Ibukota Negara Republik Indonesia, DKI Jakarta, memiliki daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang berada diluar kota metropolitan itu. Menurutku Jakarta sudah tak pantas lagi disebut kota metropolitan, Jakarta saat ini lebih pas jika disebut sebagai  kota megapolitan. Seakan apapun ada disana. Orang seperti apapun nampaknya ada juga, jenis makanan apapun mudah dijumpai, kendaraan dan gedung jangan ditanya lagi. Mungkin tak lama lagi Jakarta akan menjadi kota mati karena sudah tak mampu lagi menampung orang dan segala macam yang disimpan disana.

Siapa yang tak ingin ke ibukota? Pusat pemerintahan, pusat perekonomian, dan mungkin juga pusat kriminalitas. Ibukota dijadikan standar, dijadikan contoh bagi kota-kota lain dalam memajukan daerah masing-masing. Ibukota, bagiku yang sudah lima tahun mengenal Jakarta lebih dekat, entah apa daya tariknya bagi orang-orang sehingga dapat dipastikan setiap liburan Idul Fitri berakhir para ‘pelancong’ Ibukota membawa sanak saudara dari kampungnya. Katanya di Jakarta lebih mudah mendapatkan uang, apapun yang dijual pasti laku, lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Benarkah semua itu?

Jika di Mekkah ada Ka’bah sebagai magnet yang menarik para pelancong, di Jakarta ada Monas yang tak kalah menarik bagi orang-orang yang belum pernah menginjakkan kakinya di kota yang selalu banjir tiap tahun itu.

Jakarta, ketika pertama kali aku injakkan kaki ke Jakarta. Benar-benar menginjakkan kaki tanpa sanak saudara, bukan dalam rangka berlibur, berwisata, atau berbelanja. Saat itu aku merasakan berdesak-desakan di dalam bus yang bagiku tak manusiawi lagi. Wanita dan pria tak ada bedanya. Kebagian berdiri ya berdiri, kebagian dipinggir pintu ya dipinggir pintu. Jangan pernah berharap ada yang menawarkan diri untuk memberikan kursi empuknya jika kamu kebagian sial berdiri memegang besi yang sudah berkarat dan menahan nafas karena mencium bau yang beraroma khas.

Perjalanan sepanjang kurang lebih 10 kilometer bisa memakan waktu satu jam, tak lain dikarenakan kendaraan yang aku naiki mesti ‘antri’ dengan kendaraan lain yang juga ingin sesegera mungkin sampai pada tempat tujuan. Lampu merah yang menyala merona didampingi oleh angka yang menunjukkan lamanya kendaraan harus berhenti menjadi pemandangan yang sering dijumpai. Anggap saja dengan adanya lampu merah merona itu pengendara diberikan waktu untuk beristirahat sejenak dari lelahnya berkendara di Ibukota yang hiruk pikuk dengan berbagai macam hal.

Jika berada dalam kendaraan umum, bersabarlah dengan penyanyi yang naik turun memainkan alat musik bahkan audio lengkap dengan mic-nya yang begitu nyaring hadir untuk menghibur para penumpang yang sedang menikmati indahnya perjalanan di Ibukota. Entah ada berapa penyanyi dan seniman yang naik turun angkutan umum. Mulai dari yang berpenampilan rapi dan necis sampai yang berpenampilan ala bintang Ibukota. Ada yang sendiri, ada yang duet, bahkan ada yang grup. 

Ada yang memakai alat musik klasik seperti botol yang berisi beras, kecrekan dari tutup botol yang digepengkan, sampai yang hanya bermodalkan kedua telapak tangannya. Ada juga yang memakai alat modern seperti single sound lengkap dengan mic dan bermacam-macam kasetnya. Namun satu yang sama, bungkus permen yang mereka miliki untuk mengumpulkan kemurahan hati para penumpang.

Profesi yang tak akan pernah dijumpai dimanapun kecuali di Indonesia, terlebih di Jakarta sangat mudah menjumpai profesi-profesi baru tersebut. Setidaknya itulah hipotesis bagiku yang belum lama mengenal ibukota ku tercinta ini. Benar memang, di ibukota apapun ada. Saat kita merasakan dahaga yang teramat sangat ketika menunggu lampu lalu lintas menyala warna hijau dan kita tidak memiliki stok air minum jangan khawatir ada pengasong yang dengan senang hati menawarkan minuman-minuman penyegar dahaga yang sangat menggoda ditengah terik matahari ibukota yang tega membakar kulit para pengendara.

Jika hujan tiba, banyak yang menjajakan jas hujan, mulai dari harga sepuluh ribu rupiah hingga seratus ribu rupiah, lengkap. Atau memilih berteduh dibawah jembatan dengan puluhan pengendara motor lain sambil ngebakso? Pilihan itu ada ditangan Anda sebagai pengendara motor yang terkena hujan dan tak membawa jas hujan.

Betapa mandiri masyarakat ibukota. Entah kemana para pemimpinnya, entah kemana para petugas ibukota. Membiarkan ibukota terlihat sangat tak elok dipandang mata. Hampir disetiap lampu lalu lintas menjadi ladang rezeki untuk sebagian besar orang. Dari yang berjualan produk dan jasa,sebar brosur atau leaflet, hingga berjualan ‘diri’. Apa itu? Yaaa jualan dengan modal dirinya sendiri, tampang memelas, baju entah berapa hari tak ganti (mungkin itu memang seragam dinasnya), rambut acak-acakan seperti tak disisir selama tujuh minggu, alas kaki seadanya, bahkan ada yang ‘duet’ dengan anaknya. Entahlah tak ada yang tau pasti benarkah itu anaknya, karena aku yakin tak ada seorang pun yang menanyakan kartu keluarga dan mengecek status anak tersebut.

Betapa mandirinya masyarakat ibukota. Tak pernah mengemis meminta pekerjaan pada pemimpinnya, tak pernah meminta uang pada pemimpinnya. Ketika perut sudah tak lagi bisa di kompromi, otak akan otomatis jalan dengan sendirinya. Mencari cara bagaimana perut bisa terisi hari ini, untuk esok hari dipikirkan nanti. Yang terpenting adalah hari ini, bagaimana hari ini perut tak lagi berteriak minta diisi makanan. Mereka memiliki mental baja, mereka memiliki otak yang sangat kreatif dan memiliki badan sehat yang penuh aksi. Halte pun mereka jadikan tempat mengais rezeki. Dimana ada ruang kosong, disitu ada peluang menjemput rezeki untuk kebutuhan hidup mereka terutama urusan perut.

Trotoar yang menjadi hak bagi pejalan kaki tidak pernah dipenuhi oleh pejalan kaki. Trotoar justru dipenuhi oleh para penjaja dagangan. Orang-orang itu yang tak mengenal tempat apa yang mereka tempati untuk mendapatkan satu-dua rupiah. Yang mereka tau, perut mereka mesti diisi, yang mereka tau hidup mereka membutuhkan biaya. Daripada demo memaksa pemimpinnya untuk mengasihani mereka lebih baik mereka memberikan solusi sendiri untuk hidup dan kehidupannya. Mungkin begitu yang mereka pikirkan.

Sial memang bagi orang-orang tak berdaya seperti mereka. Sial memang bagi orang-orang yang hanya berharap bisa terus menjajakan dagangannya di ‘pangkalan’ mereka. Sial memang bagi mereka, niat hati tak ingin ngrecoki pemerintah tapi pemerintah yang malah ngrecoki mereka. Sekelompok orang yang ditugaskan untuk menertibkan mereka, mengatasnamakan demi keindahan tata kota, tanpa pandang bulu mengangkut semua modal yang mereka miliki naik ke mobil bak.

Ironis! Ditengah kebutuhan hidup mereka yang sangat mendesak dan ditengah ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola sumber daya manusia juga dalam menyediakan lapangan pekerjaan, mereka yang tak pernah merongrong pemerintah, mereka yang mandiri menghidupi diri mereka sendiri, dipaksa membubarkan diri dan lapaknya yang katanya demi tata kota yang lebih baik. Jika memang seperti itu, lalu apa yang harus mereka perbuat dengan ketidakberdayaan mereka? Saat warga Negara telah memenuhi kewajibannya sebagai warga Negara, sudah seharusnya pemerintah memenuhi hak mereka sebagai warga Negara. Apakah itu terjadi di ibukota?

Jika ibukota tidak enak dipandang mata karena kehadiran mereka, apakah itu salah mereka?
Diantara banyaknya gedung pencakar langit, banyak pula disekitarnya lingkungan yang kumuh. Pemandangan yang sangat kontras. Diantara kemewahan ibukota terselip rumah-rumah yang tak layak huni, rumah yang hanya dibatasi tembok rumahnya masing-masing, rumah yang berjarak seukuran lebar badan orang dewasa. Betapa padatnya rumah penduduk di ibukota. Ironi yang tak pernah bisa ditolak yang bertempat tinggal dalam kepadatan itu adalah jika terjadi kebakaran pada satu rumah, mau tidak mau rumah yang berdekatan pun ikut habis dilahap si jago merah.

Sulitnya hidup di ibukota. Tinggal di pemukiman padat penduduk, resikonya begitu tinggi. Bagi orang-orang yang senang menyendiri, membutuhkan ketenangan dalam berkonsentrasi, aku sarankan untuk tidak tinggal ditempat tersebut. Jika tetap ingin tinggal di ibukota namun membutuhkan kenyamanan carilah pusat kota, tinggallah di apartemen atau komplek yang lebih nyaman. Jika tak punya uang, sudahlah lebih baik hidup di kota asal mu atau cari kota lain yang lebih nyaman dibandingkan kota yang setiap pagi jumlah penduduknya bertambah itu.

Jakarta, saking mahalnya biaya hidup disana, saking sulitnya mendapatkan tempat tinggal bahkan ada yang rela, bahkan ada yang dengan senang hati tinggal dibawah jembatan yang terdapat kali dibawahnya. Jakarta, penduduknya tak boleh sedikit saja melihat tempat kosong. Kolong jalan layang pun ia tempati, bukan sekedar ditempati tapi ia tinggali demi menyambung hidup di ibukota. Di bantaran rel kereta api bahkan ramai orang tinggal disana, bukan satu-dua keluarga tapi banyak. Bak pemukiman baru, bantaran rel kereta tersebut sekejap disulap bak kampung baru. Digusur pun mereka tetap balik lagi ke tempat itu, mereka selalu katakan “apa boleh buat”. Ya apa boleh buat?

“Apa boleh buat, mas, saya ga tau lagi harus tinggal dimana. Sedangkan keluarga saya harus dapat tempat tinggal untuk tidur dan lainnya. Kami tidak pernah dirangkul pemerintah untuk mendapatkan tempat yang lebih baik daripada disini”, begitu akunya pada salah seorang wartawan.

Ironis! Megahnya ibukota tidak serta merta menandakan bahwa seluruh penduduk disana hidup dalam kesejahteraan, ya jika belum makmur paling tidak hidup dalam kesejahteraan. Tinggal di ruang publik seperti itu memang salah. Tapi serba salah juga ketika pemerintahnya sendiri tidak memberikan solusi, aturan yang ada pun tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Semakin ironis ketika pemimpin ibukota Indonesia Raya sibuk mengurusi dirinya yang mencalonkan diri menjadi presiden. Cuti berkali-kali, cuti berbulan-bulan, hanya demi fokus pada pencalonan dirinya menjadi presiden. 

Lobi sana sini agar mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Meninggalkan kewajibannya sebagai orang nomor satu, meninggalkan kewajibannya sebagai penanggung jawab jalannya roda pemerintahan di ibukota. Hendak dibawa kemana sebenarnya ibukota ku itu? Jika memang sudah tak bergairah mengurusi segala macam kesemrawutan ibukota, sudah lepaskanlah jabatan itu. Kasian anak-anak jalanan yang semestinya berada di sekolah, kasian mereka harus menjual masa depannya hanya demi untuk mengisi kekosongan perutnya yang tak bisa ditolerir lagi. 

Kasian para pencari rezeki, anak sekolah, mahasiswa, yang berdesak-desakan dalam bus tua yang sudah tak mampu lagi membawa puluhan penumpang di dalamnya. Melihatnya saja aku ngeri, apalagi menaikinya. Bus kota tua yang supirnya ugal-ugalan, menurunkan penumpang di sembarang tempat, ditengah jalan pun jadi hingga kendaraan dibelakangnya terus menerus membunyikan klakson saking kesalnya. Bus kota tua yang pagi dan sore hari selalu nampak miring ke kiri karena kepenuhan penumpang. Ada yang berdiri persis dipinggir pintu bus kota, ada yang duduk di dashboard, dan entah bagaimana rupanya didalam sana. Mungkin seperti tumpukan ikan teri yang di pepes dalam balutan daun pisang.

Ah aku tak kuasa jika terus mengingat yang ku alami dan ku lihat di Jakarta-ku. Kata salah satu band indie, Jakarta-ku Neraka-ku. Ada benarnya juga. Neraka bagi orang-orang kecil, orang-orang tak berdaya, orang-orang tak mampu. Bertahan hidup disana saja sudah syukur alhamdulillaah bagi mereka. Tidak mati kelaparan dan tergerus kehidupan di ibukota saja sudah sangat bagus.

Sedih ketika aku naik bus kota tua yang benar-benar sudah tidak pantas ada di ibukota Negara, yang benar-benar sudah tidak layak lagi, melihat pengamen yang masih anak-anak terlebih jika melihat mereka dengan penampilan tindikan dimana-mana, tato yang entah apa gambar dan maknanya terlukis indah bagi mereka disekujur tubuhnya, pakaian yang dekil, dan lainnya. Mau jadi apa Negara ini dengan anak bangsa yang seperti itu? Semestinya undang-undang yang berisi “Anak terlantar dan fakir miskin dipelihara oleh Negara” dihapus saja. Kenapa? Ya namanya dipelihara berarti dibiarkan tetap ada kan?

Masih banyak hal menyedihkan yang terjadi di ibukota. Intoleran yang kental aku rasakan manakala aku pergi ke ibukota dengan sepeda motorku. Coba saja perhatikan di jalan raya, jika kamu melaju dengan kecepatan yang rendah sudah pasti kamu di klakson kendaraan di belakangmu. Jika kamu berhenti di traffic light, berhenti sebelum garis zebra cross, sudah pasti kamu di klakson kendaraan mu yang menandakan bahwa dia menyuruhmu untuk maju terus ke depan. Jika kamu menunggu lampu lalu lintas berganti nyalanya menjadi lampu hijau, sedangkan angka lampu merah masih 10 detik lalu kamu di klakson terus menerus oleh kendaraan dibelakangmu, jangan heran. Itu tanda balapan segera dimulai.

Ya, traffic light bak garis start motoGP. Para pengendara memainkan gas, tanda bersiap untuk bertempur hingga hanya lampu merah dan kemacetan lah yang dapat menghentikan lajunya. Selain itu, tak ada yang bisa. Kecuali jika dia ketiban sial jalan yang dilewatinya sedang dilakukan razia oleh polisi, mau tak mau naluri ngebutnya harus dia hentikan beberapa saat. Mungkin Valentino Rossi pun tak akan pernah bisa menyaingi para pengendara motor di ibukota, bahkan tak akan mungkin memenangkan balapan yang diadakan setiap hari dan setiap saat di ibukota.

Pengendara motor di Jakarta memang juara, pantang ngerem sebelum lampu merah. Pantang pelan sebelum diberhentikan polisi. Bahkan belum lama ada pengendara motor yang ketauan oleh polisi melanggar lalu lintas langsung mbikin strategi agar tak tertangkap polisi. Benar saja, jurus ngeles-nya berhasil. Polisi tak bisa menangkap si pelanggar itu.

Siapa suruh datang Jakarta, nampaknya selalu pas dan klop dinyanyikan untuk orang-orang yang masih saja sliweran mengadu nasib di Jakarta. Jakarta itu keras, bung. Katanya ibukota lebih jahat dari ibu tiri. Lelucon itu mungkin ada benarnya juga. Betapa banyak orang terhipnotis oleh pesona ibukota. Setelah merasakan hidup beberapa saat disana, nafas mulai senin-kamis, otak mulai di bolak-balik untuk mencari cara bertahan disana. Saking buntunya, saking otak sudah tak bisa mengeluarkan ide kreatifnya, akhirnya langkah yang diambil adalah menjadi copet, maling, rampok, dan sebutan lainnya.

Tempat yang empuk untuk mencari sasaran adalah bus kota, halte, mall, pasar, dimanapun yang banyak orang sliweran, dimanapun tempat yang memungkinkan. Jika perintah perut sudah dikeluarkan, siapa yang bisa menolaknya? Perut adalah tuhan bagi sebagian orang. Perintah Tuhan saja masih banyak orang yang membangkang tapi perintah perut siapa yang berani membangkang? Jika membangkang, lihat saja kamu bakal mati kelaparan. Cacing-cacing yang ada dalam perutmu itu tidak bisa bertahan hanya dengan usus yang kosong melompong.

Ibukota, begitu banyak cerita yang ku dapatkan dari mengembara selama lima tahun. Begitu banyak cerita yang bisa kusampaikan kelak kepada anak cucu-ku seperti apa wajah ibukota saat aku mengembara disana. Sekalipun wajahmu muram durja, sekalipun wajahmu tak seindah yang ada dalam bayanganku dulu, tak seindah yang ada dalam khayalan orang-orang yang mengelu-elukanmu, kau tetap ibukota ku tercinta. Apapun yang terjadi, apapun bentuknya itu, kau menjadi salah satu saksi sejarah akan perjalanan hidupku. Kau bagian dari kisah hidupku. 

Tanpa kau, manalah mungkin kisah hidupku akan seindah ini, akan se-lucu ini, akan se-aneh ini, dan manalah mungkin aku menemukan begitu banyak pengalaman dan pengetahuan. Aku sangat yakin suatu saat nanti kau akan lebih indah dari hari ini. Kau akan menjadi cerita yang berbeda dibanding dari hari ini. Suatu hari nanti aku akan mendengarkan cerita yang berbeda tentangmu yang lebih seru dan menarik lagi. Tetaplah menjadi ibukota dengan seribu cerita. Tetaplah menjadi ibukota yang unik dan selalu menjadi inspirasi bagi pewarta dan penulis yang menyusun kata-kata. Jangan pernah bosan menampung ribuan bahkan jutaan orang yang ingin mengenalmu lebih dalam.


 @imardalilah

Ingin ngobrol dengan saya?
WhatsApp 0888-0996-9604

Leave a Reply