piringnya pun habis. Mungkin saking rakusnya cacing dalam perut. Telepon genggamku bordering. Ada pesan. Ternyata dari seseorang yang menanyakan sesuatu.


Bagiku pertanyaannya tidak begitu penting. Sombong? Memang. Mau dikata apa jika memang kenyataannya seperti itu?


Ada beberapa pertanyaan. Salah satunya tidak jauh-jauh tentang jodoh. Entahlah mengapa akhir-akhir ini begitu banyak yang bertanya mengenai hal itu. Tapi aku senang. Artinya mereka-mereka yang bertanya aware (ngeh) dengan persoalan jodoh. Well, dengan senang hati saya meladeninya.


Untuk mengenal seseorang yang ingin kita ajak berumah tangga sebagian besar dari kita hanya mengenal pacaran. Bagi seorang muslim ada cara yang sudah diatur yaitu ta’aruf. Banyak muslim yang tidak paham bahkan tidak tahu bahwa ada cara tersebut. Pun banyaknya mereka hanya tahu bahwa ta’aruf itu mengenal orang yang tidak kita kenal. Padahal tidak seperti itu. Ta’aruf boleh dengan siapapun. Tidak mesti dengan orang yang tidak kita kenal sebelumnya.


Bagaimana jika kita tidak mengenal orang itu sebelumnya? Silakan cari informasi dari orang-orang disekitarnya. Jangan sampai kita mau ta’aruf dengan orang yang tidak kita kenal lalu kita kenalan terlebih dahulu tanpa ada mahrom yang mendampingi. Itu namanya bukan ta’aruf tapi pedekate.


Saat kita memiliki niat baik tentang suatu hal carilah ilmunya. Niat hanya sekedar menjadi niat tanpa kita bertindak. Jangan sampai niat baik kita dilakukan dengan cara yang salah sehingga yang terbaca oleh orang lain tidak sesuai dengan niat baik kita. Misalnya niat ta’aruf eh ternyata dilakukan dengan cara-cara yang tidak semestinya –jalan berdua, makan bersama, asik komunikasi, sudah pasti bagi orang yang paham ta’aruf menilainya itu bukan ta’aruf.


Masih banyak lagi yang bisa kita temukan niat baik yang dilakukan dengan cara tidak baik. Misalnya kita mencari nafkah untuk keluarga namun dengan cara tidak baik atau kita niat belajar –berguru namun niat tersebut tidak pernah Nampak dari tindak tanduk kita. Wah jangan sampai seperti itu. Jika kita berniat baik dan belum tahu ilmu tentang hal tersebut, sempurnakanlah niat tersebut dengan ilmu dan tindakan.



Niatkan, berilmu, dan bertindak. Tanpa tiga hal itu bisa jadi apa yang kita lakukan tidak satu garis, tidak satu arah, tidak satu niat. Niatnya A, ilmunya B, dan tindakannya C. Tentu tidak selaras bukan? 


@imardalilah

p1

Beda Orang tua dan Anak

Sepulang dari berekreasi, badan serasa remuk redam. Mata sayup, tak mampu lagi menatap dengan tajam. Kaki lunglai, tak lagi mampu melangkah tegak. Jari lemas, tak lagi mampu bergerak lincah. Tubuhku ingin segera bertemu jodohnya, kasur. Dan aku tak kuasa untuk menahannya. Aku tergeletak tak berdaya –tak sadarkan diri hingga malam berganti pagi.



Hampir Sembilan jam aku terlelap dalam mati suri. Tubuh masih terasa lemas dan kuputuskan untuk tetap merebahkannya diatas kasur berselimut kain tebal yang disebut bedcover. Sambil rebahan, ku nyalakan tv dan menonton kartun kesukaanku. Ah sayang, baru sebentar sudah habis. Ku cari program kartun lain, ah ada kartun si Intuiting –Doraemon. Pariwara yang mengganggu keasikanku membuat aku mencari program tv yang lain dan kudapatkan acara kartun dari negeri tetangga –betul, betul, betul.


Dalam kelelahan dan kebosanan ternyata aku terpejam kembali. Tidak begitu lama. Aku terbangun dan tersadar. Astaga mimpi apa aku tadi? Benarkah mimpi aku tadi? Astaga Tuhan. Kenapa bisa?


Aku berusaha mengingat detail mimpi tersebut. Namun semakin aku berusaha mengingatnya, semakin bayangan mimpi itu hilang. Aku kembali mengingat dan lagi-lagi aku tak percaya bahwa baru saja –sekejap tadi aku mimpi berpapasan dengan almarhumah ibuku. Setelah bertahun-tahun aku tidak pernah memimpikannya, tidur yang tak aku sengaja itu membuat aku seketika terbangun dan termenung. Pesan apa yang hendak Tuhan sampaikan padaku?


Entah kapan terakhir aku bermimpi tentangnya. Seingat aku, dulu sekali –mungkin lima belas tahun lalu aku bermimpi tentangnya meninggal hingga aku terisak dan membangunkan beliau yang tertidur di sampingku dan beberapa tahun kemudian itu menjadi kenyataan. Itu pula alasan mengapa aku tidak pernah mau menceritakan mimpi yang sangat jelas aku lihat, seakan-akan aku mengalaminya.


Aku termenung, aku menangis, aku merenung, aku terdiam. Pun hingga detik ini aku masih terpikirkan hal itu. Aku mencari apa artinya sekalipun aku sangat ingat apa yang beliau katakan dalam sekejap kedipan mata itu. Pun aku ingat betul apa yang beliau lakukan ketika berpapasan denganku. Aku seakan tak mengenalnya dan aku seperti mengenalnya. Setelah ku selidiki ternyata benar itu ibuku.


Kata temanku yang kuceritakan mimpi itu adalah rindu. Langsung ku katakan bukan. Itu bukan rindu. Serindu apapun aku padanya tidak pernah Tuhan berikan aku bertemu dengannya di mimpi. Entah apa maksud-Nya. Entahlah apa namanya, nanti juga kau merasakan.


Apalah artinya mimpi. Yang pasti kedua orang tua membutuhkan kita sebagai anaknya –sebagai investasi baginya. Berapa banyak yang telah mereka berikan untukku tak sepadan dengan apa yang kuberikan padanya. Sekalipun itu doa sudah pasti doa mereka lebih sangat amat banyak dibandingkan doa ku untuknya.


Aku pernah mengatakan bahwa kesedihan ditinggal orang tua itu hanya sesaat saja. Kesedihan yang membuatmu selalu mendoakan mereka sungguh-sungguh, mengingat mereka –kebaikannya, kasih sayangnya, lindungannya. Lihat saja beberapa bulan atau tahun kemudian kau berdoa tidak akan sesungguh-sungguh seperti saat kau baru saja merasakan kehilangan. Tapi coba lihat orang tua yang ditinggal anaknya, doa-doanya selalu sama –semangatnya, isinya, kasih sayang dan cintanya, juga ingatannya. Itulah bedanya orang tua dan anak.


Sebanding jika dikatakan restu orang tua adalah restu Tuhan. Dengan orang tua merestui apa yang kita (hendak) lakukan bisa dikatakan (pasti) Tuhan pun demikian. Se-tua apapun usia kita, bagi orang tua kita tetaplah anak-anak –yang tidak tahu apapun, mesti dilindungi, dibimbing. Sekalipun kita sudah memiliki anak dan cucu, bagi mereka kita adalah anak-anak.


Manfaatkanlah waktu selagi kau bisa memeluk utuh orang tuamu, berbakti nyata padanya, melihat senyumnya, dan mendengar nasihatnya. Kelak kau akan merindukannya sekalipun itu adalah hal yang paling menyebalkan bagimu. Dan mungkin kau akan meminta pada Tuhan tak mengapa hidup penuh dengan omelan dan ocehan ibu bapak asal mereka ada disampingmu. Begitulah kala kita telah kehilangan.



@imardalilah

p1