Posted by Imar in
on
-
Allaahu Akbar Allaahu Akbar Allaahu Akbar Laa Ilaa Ha
Illallaahu Wallaahu Akbar Allaahu Akbar Walillaahilhamd…
Sejak Menteri Agama Republik Indonesia mengumumkan 1 Syawal
1435 Hijriah pada pukul 19.00 WIB tadi, takbir berkumandang di seantero negeri
ini. Tanda berakhirnya bulan Ramadhan, bulan pelatihan diri bagi umat muslim
untuk membentuk habits baru dalam dirinya. Habits baik dan terpuji yang
semestinya dibawa untuk sebelas bulan kedepan.
Betapa istimewanya Ramadhan. Orang-orang menghormatinya. Menjaga
lisannya, menjaga pekertinya, bahkan menjaga auratnya. Media massa pun ikut
berpuasa, menutupi sedikit aurat program-programnya yang selama ini mbikin mata sakit. Artis-artis
pun ikut ‘tradisi’ menghormati bulan Ramadhan dengan menutup auratnya,
berkerudung selendang, memakai baju yang sudah jadi, dan menjaga pekertinya. Para
pekerja seni itu setiap muncul di infotainment seperti itu, membagi-bagikan
amplop berisi uang –entah berapa kepada anak yatim.
Ramadhan, bisa mengubah manusia menjadi orang yang sadar
bahwa hidup mereka ada yang mengawali, ada yang mengawasi, dan ada yang
mengatur. Ramadhan begitu hebat, membuat orang-orang berubah sikap dan hidupnya
seratus delapan puluh derajat. Ternyata kita –khususnya umat muslim bukan tidak
paham bahwa hidup itu mesti mengikuti aturan Allah tapi kita tidak mau
melaksanakannya. Lihat saja potret kehidupan selama Ramadhan. Saat kita asik
memperbincangkan teman pasti ada yang mengingatkan “hey, jaga lisan kalian, ini
kan bulan puasa” begitu bukan?
Coba bayangkan seandainya kesadaran itu dibawa pada sebelas
bulan berikutnya, indah bukan? Mata kita bisa melihat lebih banyak kebaikan,
telinga kita akan lebih banyak mendengar alunan ayat Al Qur’an, dan lisan kita –tentu
kita berpikir berkali-kali untuk bicara.
Sebab itu saya katakan bahwa semestinya kita bukan
mempersiapkan datangnya bulan Ramadhan, semestinya bulan Ramadhan mempersiapkan
diri kita untuk sebelas bulan berikutnya. Ini momentum bagi kita untuk berubah,
untuk membentuk kebiasaan-kebiasaan baru –bangun di sepertiga malam,
bertadarus, berpuasa seharian, menjaga diri, dan lain sebagainya.
Ramadhan bulan ajaib, betapa tidak? Perokok yang katanya
sulit berhenti merokok pun bisa dihentikan (sementara) saat berpuasa. Ternyata eh
ternyata mereka bisa lebih dari dua belas jam tidak merokok. Suatu kemajuan dan
keajaiban bukan? Ah, andai saja umat muslim sadar makna dari Ramadhan tentu ia
tidak akan sia-sia pergi begitu saja. Tentu saja Ramadhan tidak dijadikan
sekedar ritual kemudian hilang dan kita kembali pada kehidupan seperti satu
bulan sebelumnya. Itulah tradisi Ramadhan.
Kini Ramadhan telah pergi dan ia pasti akan datang sebelas
bulan lagi. Namun kita belum tentu bertemu lagi dengannya. Bisa saja ini adalah
Ramadhan terakhir bagi kita atau Ramadhan terakhir bagi kita bersama keluarga.
Tak pernah ada yang tahu. Sama halnya seperti tiga belas tahun lalu, saya pun
tidak tahu ternyata itu adalah Ramadhan terakhir saya bersama kedua orang tua
saya. Karena Ramadhan berikutnya saya hanya menjalankan Ramadhan bersama Ayah. Dua
atau tiga bulan sebelum Ramadhan, Ibu saya ‘pulang’.
Siapa juga yang tahu ternyata saat itu Ramadhan terakhir
bagi saya bersama Ayah. Tiga minggu setelah ‘Idul Fitri beliau menyusul Ibu
keharibaan Ilahi. Tidak pernah ada yang tahu kapan Ramadhan terakhir yang bakal
ia rasakan. Dan kapan Ramadhan terakhir yang bakal ia rasakan bersama
orang-orang terkasih.
Saya ingat tradisi Ramadhan saat saya masih kecil dulu. Terawih
bersama Ibu, sesekali tidak ikut raka’at berikutnya karena kecapekan. Menu yang
selalu ada saat sahur yaitu timun rebus. Ya, kata ibu itu bikin perut adem. Ada-ada
aja ya orang tua zaman dulu. Setelah Ibu pergi, menu itu tidak ada lagi. Sekalipun
ada, jelas sekali berbeda rasanya.
Ada juga tradisi malam takbiran bersama ayah saya. Setiap malam
takbiran saya pasti ikut ayah keliling berziarah ke makam leluhurnya. Dan tentu
saja, setelah Ayah pergi tradisi itu tidak ada lagi. Sekalipun ada, jelas
sekali berbeda rasanya.
Menjelang ‘Idul Fitri orang-orang sibuk mudik. Itu sudah tradisi.
Bagi orang yang bukan perantau tentu tidak pernah melakukan tradisi itu. Saya yang
notabene bukan perantau pun begitu. Tapi saat kecil dulu saya selalu ikut Kakak
saya yang pertama mudik ke kampung suaminya. Hehe, saya ikutan mudik. Sudah
beranjak tua begini tentu tidak pernah ikut lagi, malu. Hehe.
Saya pernah ikut mudik dan rasanya menyesal sekali. Karena ternyata saat saya berada di kampung Kakak
ipar saya, Ibu saya masuk rumah sakit dan dirawat. Saat pulang, saya minta
langsung dibawa ke rumah sakit. Sesampainya saya menangis sesenggukan –menyesal
kenapa mesti ikut mudik, kemudian saya peluk Ibu saya. Maklum, saya anak bungsu
dengan Personality genetic Intuiting ekstrovert yang notabene anak mami.
Itu saja yang saya ingat tentang memori Ramadhan dan ‘Idul
Fitri. Tak banyak memori yang saya ingat karena bagi Intuiting itulah
kelemahannya –daya ingat yang lemah. Sekalipun saya minum obat pengingat yang
keren luar biasa, ga akan mempan. Sudah bawaan orok.
Sudah dulu ya. Saya mau masak nih. Salam untuk keluarga
dirumah.
Selamat Hari Raya ‘Idul Fitri 1435 H. Semoga pembaca
berkenan memaafkan saya dan sudah pasti saya sudah memaafkan para pembaca jika
ada satu-dua kesalahan. Berarti jika tiga kesalahan tidak dimaafkan dong? Hahaha,
itu urusan nanti.
@imardalilah yang hendak berkeluarga, tunggu saja
undangannya ;)