Tradisi Ramadhan dan 'Idul Fitri

Allaahu Akbar Allaahu Akbar Allaahu Akbar Laa Ilaa Ha Illallaahu Wallaahu Akbar Allaahu Akbar Walillaahilhamd…


Sejak Menteri Agama Republik Indonesia mengumumkan 1 Syawal 1435 Hijriah pada pukul 19.00 WIB tadi, takbir berkumandang di seantero negeri ini. Tanda berakhirnya bulan Ramadhan, bulan pelatihan diri bagi umat muslim untuk membentuk habits baru dalam dirinya. Habits baik dan terpuji yang semestinya dibawa untuk sebelas bulan kedepan.

Betapa istimewanya Ramadhan. Orang-orang menghormatinya. Menjaga lisannya, menjaga pekertinya, bahkan menjaga auratnya. Media massa pun ikut berpuasa, menutupi sedikit aurat program-programnya  yang selama ini mbikin mata sakit. Artis-artis pun ikut ‘tradisi’ menghormati bulan Ramadhan dengan menutup auratnya, berkerudung selendang, memakai baju yang sudah jadi, dan menjaga pekertinya. Para pekerja seni itu setiap muncul di infotainment seperti itu, membagi-bagikan amplop berisi uang –entah berapa kepada anak yatim.


Ramadhan, bisa mengubah manusia menjadi orang yang sadar bahwa hidup mereka ada yang mengawali, ada yang mengawasi, dan ada yang mengatur. Ramadhan begitu hebat, membuat orang-orang berubah sikap dan hidupnya seratus delapan puluh derajat. Ternyata kita –khususnya umat muslim bukan tidak paham bahwa hidup itu mesti mengikuti aturan Allah tapi kita tidak mau melaksanakannya. Lihat saja potret kehidupan selama Ramadhan. Saat kita asik memperbincangkan teman pasti ada yang mengingatkan “hey, jaga lisan kalian, ini kan bulan puasa” begitu bukan?


Coba bayangkan seandainya kesadaran itu dibawa pada sebelas bulan berikutnya, indah bukan? Mata kita bisa melihat lebih banyak kebaikan, telinga kita akan lebih banyak mendengar alunan ayat Al Qur’an, dan lisan kita –tentu kita berpikir berkali-kali untuk bicara.

Sebab itu saya katakan bahwa semestinya kita bukan mempersiapkan datangnya bulan Ramadhan, semestinya bulan Ramadhan mempersiapkan diri kita untuk sebelas bulan berikutnya. Ini momentum bagi kita untuk berubah, untuk membentuk kebiasaan-kebiasaan baru –bangun di sepertiga malam, bertadarus, berpuasa seharian, menjaga diri, dan lain sebagainya.


Ramadhan bulan ajaib, betapa tidak? Perokok yang katanya sulit berhenti merokok pun bisa dihentikan (sementara) saat berpuasa. Ternyata eh ternyata mereka bisa lebih dari dua belas jam tidak merokok. Suatu kemajuan dan keajaiban bukan? Ah, andai saja umat muslim sadar makna dari Ramadhan tentu ia tidak akan sia-sia pergi begitu saja. Tentu saja Ramadhan tidak dijadikan sekedar ritual kemudian hilang dan kita kembali pada kehidupan seperti satu bulan sebelumnya. Itulah tradisi Ramadhan.


Kini Ramadhan telah pergi dan ia pasti akan datang sebelas bulan lagi. Namun kita belum tentu bertemu lagi dengannya. Bisa saja ini adalah Ramadhan terakhir bagi kita atau Ramadhan terakhir bagi kita bersama keluarga. Tak pernah ada yang tahu. Sama halnya seperti tiga belas tahun lalu, saya pun tidak tahu ternyata itu adalah Ramadhan terakhir saya bersama kedua orang tua saya. Karena Ramadhan berikutnya saya hanya menjalankan Ramadhan bersama Ayah. Dua atau tiga bulan sebelum Ramadhan, Ibu saya ‘pulang’.


Siapa juga yang tahu ternyata saat itu Ramadhan terakhir bagi saya bersama Ayah. Tiga minggu setelah ‘Idul Fitri beliau menyusul Ibu keharibaan Ilahi. Tidak pernah ada yang tahu kapan Ramadhan terakhir yang bakal ia rasakan. Dan kapan Ramadhan terakhir yang bakal ia rasakan bersama orang-orang terkasih.


Saya ingat tradisi Ramadhan saat saya masih kecil dulu. Terawih bersama Ibu, sesekali tidak ikut raka’at berikutnya karena kecapekan. Menu yang selalu ada saat sahur yaitu timun rebus. Ya, kata ibu itu bikin perut adem. Ada-ada aja ya orang tua zaman dulu. Setelah Ibu pergi, menu itu tidak ada lagi. Sekalipun ada, jelas sekali berbeda rasanya.


Ada juga tradisi malam takbiran bersama ayah saya. Setiap malam takbiran saya pasti ikut ayah keliling berziarah ke makam leluhurnya. Dan tentu saja, setelah Ayah pergi tradisi itu tidak ada lagi. Sekalipun ada, jelas sekali berbeda rasanya.


Menjelang ‘Idul Fitri orang-orang sibuk mudik. Itu sudah tradisi. Bagi orang yang bukan perantau tentu tidak pernah melakukan tradisi itu. Saya yang notabene bukan perantau pun begitu. Tapi saat kecil dulu saya selalu ikut Kakak saya yang pertama mudik ke kampung suaminya. Hehe, saya ikutan mudik. Sudah beranjak tua begini tentu tidak pernah ikut lagi, malu. Hehe.


Saya pernah ikut mudik dan rasanya menyesal sekali. Karena  ternyata saat saya berada di kampung Kakak ipar saya, Ibu saya masuk rumah sakit dan dirawat. Saat pulang, saya minta langsung dibawa ke rumah sakit. Sesampainya saya menangis sesenggukan –menyesal kenapa mesti ikut mudik, kemudian saya peluk Ibu saya. Maklum, saya anak bungsu dengan Personality genetic Intuiting ekstrovert yang notabene anak mami.


Itu saja yang saya ingat tentang memori Ramadhan dan ‘Idul Fitri. Tak banyak memori yang saya ingat karena bagi Intuiting itulah kelemahannya –daya ingat yang lemah. Sekalipun saya minum obat pengingat yang keren luar biasa, ga akan mempan. Sudah bawaan orok.


Sudah dulu ya. Saya mau masak nih. Salam untuk keluarga dirumah.


Selamat Hari Raya ‘Idul Fitri 1435 H. Semoga pembaca berkenan memaafkan saya dan sudah pasti saya sudah memaafkan para pembaca jika ada satu-dua kesalahan. Berarti jika tiga kesalahan tidak dimaafkan dong? Hahaha, itu urusan nanti.



@imardalilah yang hendak berkeluarga, tunggu saja undangannya ;)

p1

Lakukan Saja

Saya mahasiswa semester akhir di salah satu universitas negeri di Jakarta. Skripsi saya masih mandeg. Entah karena saya me-reorientasi pendidikan sehingga bagi saya kelulusan tidak begitu prioritas. Atau justru saya terlalu banyak menunda. Di usia yang masih muda ini saya manfaatkan untuk mencoba berbagai hal. Mulai dari aktif pada kegiatan sosial hingga kegiatan yang tak bernilai (mungkin). Pendidikan dan perkembangan anak usia pendidikan sangat menarik bagi saya sehingga saya sering meng-update tentangnya.


Banyak remaja yang saya temui. Mereka bertanya banyak hal pada saya mulai dari urusan pribadi hingga urusan keluarga, mulai dari urusan sekolah hingga urusan cinta. Saya senang membalas satu persatu pertanyaan mereka via teknologi canggih saat ini yang memungkinkan berkomunikasi secepat kilat. Tak perlu menunggu merpati mendarat di jendela kamar, cukup klik –sampai.


Anak muda, memang begitu haus pengetahuan dan keingintahuan. Apapun mereka tanyakan. Sampai-sampai saya sebal membalasnya dan bergumam “pertanyaan gini aja ditanyain”. Mungkin sisi intuiting saya sedang berontak karena tidak suka dengan pertanyaan yang tak berbobot (belagu ya? Memang).


Dari sekian banyak pengalaman saya tersebut, ada beberapa hal yang bisa menjadi catatan bagi anak-anak muda yang galau, penuh tanya, dan penuh kebimbangan. Anak muda itu terlalu banyak bertanya namun actionnya sedikit. Diberi nasihat bukannya langsung dilaksanakan tapi malah nanya terus hingga akhirnya tidak jadilah dia bergerak.


Jangan terlalu banyak bertanya. Saat kamu ajukan satu pertanyaan dan mendapatkan jawabannya, lakukan saja. Ingat kisah Nabi Musa dan umatnya yang disuruh mencari sapi (kalo tidak salah) ? Umatnya terlalu banyak bertanya, sapinya betina atau jantan, warnanya apa, dan lain sebagainya. Sampai akhirnya mereka kerepotan sendiri dan bingung hendak mencari kemana sapi seperti itu.


Kenapa anak muda sering bertanya? Karena mereka takut gagal. Maka untuk mengantisipasinya mereka bertanya sebanyak mungkin agar tingkat keberhasilannya lebih tinggi. Padahal semakin banyak bertanya, ketakutan akan kegagalan semakin tinggi. Lebih baik, tanya sekali dan bergerak berkali-kali. Setelah bergerak menghadapi rintangan dan tantangan, barulah bertanya kembali.


Gagal itu bukan ketika kita naik pohon kelapa kemudian merosot lagi kebawah. Gagal itu saat kita naik pohon kelapa lalu merosot kebawah dan kita memutuskan untuk berhenti naik pohon kelapa itu lagi. Jadi, gagal itu saat kita memutuskan untuk menghentikan langkah kita BUKAN saat kita tersandung batu lalu terjatuh.


Jadi untuk anak muda, bertanya secukupnya saja kemudian lakukan saja. Jangan pernah takut. Berani itu bukan kita tidak memiliki rasa takut tapi berani adalah kita tetap melangkah walaupun kita takut. Itulah sang pemberani. Jadi seorang pemberani adalah orang yang tetap melangkah walaupun ia merasa takut.


Hentikan terlalu banyak bertanya tanpa action. Bertanya-lakukan, bertanya-lakukan, bertanya-lakukan. Seperti itu. Bukan bertanyaaaaaaaaaa terus, kapan actionnya?


Bodoh itu bukan saat kita tidak tahu apa-apa tapi pada saat kita terlalu banyak bertanya tanpa bekerja. Kalau kamu bertanya pada guru-mu, mentor-mu, pembimbing/pembina-mu, segera laksanakan apa yang dinasihatkan. Jangan cuma sekedar iya, jangan cuma sekedar ingin diberi masukan atau didengarkan. Tentu orang yang kamu tanya adalah orang yang bagimu ia lebih dewasa, lebih bijak, lebih cerdas, dan sudah pasti ia orang yang kamu hormati. Maka dari itu ‘pakailah’ apa yang sudah dinasihatkannya.


Ketika kita sekedar ingin tahu tanpa mempraktekan apa yang kita tanyakan, berarti kamu tidak menghormati orang yang kamu tanyakan. Ibarat bilang kangen tapi tidak pernah menemui, itu sih HOAX. Kalau cuma bilang kangen sih semua orang bisa tapi apakah kita juga bisa membuktikan rasa kangen itu? Kalau cuma bertanya semua orang bisa, tapi apakah kita juga bisa melaksanakan jawaban dari pertanyaan kita itu?


Coba kalau kamu seorang pria dan bertanya terus pada wanita yang kamu taksir "Kamu mau ga nikah sama aku?" tanpa pernah bertindak, yakin deh tuh wanita bakal pindah ke lain hati, pindah ke pria yang langsung datangin orang tua si wanita bersama rombongan keluarganya. Iyalah, siapa yang mau dengan penanya handal seperti itu? :)



Masih mau terus bertanya tanpa bertindak? Sepertinya kamu cocok jadi wartawan atau interviewer ;) 



@imardalilah

p1

Keyakinan Pasti Diuji

Melihat sahabat saya sibuk membuat list keinginannya yang ingin ia capai tahun ini, aku tergelitik ingin bertanya. “Kamu yakin semua bakal tercapai?” Tanyaku. “Tentu saja. Tak ada yang tak mungkin kan?” Jawab ia mantap. Keinginannya tersebut menurut logika-ku tak akan bisa ia capai. Terlalu banyak yang muluk-muluk. Dalam menentukan keinginannya ia tak rasional. Aku jamin ia gagal mencapainya.


Hari demi hari ia konsisten bekerja keras sesuai rencana yang sudah ia tuliskan. Minggu demi minggu belum juga ada hasil yang terlihat. Bulan demi bulan aku lihat ia mulai letih, mungkin karena belum terlihat jerih payah yang ia lakukan. “Bagaimana progres list keinginanmu itu?” Tanyaku penasaran. “Ah entahlah. Aku sudah bekerja keras namun tak juga terlihat hasilnya.” Ia terlihat sangat lesu dan putus asa.

“Lalu kamu menyerah?”

“Aku sudah letih. Banyak sudah yang aku lakukan tapi nampaknya Tuhan tetap berdiam diri. Padahal Dia berjanji jika hambaNya berusaha mengubah hidupnya, Dia pasti mengubahnya.”


Temanku tertunduk lesu. Entah apa rasanya keyakinan yang begitu menggebu saat menuliskan segala keinginannya –yang ia yakini bisa ia wujudkan kini hilang. Bagaikan arang yang terbakar dan menjadi abu, kemudian abu itu tertiup angin. Keyakinan itu pun hilang sudah, seperti abu yang tertiup angin itu.


Keyakinan sangat penting, sangat sangat penting. Jika dalam melangkah tidak kita awali dengan keyakinan, yakinlah kaki itu tak akan melangkah. Lalu apakah cukup hanya dengan yakin lalu melangkah? Tentu tidak. Yakin adalah salah satu modal awalnya. Ia tak cukup ada diawal, ia harus ada dalam berbagai kondisi.

Saat kita yakin, Allah akan uji kita dengan keyakinan itu. Seberapa kuat keyakinan kita? Seberapa bekerja keras kita untuk membuktikan bahwa keyakinan itu benar adanya? Dan Allah menguji seberapa yakin kita terhadapNya.


Lengkapi keyakinanmu dengan ilmu dan action. Tanpa ilmu, keyakinanmu menjadi buta. Tanpa action, keyakinanmu tak akan mengantarkanmu kepada pintu manapun. Selain itu disiplinkan diri, konsisten menjalankan apa yang sudah direncanakan namun tidak ngotot dengan cara yang sudah direncanakan. Keyakinan harus tetap, impian harus tetap, namun cara mencapainya boleh dengan berbagai cara. Fleksibel.


Gunakanlah Law of Attraction, hukum tarik menarik. Dengan cara apa? Berpikir positif. You are what you think. Kamu adalah apa yang kamu pikirkan. Seperti firman Allah “Aku sebagaimana prasangka hambaKu.” Prasangka atau pikiran itu ternyata berpengaruh besar terhadap hasil. Stabil atau tidaknya keyakinan tergantung pikiran kita, tergantung prasangka kita. Berpikirlah positif dan berprasangka baiklah pada Allah bahwasannya Dia pasti memperjalankan hambaNya.


Setelah usaha-usaha tersebut dilakukan, lalu lakukanlah usaha langit. Yaitu dengan cara meminta izin kepada Allah terlebih dahulu dalam menjalankan sesuatu, dalam prosesnya melibatkan Allah, dan sampai hasil akhirnya Allah tetap kita libatkan. Kalau kata Ustadz Yusuf Mansur “Allah dulu, Allah lagi, Allah terus” agar apa yang kita lakukan sudah Allah ridhoi diawal hingga apa yang dihasilkan menjadi berkah.


Keyakinan ibarat keimanan. Allah berkata dalam Al Qur’an “Apakah kau akan begitu saja diakui beriman tanpa diuji?” Jangan pernah ngaku beriman jika belum pernah Allah uji. Jangan pernah ngaku yakin jika keyakinan itu tak Allah uji. Jadi, keyakinan apapun yang kita miliki saat ini pasti akan Allah uji.


Ada yang yakin usahanya sukses, pasti diuji. Ada yang yakin karirnya sukses pasti diuji. Ada yang yakin sekolahnya sukses pasti diuji. Ada yang yakin bahwa dia jodohnya, pasti diuji. Untuk yang terakhir itu, lebih baik jangan pernah yakin dengan siapapun. Karena saat kita yakin sedang kita belum siap, itu akan menyakitkan dan menyesatkan.



@imardalilah


p1

Memiliki karena Kehilangan (lagi)

Ketika itu aku sedang berdiam diri. Lalu seseorang menghampiri mengajakku berbincang. Ia mengatakan “Nak, jangan sampai kau memiliki karena kehilangan.” Tanpa memberiku kesempatan untuk bertanya ia bergegas pergi dan wussshh seketika hilang dalam kerumunan manusia. Aku pun hanya tercengang sambil mencari-cari sesosok tadi berharap aku temukan dia. Namun nihil. Aku pun terdiam, memikirkan kalimat yang aku dengar tadi.


Satu minggu berlalu belum juga aku temukan jawabnya. Hingga suatu ketika sahabatku bercerita ia sedang bersedih karena kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan. Sahabatku mengatakan sebulan lalu ibunya meminta dia untuk pulang namun karena kesibukannya bekerja di ibukota ia menolak permintaan ibunya tersebut. Dia, memang seorang workaholic. Sampai-sampai hari raya pun ia tak pernah pulang kampung dengan alasan banyak pekerjaan. Kini hanya sesal yang ia dapatkan.


Sesaat aku tersadar ketika ku dengarkan cerita dari sahabatku. Mungkin ini yang dimaksud seseorang waktu itu “Memiliki karena kehilangan”. Sahabatku merasakan itu. Ia baru merasa memiliki orang tua, ia baru sadar bahwa ada orang tuanya yang seharusnya ia kasihi dan sayangi, setelah ia kehilangan orang tuanya.

Ternyata itu maksud dari “Memiliki karena kehilangan”. Banyak diantara kita yang baru sadar memiliki sesuatu ketika dia sudah kehilangan sesuatu itu. Itu menandakan kufur nikmat karena tidak menjaga apa yang sudah Allah berikan pada kita.

Berapa banyak diantara kita yang baru sadar memiliki sahabat baik ketika sahabat itu pergi meninggalkan kita? Berapa banyak diantara kita yang baru sadar memiliki kekayaan yang luar biasa (kesehatan, ketenangan hati, kelancaran dalam urusan) ketika kita mendapatkan sakit, risau, dan serba sulit dalam hidup?

Beruntunglah orang yang tidak memiliki karena kehilangan. Beruntunglah orang-orang yang pandai bersyukur. Bersyukurlah orang yang tepat dalam menyikapi apa yang ia miliki. Bersyukurlah orang yang tidak ditinggalkan orang-orang yang ia sayangi dan menyayangi ia karena ia mengabaikannya.

Lihat seberapa banyak yang kita miliki di dunia ini. Jangan sampai Allah mengambilnya karena kita lalai dalam mengemban amanah pemberian Allah tersebut. Jadilah orang-orang yang pandai bersyukur. Semoga kita dijauhkan dan tidak termasuk ke dalam orang-orang yang kufur.


Jika ingin mengetahui seberapa sadar orang-orang memilikimu, pergilah dari mereka. Jika mereka merasa kehilangan maka tandanya mereka menyayangimu. Terkadang manusia perlu menyentil manusia lainnya agar dia tersadar dengan apa yang dilakukannya. Jika itu perlu kita lakukan, lakukanlah. Agar kita saling belajar dan memberi pelajaran.


Saat Allah berikan kita kesempatan untuk bersilaturahim, saat kemudahan silaturahim kita miliki, namun apa yang kita lakukan? Kita mengabaikannya. Peradaban dunia berjalan maju, teknologi memudahkan dan memungkinkan kita. Teknologi mendekatkan yang jauh namun bagi orang yang BODOH ia menjauhkan yang dekat. Menjadi bagian yang manakah kita?

Pikirkan jika seseorang pergi meninggalkanmu, bisa jadi itu karena kau perlakukan ia tidak sebagaimana mestinya. Bisa jadi itu karena dirimu sendiri. Sekali lagi, jagalah apa yang kau miliki seperti kau menjaga dirimu sendiri. Jangan sampai kita memiliki karena kehilangan.


@imardalilah

p1

Ilmu Memilih dan Menghadapi Pasangan

Sekitar satu tahun lalu saya menemukan satu buku yang bagus banget di perpustakaan Fakultas. Isinya tentang konsep kehidupan yang diperumpakan seperti sebuah pohon. Judul buku itu ialah Kubik Leadership karangan Farid Poniman, Indrawan Nugraha, dan Jamil Azzaini.

Kitab empat ratus lebih halaman itu awalnya malas banget saya bacanya sampai denda puluhan ribu karena telat balikin ke perpustakaan. Sampai akhirnya buku itu selesai saya baca. Entah berapa lama.

Membaca buku itu seperti mendapatkan jodoh (halah, kayak pernah ngerasain aja). Konsep didalamnya sama persis seperti konsep hidup yang saya yakini. Didalam buku tersebut ada konsep ilmu pengetahuan yang dijadikan alat bantu dalam mencapai kehidupan sukses mulia, STIFIn namanya. Konsep yang ditemukan oleh Farid Poniman dan telah teruji.

Menurut konsep STIFIn, kecerdasan manusia dibagi menjadi lima yaitu Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling, dan Insting, yang kemudian disebut Mesin Kecerdasan (MK). MK adalah bawaan orok, tidak akan berubah seumur hidup. MK tidak diturunkan secara genetik seperti golongan darah, misalnya Ayahnya Sensing, Ibunya Feeling, belum tentu anaknya Sensing atau Feeling.

STIFIn hanya mencari dominasi bagian otak dan lapisan otak manusia. Dari situ dapat diketahui jutaan informasi tentang manusia. Manfaatnya kita bisa lebih mengenal diri kita juga orang lain. Bisa digunakan untuk mencari tahu potensi diri, bakat secara genetik, partnership, relationship, parenting, bahkan pernikahan.

Bagaimana dapat diketahui MK seseorang? Caranya dengan menscan sepuluh jari tangan –tak perlu waktu lama lima menit kemudian bisa diketahui MK orang tersebut dan jutaan informasi lainnya. Banyak ahli mengatakan bahwa adanya korelasi antara pertumbuhan otak dengan sidik jari manusia saat ia berada dalam kandungan. Ibarat kita mau melihat bensin dalam tanki motor tidak perlu membuka tanki-nya, cukup lihat jarum penunjuk bensin. Jika kita mau lihat cara kerja otak kita tak perlu di buka kepalanya tapi cukup lihat sidik jarinya.

Konsep STIFIn sudah banyak membantu ratusan ribu orang mengenali dirinya. Mereka yang sudah mengenal dirinya melalui STIFIn merasa GUE BANGET! Konsep STIFIn mengusung kecerdasan tunggal sehingga orang tidak bingung dengan kecerdasan yang dia miliki, itulah salah satu kelebihan STIFIn. Dalam konsep STIFIn disarankan untuk fokus pada kecerdasan tunggal tersebut agar kesuksesan dapat diraih lebih cepat dibandingkan coba sana-sini.

Minggu, 24 Agustus 2014 akan diadakan Seminar Cinta STIFIn. Seminar ini akan mengungkap bagaimana cara kita memilih pasangan yang tepat dan sesuai karakter kita, juga akan menjawab problematika para pasangan yang galau dalam menghadapi pasangannya. Kita tahu dalam berumah tangga ada istri yang dominan, ada SSTI (Suami-Suami Takut Istri), bahkan ada yang rela dimadu atau ada pasangan yang mata keranjang. Semua akan di kupas tuntas dalam seminar tersebut.

Seminar yang diadakan di Gedung BPPT Lantai 3 Jalan MH Thamrin tersebut akan diisi oleh Certified Trainer dari STIFIn Institute @dodirustandi sang STIFInMAN yang sudah banyak membantu orang-orang memecahkan problematika cinta, keluarga, potensi, karir, dsb. Seminar dengan durasi tiga setengah jam itu dapat dijadikan salah satu ilmu pra pernikahan dan atau ilmu pernikahan bagi pasangan suami istri.

Sangat recommended bagi jomblo yang sedang dalam proses pemantasan diri, bagi yang pusing dan bingung menghadapi pasangannya. Harga yang ditawarkan untuk ilmu tersebut sungguh sangat murah, hanya Rp. 155.000,- kita sudah mendapatkan ilmu yang mungkin jika kita belajar atau konsultasi pada psikolog/konsultan pernikahan sangat jauh lebih mahal.

Belum lagi dengan mengikuti seminar tersebut kita mendapatkan diskon tes STIFIn sebesar Rp. 50.000,- Kapan lagi belajar mengenal diri sendiri dan orang lain/pasangan kalau bukan tanggal 24 Agustus 2014 nanti di Gedung BPPT? Dengan ahlinya lagi.

Ayooo segera daftar. Semakin hari SEAT semakin berkurang!

Hubungi : BBM 7C9471B9 atau SMS/WA ke 083899096119


@imardalilah

p1

Hak dan Kewajiban

Tak seorang pun di dunia ini yang rela haknya diambil begitu saja. Hak adalah sesuatu yang sudah selayaknya didapatkan oleh seseorang tanpa melanggar norma dan hukum yang berlaku. Sebagai warga Negara tentu memiliki haknya yang diakui dan dihormati oleh Negara. 

Negara tentu melindungi hak seseorang. Jika Negara melanggar atau tidak memberikan hak seseorang sebagai warga Negara, orang tersebut memiliki hak untuk menggugat demi mendapatkan haknya kembali.

Selain hak, ada pula kewajiban. Pun sebagai warga Negara kita memiliki kewajiban. Kewajiban ialah suatu hal yang harus dilakukan oleh seseorang sesuai dengan peraturan yang ada. Jika seseorang tidak melaksanakan kewajibannya maka ia patut mendapatkan sanksi atau pun lainnya sesuai hukum yang berlaku.

Hak dan kewajiban ibarat dua sisi logam yang tidak dapat dipisahkan. Jika kita berbicara hak, pun kita mesti berbicara kewajiban. Terlebih jika kita menuntut hak, kita pun harus melihat kewajiban kita sesuai peranan sosial.

Zaman modern seperti ini orang seakan tidak lagi mau berpikir apa kewajiban mereka, apakah kewajiban mereka sudah dipenuhi atau belum. Kita tahu bukan bahwa saat kita mengabaikan dan atau lalai dari kewajiban kita ada hak pihak lain yang kita dzolimi? Misalnya saja kewajiban kita membayar pajak tidak kita laksanakan, maka pembangunan nasional bisa tersendat. Pembangunan infrastruktur tidak berjalan sesuai perencanaan, akhirnya banyak orang yang menderita karena jalanan rusak, banyak terjadi kecelakaan, kemacetan, dan lain sebagainya.

Atau saat kita tidak memenuhi kewajiban kita sebagai hamba Allah yang diwajibkan membelanjakan hartanya untuk membela agama Allah, saat itu pula kita sedang menghancurkan agama Allah. Hak Allah kita abaikan, hak agama Allah kita lalai terhadapnya. Satu perbuatan yang pengaruhnya spiral, berputar terus-menerus, dan sangat besar.

Bayangkan jika semua orang hanya menuntut haknya saja tanpa dia menghisab seberapa banyak kewajibannya yang sudah di ceklist?

Seperti yang sore tadi saya alami dan mungkin banyak pula orang mengalaminya. Saat hendak menuju Jakarta Selatan –tepatnya Cilandak sungguh luar biasa saat saya sampai di Jalan Tb Simatupang kemacetan parah terjadi. Setelah sampai di sumber penyakitnya ternyata kemacetan tersebut terjadi karena pengemudi sepeda motor dari arah Lebak Bulus tidak disiplin, tidak tertib. Saking mereka tak sabarannya, mereka berbondong-bondong memakan lahan jalur sebaliknya. Hingga akhirnya terjadilah kemacetan.

Andai saja para pengemudi itu melaksanakan kewajibannya sebagai pengendara motor, tentu kemacetan itu tak perlu terjadi. Karena mereka menuntut haknya untuk berkendara lancar –agar bisa sampai rumah sesegera mungkin, mereka telah melanggar hak orang lain yang berpikir sama juga tentang haknya –bisa sesegera mungkin sampai dirumah. Hal simple yang tidak simple untuk dilakukan. Tentu kesadaran diri akan hak dan kewajiban baik dirinya ataupun orang lain sangat penting dimiliki setiap orang. Tanpa itu, semua orang hanya memikirkan haknya tanpa menggubris kewajibannya.

Tidak hanya hak manusia lain sebagai makhluk sosial yang banyak di makan oleh kita, namun juga hak manusia sebagai makhluk ciptaan Allah kita makan juga. Dalam beribadah kita hanya tahu rukun iman, rukun islam, ibadah-ibadah mahdoh. Padahal ibadah itu luas, ada ibadah ghoiro mahdoh. Uang gajian tak pernah kita sisihkan untuk bersedekah, berinfak (menafkahkan harta dijalan Allah), anak yatim dan fakir miskin tidak kita kasihi, memberi orang tua kita sisihkan sedikit saja, mengisi kotak amal dengan gambar golok, dls.

Sudah berapa banyak hak orang lain yang tertahan karena kita tidak melaksanakan kewajiban kita? Sebagai makhluk sosial kita memiliki banyak peran. Ada hak orang lain yang ada dalam diri kita, misalnya saja menyisihkan waktu untuk orang tua/keluarga ditengah kesibukan kita –entah bekerja, menuntut ilmu, dan lainnya, sebagai teman dan atau sahabat kita memiliki kewajiban untuk bersilaturahim, dan lainnya.

Sudahkah kita berikan hak orang lain yang ada dalam diri kita hari ini? Atau kita sibuk menghitung hak-hak kita yang tidak kita dapatkan lalu mengeluh, merongrong, meraung, meminta hak kita ditunaikan oleh yang bersangkutan?


Ingat, jangan pernah protes jika hak kita tertahan karena kita belum melaksanakan kewajiban kita. Laksanakanlah kewajiban kita sebaik mungkin, sudah pasti hak kita mudah kita dapatkan. Mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang. Perubahan yang besar terjadi karena kita melakukan langkah-langkah yang kecil. Jarak seribu kilometer bisa kita lalui karena kita melangkah selangkah demi selangkah.


@imardalilah
WA 0888-0996-9604

p1

Bebas

Bebas. Nampaknya banyak diantara manusia menginginkan hal itu. Mungkin juga termasuk Aku didalamnya. Siapa yang tak ingin bebas menentukan arah hidupnya? Berjalan semaunya? Melakukan apapun yang ia suka dan inginkan? Tentu saja sebagian besar manusia menginginkannya.

Hidup ini ada yang mengawali. Tentu saja Yang Maha Mengawali tidak serta merta menciptakan manusia tanpa teman lainnya. Dia menciptakan manusia satu paket yaitu manusia, bumi, dan Al Qur’an (aturan). Ketiganya tidak bisa dipisahkan. Jika salah satu tidak ada, maka kehidupan tak akan berjalan lancar.

Bayangkan jika Bumi ini tanpa manusia, siapa yang akan mengelolanya? Bayangkan jika Bumi ini tanpa Al Qur’an, akan seperti apa nasibnya? Bayangkan jika hanya ada manusia dan Al Qur’an saja, dimana manusia tinggal dan melaksanakan aturanNya? Maka dari itu, Allah menciptakan satu paket. Ada aturan Allah yang disebut Agama. Agama terdiri dari dua kata yaitu A artinya tidak, Gama artinya kacau. Gunanya ada agama agar hidup manusia tidak kacau dan agama tersebut termaktub dalam Al Qur’an.

Zaman sekarang nampaknya Al Qur’an hanyalah sebuah kitab suci. Bukan petunjuk dan pembeda. Ianya hanya dipakai untuk hal-hal tertentu saja. Hukum didalamnya digunakan jikalau ‘enak’ menurut manusia. Yang tidak enak, tak perlu-lah dipakai. Maka kita lihat sekarang terjadi kekacauan dimana-mana karena manusia telah jauh dari Al Qur’an.

Al Qur’an hanya di eja, dijadikan barang suci –yang jika terinjak, terbakar, atau jatuh manusia menjadi marah karenanya. Namun manusia tak pernah marah manakala sumber hukum tersebut tidak dipakai seutuhnya. Mereka tak akan marah jika Al Qur’an tak lagi dijadikan sumber hukum. Padahal ianya langsung berasal dari Allah yang menciptakan manusia-bumi-Al Qur’an satu paket. Coba kita tanya, siapa yang paling tahu tentang suatu ciptaan? Tentu Penciptanya bukan? Begitu pun hal tersebut. Namun manusia sok tahu menciptakan hukumnya sendiri. Sehingga apa? Kacau balau semua.

Tak bisa dipungkiri, belahan dunia mana yang saat ini tidak kacau? Penyebabnya satu karena kita telah jauh dari fitrahNya. Kita merasa kita paling benar dengan apa yang kita lakukan dan ciptakan. Kita ingin bebas dari aturanNya.  Itulah sok tahu yang paling berbahaya.

Sama halnya seperti saat fenomena tahun 1998 dimana banyak mahasiswa yang menyerukan reformasi, menuntut rezim Orde Baru untuk turun –mengakhiri pemerintahannya. Tuntutan itu diserukan salah satunya karena rezim Orde Baru mengekang kebebasan masyarakat, pemerintah kala itu otoriter, tidak memberikan kebebasan pada masyarakatnya untuk bersuara. Hingga akhirnya rezim Orde Baru pun angkat tangan. Tak ada pilihan lain selain mengabulkan keinginan ribuan orang yang mengepung gedung DPR/MPRRI kala itu.

Beberapa tahun kemudian hingga saat ini efek kebebasan itu sangat terasa. Lihatlah semua orang menyuarakan kebebasan berpendapat, menyuarakan hak asasi manusia mereka untuk bebas berbicara apapun –melakukan apapun sesuka mereka. Jika ada yang menghalangi mereka, membungkam mereka dengan ocehan-ocehannya itu maka dianggap sebagai pelanggar kebebasan berpendapat.

Penyeru kebebasan itu berpendapat bahwa inilah yang diinginkan, demokrasi. Namun ternyata kebablasan. Kebebasan yang mereka nisbatkan melanggar kebebasan orang lain. Para pejuang reformasi itu ibarat manusia yang tidak mau melaksanakan Al Qur’an seutuhnya. Mereka sok tahu. Bagi mereka rezim Orde Baru membuat bodoh masyarakatnya. Padahal boleh jadi seorang pemimpin melakukan hal demikian karena untuk melindungi rakyatnya dari opini-opini yang menyesatkan seperti sekarang ini. Justru dengan cara demikian seorang pemimpin melindungi rakyatnya.

Dengan cara itu pula, bisa jadi pemerintah kala itu menjaga kestabilan Negara. Opini menyesatkan sangat membahayakan bagi kestabilan Negara. Masyarakat tidak lagi bisa membedakan mana opini, mana fakta. Mana orang baik, mana orang jahat. Semua abu-abu.

Para pejuang kebebasan menyalahkan pemimpin otoriter tersebut sehingga seolah-olah beliau adalah seorang pemimpin yang buruk yang tidak patut dicontoh. Padahal selama puluhan tahun beliau menjaga stabilitas Negara –diluar ketidaktahuan kita tentang sebenarnya beliau.

Kebebasan saat ini kebablasan. Pemimpinnya seakan tak punya harga diri di mata mereka. Ibarat pepatah karena nila setitik rusak susu sebelanga. Hanya karena cela satu hal, maka ratusan kebaikan yang dilakukan pemimpin langsung tertutupi. Na’udzubillah.

Semestinya demokrasi yang diusung adalah demokrasi terpimpin. Bukan demokrasi liberal seperti sekarang ini. Bebas namun tetap dalam koridor aturan-aturan yang ditetapkan. Bebas bukan berarti menerabas sana-sini. Bebas berarti boleh melakukan apapun asal masih dalam batas. Seperti kuda liar yang dijinakkan, ia bebas berlarian kesana kemari namun pada tanah lapang yang sudah dibatasi.

Pemimpin, siapapun ia mestinya harus kita dengar dan taati. Bukan malah mengkhianati atau bahkan mencaci maki. Tidak juga buta mencintai akan tetapi cinta berdasar rasionality. Sebagai warga Negara sudah seharusnya kita siap mendukung pemimpin terpilih, terpilih sesuai dengan aturan yang sahih. Siapapun pemimpinnya cinta mati kita hanya untuk Negara ini bukan untuk siapa dia yang memimpin kali ini.



@imardalilah

Ngobrol yuk dengan saya :
worlditswonderfull@gmail.com

p1

Ironi-Ironi Ibukota

Ibukota Negara Republik Indonesia, DKI Jakarta, memiliki daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang berada diluar kota metropolitan itu. Menurutku Jakarta sudah tak pantas lagi disebut kota metropolitan, Jakarta saat ini lebih pas jika disebut sebagai  kota megapolitan. Seakan apapun ada disana. Orang seperti apapun nampaknya ada juga, jenis makanan apapun mudah dijumpai, kendaraan dan gedung jangan ditanya lagi. Mungkin tak lama lagi Jakarta akan menjadi kota mati karena sudah tak mampu lagi menampung orang dan segala macam yang disimpan disana.

Siapa yang tak ingin ke ibukota? Pusat pemerintahan, pusat perekonomian, dan mungkin juga pusat kriminalitas. Ibukota dijadikan standar, dijadikan contoh bagi kota-kota lain dalam memajukan daerah masing-masing. Ibukota, bagiku yang sudah lima tahun mengenal Jakarta lebih dekat, entah apa daya tariknya bagi orang-orang sehingga dapat dipastikan setiap liburan Idul Fitri berakhir para ‘pelancong’ Ibukota membawa sanak saudara dari kampungnya. Katanya di Jakarta lebih mudah mendapatkan uang, apapun yang dijual pasti laku, lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Benarkah semua itu?

Jika di Mekkah ada Ka’bah sebagai magnet yang menarik para pelancong, di Jakarta ada Monas yang tak kalah menarik bagi orang-orang yang belum pernah menginjakkan kakinya di kota yang selalu banjir tiap tahun itu.

Jakarta, ketika pertama kali aku injakkan kaki ke Jakarta. Benar-benar menginjakkan kaki tanpa sanak saudara, bukan dalam rangka berlibur, berwisata, atau berbelanja. Saat itu aku merasakan berdesak-desakan di dalam bus yang bagiku tak manusiawi lagi. Wanita dan pria tak ada bedanya. Kebagian berdiri ya berdiri, kebagian dipinggir pintu ya dipinggir pintu. Jangan pernah berharap ada yang menawarkan diri untuk memberikan kursi empuknya jika kamu kebagian sial berdiri memegang besi yang sudah berkarat dan menahan nafas karena mencium bau yang beraroma khas.

Perjalanan sepanjang kurang lebih 10 kilometer bisa memakan waktu satu jam, tak lain dikarenakan kendaraan yang aku naiki mesti ‘antri’ dengan kendaraan lain yang juga ingin sesegera mungkin sampai pada tempat tujuan. Lampu merah yang menyala merona didampingi oleh angka yang menunjukkan lamanya kendaraan harus berhenti menjadi pemandangan yang sering dijumpai. Anggap saja dengan adanya lampu merah merona itu pengendara diberikan waktu untuk beristirahat sejenak dari lelahnya berkendara di Ibukota yang hiruk pikuk dengan berbagai macam hal.

Jika berada dalam kendaraan umum, bersabarlah dengan penyanyi yang naik turun memainkan alat musik bahkan audio lengkap dengan mic-nya yang begitu nyaring hadir untuk menghibur para penumpang yang sedang menikmati indahnya perjalanan di Ibukota. Entah ada berapa penyanyi dan seniman yang naik turun angkutan umum. Mulai dari yang berpenampilan rapi dan necis sampai yang berpenampilan ala bintang Ibukota. Ada yang sendiri, ada yang duet, bahkan ada yang grup. 

Ada yang memakai alat musik klasik seperti botol yang berisi beras, kecrekan dari tutup botol yang digepengkan, sampai yang hanya bermodalkan kedua telapak tangannya. Ada juga yang memakai alat modern seperti single sound lengkap dengan mic dan bermacam-macam kasetnya. Namun satu yang sama, bungkus permen yang mereka miliki untuk mengumpulkan kemurahan hati para penumpang.

Profesi yang tak akan pernah dijumpai dimanapun kecuali di Indonesia, terlebih di Jakarta sangat mudah menjumpai profesi-profesi baru tersebut. Setidaknya itulah hipotesis bagiku yang belum lama mengenal ibukota ku tercinta ini. Benar memang, di ibukota apapun ada. Saat kita merasakan dahaga yang teramat sangat ketika menunggu lampu lalu lintas menyala warna hijau dan kita tidak memiliki stok air minum jangan khawatir ada pengasong yang dengan senang hati menawarkan minuman-minuman penyegar dahaga yang sangat menggoda ditengah terik matahari ibukota yang tega membakar kulit para pengendara.

Jika hujan tiba, banyak yang menjajakan jas hujan, mulai dari harga sepuluh ribu rupiah hingga seratus ribu rupiah, lengkap. Atau memilih berteduh dibawah jembatan dengan puluhan pengendara motor lain sambil ngebakso? Pilihan itu ada ditangan Anda sebagai pengendara motor yang terkena hujan dan tak membawa jas hujan.

Betapa mandiri masyarakat ibukota. Entah kemana para pemimpinnya, entah kemana para petugas ibukota. Membiarkan ibukota terlihat sangat tak elok dipandang mata. Hampir disetiap lampu lalu lintas menjadi ladang rezeki untuk sebagian besar orang. Dari yang berjualan produk dan jasa,sebar brosur atau leaflet, hingga berjualan ‘diri’. Apa itu? Yaaa jualan dengan modal dirinya sendiri, tampang memelas, baju entah berapa hari tak ganti (mungkin itu memang seragam dinasnya), rambut acak-acakan seperti tak disisir selama tujuh minggu, alas kaki seadanya, bahkan ada yang ‘duet’ dengan anaknya. Entahlah tak ada yang tau pasti benarkah itu anaknya, karena aku yakin tak ada seorang pun yang menanyakan kartu keluarga dan mengecek status anak tersebut.

Betapa mandirinya masyarakat ibukota. Tak pernah mengemis meminta pekerjaan pada pemimpinnya, tak pernah meminta uang pada pemimpinnya. Ketika perut sudah tak lagi bisa di kompromi, otak akan otomatis jalan dengan sendirinya. Mencari cara bagaimana perut bisa terisi hari ini, untuk esok hari dipikirkan nanti. Yang terpenting adalah hari ini, bagaimana hari ini perut tak lagi berteriak minta diisi makanan. Mereka memiliki mental baja, mereka memiliki otak yang sangat kreatif dan memiliki badan sehat yang penuh aksi. Halte pun mereka jadikan tempat mengais rezeki. Dimana ada ruang kosong, disitu ada peluang menjemput rezeki untuk kebutuhan hidup mereka terutama urusan perut.

Trotoar yang menjadi hak bagi pejalan kaki tidak pernah dipenuhi oleh pejalan kaki. Trotoar justru dipenuhi oleh para penjaja dagangan. Orang-orang itu yang tak mengenal tempat apa yang mereka tempati untuk mendapatkan satu-dua rupiah. Yang mereka tau, perut mereka mesti diisi, yang mereka tau hidup mereka membutuhkan biaya. Daripada demo memaksa pemimpinnya untuk mengasihani mereka lebih baik mereka memberikan solusi sendiri untuk hidup dan kehidupannya. Mungkin begitu yang mereka pikirkan.

Sial memang bagi orang-orang tak berdaya seperti mereka. Sial memang bagi orang-orang yang hanya berharap bisa terus menjajakan dagangannya di ‘pangkalan’ mereka. Sial memang bagi mereka, niat hati tak ingin ngrecoki pemerintah tapi pemerintah yang malah ngrecoki mereka. Sekelompok orang yang ditugaskan untuk menertibkan mereka, mengatasnamakan demi keindahan tata kota, tanpa pandang bulu mengangkut semua modal yang mereka miliki naik ke mobil bak.

Ironis! Ditengah kebutuhan hidup mereka yang sangat mendesak dan ditengah ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola sumber daya manusia juga dalam menyediakan lapangan pekerjaan, mereka yang tak pernah merongrong pemerintah, mereka yang mandiri menghidupi diri mereka sendiri, dipaksa membubarkan diri dan lapaknya yang katanya demi tata kota yang lebih baik. Jika memang seperti itu, lalu apa yang harus mereka perbuat dengan ketidakberdayaan mereka? Saat warga Negara telah memenuhi kewajibannya sebagai warga Negara, sudah seharusnya pemerintah memenuhi hak mereka sebagai warga Negara. Apakah itu terjadi di ibukota?

Jika ibukota tidak enak dipandang mata karena kehadiran mereka, apakah itu salah mereka?
Diantara banyaknya gedung pencakar langit, banyak pula disekitarnya lingkungan yang kumuh. Pemandangan yang sangat kontras. Diantara kemewahan ibukota terselip rumah-rumah yang tak layak huni, rumah yang hanya dibatasi tembok rumahnya masing-masing, rumah yang berjarak seukuran lebar badan orang dewasa. Betapa padatnya rumah penduduk di ibukota. Ironi yang tak pernah bisa ditolak yang bertempat tinggal dalam kepadatan itu adalah jika terjadi kebakaran pada satu rumah, mau tidak mau rumah yang berdekatan pun ikut habis dilahap si jago merah.

Sulitnya hidup di ibukota. Tinggal di pemukiman padat penduduk, resikonya begitu tinggi. Bagi orang-orang yang senang menyendiri, membutuhkan ketenangan dalam berkonsentrasi, aku sarankan untuk tidak tinggal ditempat tersebut. Jika tetap ingin tinggal di ibukota namun membutuhkan kenyamanan carilah pusat kota, tinggallah di apartemen atau komplek yang lebih nyaman. Jika tak punya uang, sudahlah lebih baik hidup di kota asal mu atau cari kota lain yang lebih nyaman dibandingkan kota yang setiap pagi jumlah penduduknya bertambah itu.

Jakarta, saking mahalnya biaya hidup disana, saking sulitnya mendapatkan tempat tinggal bahkan ada yang rela, bahkan ada yang dengan senang hati tinggal dibawah jembatan yang terdapat kali dibawahnya. Jakarta, penduduknya tak boleh sedikit saja melihat tempat kosong. Kolong jalan layang pun ia tempati, bukan sekedar ditempati tapi ia tinggali demi menyambung hidup di ibukota. Di bantaran rel kereta api bahkan ramai orang tinggal disana, bukan satu-dua keluarga tapi banyak. Bak pemukiman baru, bantaran rel kereta tersebut sekejap disulap bak kampung baru. Digusur pun mereka tetap balik lagi ke tempat itu, mereka selalu katakan “apa boleh buat”. Ya apa boleh buat?

“Apa boleh buat, mas, saya ga tau lagi harus tinggal dimana. Sedangkan keluarga saya harus dapat tempat tinggal untuk tidur dan lainnya. Kami tidak pernah dirangkul pemerintah untuk mendapatkan tempat yang lebih baik daripada disini”, begitu akunya pada salah seorang wartawan.

Ironis! Megahnya ibukota tidak serta merta menandakan bahwa seluruh penduduk disana hidup dalam kesejahteraan, ya jika belum makmur paling tidak hidup dalam kesejahteraan. Tinggal di ruang publik seperti itu memang salah. Tapi serba salah juga ketika pemerintahnya sendiri tidak memberikan solusi, aturan yang ada pun tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Semakin ironis ketika pemimpin ibukota Indonesia Raya sibuk mengurusi dirinya yang mencalonkan diri menjadi presiden. Cuti berkali-kali, cuti berbulan-bulan, hanya demi fokus pada pencalonan dirinya menjadi presiden. 

Lobi sana sini agar mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Meninggalkan kewajibannya sebagai orang nomor satu, meninggalkan kewajibannya sebagai penanggung jawab jalannya roda pemerintahan di ibukota. Hendak dibawa kemana sebenarnya ibukota ku itu? Jika memang sudah tak bergairah mengurusi segala macam kesemrawutan ibukota, sudah lepaskanlah jabatan itu. Kasian anak-anak jalanan yang semestinya berada di sekolah, kasian mereka harus menjual masa depannya hanya demi untuk mengisi kekosongan perutnya yang tak bisa ditolerir lagi. 

Kasian para pencari rezeki, anak sekolah, mahasiswa, yang berdesak-desakan dalam bus tua yang sudah tak mampu lagi membawa puluhan penumpang di dalamnya. Melihatnya saja aku ngeri, apalagi menaikinya. Bus kota tua yang supirnya ugal-ugalan, menurunkan penumpang di sembarang tempat, ditengah jalan pun jadi hingga kendaraan dibelakangnya terus menerus membunyikan klakson saking kesalnya. Bus kota tua yang pagi dan sore hari selalu nampak miring ke kiri karena kepenuhan penumpang. Ada yang berdiri persis dipinggir pintu bus kota, ada yang duduk di dashboard, dan entah bagaimana rupanya didalam sana. Mungkin seperti tumpukan ikan teri yang di pepes dalam balutan daun pisang.

Ah aku tak kuasa jika terus mengingat yang ku alami dan ku lihat di Jakarta-ku. Kata salah satu band indie, Jakarta-ku Neraka-ku. Ada benarnya juga. Neraka bagi orang-orang kecil, orang-orang tak berdaya, orang-orang tak mampu. Bertahan hidup disana saja sudah syukur alhamdulillaah bagi mereka. Tidak mati kelaparan dan tergerus kehidupan di ibukota saja sudah sangat bagus.

Sedih ketika aku naik bus kota tua yang benar-benar sudah tidak pantas ada di ibukota Negara, yang benar-benar sudah tidak layak lagi, melihat pengamen yang masih anak-anak terlebih jika melihat mereka dengan penampilan tindikan dimana-mana, tato yang entah apa gambar dan maknanya terlukis indah bagi mereka disekujur tubuhnya, pakaian yang dekil, dan lainnya. Mau jadi apa Negara ini dengan anak bangsa yang seperti itu? Semestinya undang-undang yang berisi “Anak terlantar dan fakir miskin dipelihara oleh Negara” dihapus saja. Kenapa? Ya namanya dipelihara berarti dibiarkan tetap ada kan?

Masih banyak hal menyedihkan yang terjadi di ibukota. Intoleran yang kental aku rasakan manakala aku pergi ke ibukota dengan sepeda motorku. Coba saja perhatikan di jalan raya, jika kamu melaju dengan kecepatan yang rendah sudah pasti kamu di klakson kendaraan di belakangmu. Jika kamu berhenti di traffic light, berhenti sebelum garis zebra cross, sudah pasti kamu di klakson kendaraan mu yang menandakan bahwa dia menyuruhmu untuk maju terus ke depan. Jika kamu menunggu lampu lalu lintas berganti nyalanya menjadi lampu hijau, sedangkan angka lampu merah masih 10 detik lalu kamu di klakson terus menerus oleh kendaraan dibelakangmu, jangan heran. Itu tanda balapan segera dimulai.

Ya, traffic light bak garis start motoGP. Para pengendara memainkan gas, tanda bersiap untuk bertempur hingga hanya lampu merah dan kemacetan lah yang dapat menghentikan lajunya. Selain itu, tak ada yang bisa. Kecuali jika dia ketiban sial jalan yang dilewatinya sedang dilakukan razia oleh polisi, mau tak mau naluri ngebutnya harus dia hentikan beberapa saat. Mungkin Valentino Rossi pun tak akan pernah bisa menyaingi para pengendara motor di ibukota, bahkan tak akan mungkin memenangkan balapan yang diadakan setiap hari dan setiap saat di ibukota.

Pengendara motor di Jakarta memang juara, pantang ngerem sebelum lampu merah. Pantang pelan sebelum diberhentikan polisi. Bahkan belum lama ada pengendara motor yang ketauan oleh polisi melanggar lalu lintas langsung mbikin strategi agar tak tertangkap polisi. Benar saja, jurus ngeles-nya berhasil. Polisi tak bisa menangkap si pelanggar itu.

Siapa suruh datang Jakarta, nampaknya selalu pas dan klop dinyanyikan untuk orang-orang yang masih saja sliweran mengadu nasib di Jakarta. Jakarta itu keras, bung. Katanya ibukota lebih jahat dari ibu tiri. Lelucon itu mungkin ada benarnya juga. Betapa banyak orang terhipnotis oleh pesona ibukota. Setelah merasakan hidup beberapa saat disana, nafas mulai senin-kamis, otak mulai di bolak-balik untuk mencari cara bertahan disana. Saking buntunya, saking otak sudah tak bisa mengeluarkan ide kreatifnya, akhirnya langkah yang diambil adalah menjadi copet, maling, rampok, dan sebutan lainnya.

Tempat yang empuk untuk mencari sasaran adalah bus kota, halte, mall, pasar, dimanapun yang banyak orang sliweran, dimanapun tempat yang memungkinkan. Jika perintah perut sudah dikeluarkan, siapa yang bisa menolaknya? Perut adalah tuhan bagi sebagian orang. Perintah Tuhan saja masih banyak orang yang membangkang tapi perintah perut siapa yang berani membangkang? Jika membangkang, lihat saja kamu bakal mati kelaparan. Cacing-cacing yang ada dalam perutmu itu tidak bisa bertahan hanya dengan usus yang kosong melompong.

Ibukota, begitu banyak cerita yang ku dapatkan dari mengembara selama lima tahun. Begitu banyak cerita yang bisa kusampaikan kelak kepada anak cucu-ku seperti apa wajah ibukota saat aku mengembara disana. Sekalipun wajahmu muram durja, sekalipun wajahmu tak seindah yang ada dalam bayanganku dulu, tak seindah yang ada dalam khayalan orang-orang yang mengelu-elukanmu, kau tetap ibukota ku tercinta. Apapun yang terjadi, apapun bentuknya itu, kau menjadi salah satu saksi sejarah akan perjalanan hidupku. Kau bagian dari kisah hidupku. 

Tanpa kau, manalah mungkin kisah hidupku akan seindah ini, akan se-lucu ini, akan se-aneh ini, dan manalah mungkin aku menemukan begitu banyak pengalaman dan pengetahuan. Aku sangat yakin suatu saat nanti kau akan lebih indah dari hari ini. Kau akan menjadi cerita yang berbeda dibanding dari hari ini. Suatu hari nanti aku akan mendengarkan cerita yang berbeda tentangmu yang lebih seru dan menarik lagi. Tetaplah menjadi ibukota dengan seribu cerita. Tetaplah menjadi ibukota yang unik dan selalu menjadi inspirasi bagi pewarta dan penulis yang menyusun kata-kata. Jangan pernah bosan menampung ribuan bahkan jutaan orang yang ingin mengenalmu lebih dalam.


 @imardalilah

Ingin ngobrol dengan saya?
WhatsApp 0888-0996-9604

p1