Keluarga Miniatur Negara

Obrolan sore tadi dengan kakak ipar saya semakin membuka mata bahwa pernikahan adalah suatu hal yang sangat penting untuk dipersiapkan. Betapa tidak, begitu banyak permasalahan yang timbul yang berujung pada pendidikan anak. Entah, saya juga bingung gimana menggambarkannya.


Pernikahan atawa munakahat atawa marriage adalah salah satu ibadah dalam Islam. Untuk melaksanakan solat saja kita perlu persiapan. Kita wajib wudhu, baju mesti bersih dari kotoran, tempat solat juga mesti bersih, itulah persiapannya. 


Jika semua hal tersebut ga dipenuhi artinya kita ga bisa ngelaksanain solat. Itu baru solat loh yang paling kita ngelaksanain lima menit. Ibadah yang lima menit aja perlu persiapan, apalagi pernikahan yang seumur hidup yekan?


Saya melihat bahwa permasalahan yang ada dalam rumah tangga, baik dari suami istri maupun anak, semua bermula dari pernikahan. Pernikahan yang dipersiapkan dengan matang, akan mempengaruhi perjalanan rumah tangga. Misalnya sebelum menikah kita bekali diri dengan ilmu parenting, keuangan, kesehatan, dls.


Sebelum menikah, kita sepakati akan seperti apa nanti mendidik anak, tinggal dimana (mandiri atau tinggal bersama orang tua), keuangan di pegang suami/istri, dls. Membangun keluarga sama halnya seperti membangun tim, mesti ada komunikasi yang baik , kerjasama yang baik, saling support, dls.


Jika hal-hal seperti itu kita sepakati dari awal, insya Allah akan mengurangi permasalahan yang kemungkinan timbul saat berumah tangga. Saat kita sepakat tinggal mandiri jauh dari orang tua agar bisa mendidik anak berdua saja dengan pasangan, itu merupakan salah satu kerja tim. Berstrategi untuk memberikan yang terbaik bagi anak.


Dalam mendidik anak, hindari ada pihak ketiga. Misalnya orang tua atau mertua. Karena dengan adanya pihak ketiga, strategi kita dalam mendidik anak bisa gagal. Orang tua atau mertua adalah orang yang bukan termasuk dalam tim. Mereka ga satu frekuensi dengan kita, terlebih jika kita ingin mendidik anak tidak dengan cara orang tua kita dahulu mendidik kita. Kita ingin mendidik anak dengan ilmu yang kita miliki.


Adanya komunikasi, kesepakatan, dan kerja tim seperti itu insya Allah bisa meminimalisir masalah-masalah yang sekarang ini umum ayah dan ibu rasakan. Anaknya bandel, anaknya ga sopan, anaknya males, anaknya suka ngelawan, dls. Umumnya ayah ibu menyalahkan anaknya, maunya si anak nurut namun cara yang mereka pakai ga sesuai. Mereka ‘memaksa’ anak untuk nurut tapi mereka ga kasih contoh yang baik kepada anaknya.


“Kamu yaaaa, blablablabalalalalalala………Pokoknya Mama ga mau tau, kamu mesti syalalallaladubidubidudu. Kamu nurut napa sih!”


Masih banyak lagi daripada itu. Mungkin kalo di rewind bakal kayak kaset kusut, wkwkwk. Parahnya nih yang berprofesi guru, ilmu dan pengetahuannya tentang anak dan pendidikan kurang mumpuni, akhirnya memakai cara seadanya. Guru semestinya mendidik, bukan sekedar mengajar. Dan itu bisa jadi dipengaruhi juga oleh dulu si guru kurang mempersiapkan pernikahannya. Walhasil seperti itu.


Jadi saat ini jomblo yang ga pernah bahas pernikahan, justru dialah orang yang norak, yang kampungan, yang udik, yang ga gaul. Sekarang zamannya visioner, melihat jauh ke depan. Menikah bukan sekedar agar hidup ada temannya, bukan sekedar memenuhi kebutuhan psikologis dan biologis, tapi menikah untuk membangun Negara. Karena keluarga adalah miniatur Negara.


Keluarga yang baik, menentukan negaranya baik atau ga. Coba tanyakan pada rumput yang dipotong, sudahkah kita mempersiapkan pernikahan? Atau kita sibuk menilai orang yang sibuk mempersiapkan pernikahan?


Berlomba-lombalah mempersiapkan pernikahan agar kita mendapatkan pasangan yang terbaik karena kita mengusahakan yang terbaik sehingga Allah memberikan jodoh yang terbaik. Jangan sampe nih, usia udah masuk kepala tiga baru kelabakan cari jodoh. Udah gitu maunya yang baik, lah selama 30 tahun itu udah siapin apa aja? Solat aja butuh persiapan ko, apalagi pernikahan.




@imardalilah

p1

Buta Yang Paling Berbahaya

Pusing ya hidup di Indonesia, serba salah. Naik motor, ditabrak busway. Naik pesawat kalo ga ngilang yaaa jatoh. Bahkan jalan kaki masih aja kena sasaran, ditabrak mobil. Nah sekarang mau Pemilu, masyarakat bingung juga. Ada yang menyarankan untuk nyoblos, ada yang menyarankan untuk golput. Bingung!


Belum lama ini saya membaca salah satu postingan di sosial media. Isinya menyatakan bahwa jargon yang beisi “jika seseorang tidak memilih pada saat pemilu, bisa jadi DPR dikuasai legislatif kafir” terkesan menakut-nakuti umat muslim. Menurut beliau, belum tentu jika partai Islam yang menang pemilu nasib umat muslim akan lebih baik. Beliau memperlihatkan kejadian di Aljazair, HAMAS, dls, sebagai salah satu contoh bahwa kemenangan partai Islam tidak serta merta menjamin kehidupan umat muslim menjadi lebih baik.


Partai Islam yang menang aja belum tentu kehidupan umat muslim lebih baik apalagi kalo bukan partai Islam yang menang, yekan? Saya sangat setuju bahwa kita mesti memilih pemimpin yang bukan hanya seorang muslim namun juga menerapkan sistem Islam yaitu Khilafah. Pertanyaannya, adakah pemimpin yang menerapkan khilafah? Jika ada, tentunya dia memiliki jabatan pemerintahan dan wilayah kekuasaan kan? Mana mungkin ada pemimpin yang menerapkan khilafah tanpa mempunyai wilayah kekuasaan. Wilayah kekuasaan tertinggi saat ini adalah Negara, lalu dimana dia berada?


Jika ada yang mengatakan di dunia ini ada Negara Islam, menurut saya ga ada. Liat aja sistem pemerintahannya, kerajaan, republik, atau apa? Yang namanya sistem Khilafah udah pasti sistem pemerintahannya sesuai sunnah Rasul. Pada saat Rasulullah membangun Madinah, sistem pemerintahan yang digunakan kerajaan atau republik? Sekalipun undang-undangnya berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah, tetap saja menurut saya bukan Negara Islam jika sistem pemerintahannya ga mencontoh Rasulullah. Kan Islam mesti kaffah.


Ada baiknya menurut saya kita ga membuat masyarakat semakin bingung. Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Saat ini kita berada di Indonesia, yaaa ikutilah sistemnya. Namun bukan seperti kebo di cocog idungnya sekedar ngikut tapi kita juga berdakwah dengan tujuan menegakkan Kalimatillah.


Ga bisa lah kita ujug-ujug ganti sistem Republik Indonesia dengan sistem Khilafah. Coba baca lagi shiroh Rasulullah, gimana beliau berjuang menegakkan Kalimatillah. Selama 13 tahun berdakwah cuma dapet 25 orang. Artinya dalam menegakkan kalimatillah itu butuh proses yang cukup panjang. Terlebih saat ini kita perang di era modern. Ayolah kita mulai sekolahkan anak-anak kita agar menjadi ilmuwan, orang-orang terdidik, dls, sehingga kita bisa menyeimbangkan pertarungan ini. Jangan sampai kita BUTA, anti politik, anti pemerintahan, dls.


Mulai lah berpikir terbuka. Perang zaman sekarang sama zaman Rasulullah beda. Saat ini kita seringnya ga tau mana lawan mana kawan. Daripada kita beropini yang bikin masyarakat hopeless mending kita dorong masyarakat untuk mau berperang dari berbagai lini.


Misalnya pengusaha, buatlah media cetak dan elektronik yang sehat, yang mencerdaskan. Pemuda pemudi muslim ayo beranikan diri untuk ikut berpolitik. Dengan cara kita masuk ke dunia politik, masuk ke eksekutif, yudikatif atau legislatif, kita bisa berbuat lebih banyak, lebih jauh, karena kita memiliki kekuasaan. Jangan sampai posisi-posisi tersebut diisi oleh muslim munafik bahkan kafiruun.


Saya setuju dengan penyair Jerman, Bertolt Brecht, bahwa buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tau bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tau bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.”


Masihkah mau kita buta politik dan bangga bahwa kita membenci politik? Daripada kita menenggelamkan harapan masyarakat lebih baik kita berikan harapan dan mencerahkan masyarakat dengan hal-hal kecil seperti ini. Tugas kita bukan untuk mendapatkan hasil yang terbaik, tugas kita hanya sampai mengupayakan hasil yang terbaik. Allah yang menjamin bahwa Kalimatillah pasti tegak.


Mulailah dari 3M lalu masuk ke setiap lini dan bidang kehidupan masyarakat. Entah menjadi guru, penulis, trainer, pengusaha, dokter, pilot, politikus, ekonom, dls, yang memiliki visi menegakkan kalimatillah. Yang penting ga menjadi masyarakat yang skeptis dan apatis. Berjuang dengan berbagai cara dan jalan, bukan memutuskan hanya satu jalan lewat luar kotak suara atau sekedar lewat jalur politik. Mari kita serang dari berbagai arah.




@imardalilah

p1

Happy Birthday

Hari ulang tahun sejatinya salah satu hari spesial bagi kebanyakan orang. Saking spesialnya, orang rela bela-belain ngeluarin budget yang lumayan menguras kantong untuk merayakannya. Entah itu tanda syukur, entah itu tanda kebahagiaan, entah itu sekedar perayaan. Apapun alasannya, itu adalah hari yang spesial.


Menjelang ulang tahun saya yang ke-23 bulan eh tahun, entah lah saya ga ngerasain rasa bahagia seperti dulu. Saya ga se-excited dulu menunggu datangnya tanggal kelahiran saya. Mungkin perubahan idealisme, perubahan lingkungan, perubahan pemikiran, perubahan usia juga yang mempengaruhi perbedaan perasaan yang saya rasakan saat akan berulang tahun.


Bagi saya saat ini, ulang tahun bukan hari yang mesti ditunggu. Ulang tahun bukan saat dimana saya lebih bahagia dibanding hari lain. Ulang tahun bukan waktu dimana saya merayakannya dengan ‘memaksakan’ diri mengeluarkan uang yang ga sedikit. Saat ini bagi saya ulang tahun adalah waktu dimana saya harus lebih merenungi apa aja yang udah saya lakuin selama satu tahun terakhir ini, selama 23 tahun ini.


Ulang tahun ga ada bedanya dengan hari atau tanggal lainnya. Hari dan tanggal lain pun seharusnya ditunggu-tunggu, di nanti-nanti. Bukan alasan hari atau tanggal ini saya ga ulang tahun maka saya ga berbahagia, ga ‘merayakan’. Hari apapun, tanggal berapapun, bulan apapun, semuanya adalah waktu yang saya harus berbahagia karena Allah sampaikan usia saya hingga saat itu. Dan semestinya saya rayakan dengan lebih taat lagi kepada Allah.


Ada satu sisi merasakan bahwa semakin panjang umur saya, semakin berat pula pertanggungjwabannya dihadapan Allah. Karena panjangnya usia adalah kuantitas. Kuantitas ga menjamin kita bisa selamat di yaumil hisab nanti. Akan lebih baik, kuantitas yang banyak itu diimbangi dengan kualitas yang sangat baik. Pertanyaannya, apakah selama saya hidup 23 tahun (waktu yang ga sebentar) berbanding lurus dengan kualitas yang saya miliki?


Rasulullah bersabda, “Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang bertambah umurnya (panjang umurnya) dan bertambah banyak amalnya (ibadanya). Dan sejelek-jeleknya manusa adalah orang yang bertambah umurnya, tapi semkain jelek perbuatannya.”


Itulah yang menjadi renungan saya. Bukannya saya hopeless tapi jujur saja, saya merasa ga pantas masuk pada golongan pertama yang Rasulullah sebutkan. Kenapa? Ya saya solat, sekedar menggugurkan kewajiban. Padahal perintah Allah, Aqiimusholah (dirikanlah solat). Allah memerintahkan umat Islam untuk mendirikan solat, menegakkan solat (karena solat adalah tiang Dinnul Islam) bukan memerintahkan laksanakan solat apalagi sekedar menggugurkan kewajiban solat.


Baru itu saja yang saya liat dari diri saya, saya malu, malu sama Allah. Maka dari itu, saya ga yakin saya masuk golongan pertama yang Rasulullah sebutkan dalam sabdanya. Jika begitu, apakah saya pantas merayakan ‘kemunduran’ diri saya? Apakah saya pantas berbahagia?


Ulang tahun atau ga, bagi saya tetap saya harus bahagia, tetap saya harus excited, tetap saya harus ‘merayakan’ dengan cara semakin baik dan berkualitas ibadah saya (bukan sekedar ritual namun juga aktual, bukan sekedar diri namun juga harta), dengan cara saya bersyukur kepada Allah yang telah menyampaikan usia saya hingga detik ini.


Mungkin sama halnya seperti kita merayakan tahun baru Masehi. Kenapa kita baru merasa bersyukur, baru excited, baru merayakan, ketika tahun baru tiba? Bukankah setiap detik yang Allah berikan pada kita memang selayaknya kita syukuri? Kita rayakan? Apa karena kita menganggap bahwa detik itu tiada berarti, karena tahun lebih terasa bagi kita bahwa waktu sebenarnya terus berputar?


Jangan pernah mengecilkan hal kecil. Ga ada sejarahnya, ga ada ceritanya orang jatuh karena batu besar. Kebanyakan orang jatuh karena batu kerikil yang kecil, karena batu itu ga ‘terlihat’ dan kita sering menyepelekan ‘ah kecil ini’.



Selamat mengulang hari lahir, selamat merenung, selamat bermuhasabah diri untuk diri saya sendiri. Semoga Allah selalu berkenan dengan apa yang saya cita-citakan dan melimpahkan tolong serta kurnia-Nya pada saya sehingga saya dipandaikan-Nya dalam mencapai dan mewujudkan cita-cita yang telah saya tetapkan. 



@imardalilah

p1

Complaining

Entah udah berapa banyak saya mengeluh tentang hidup ini. Saat hidup terasa sulit, saat itu pasti saya mengeluh. Namun kebalikannya, saat hidup ini terasa nikmat, indah, enak, saat itu pasti saya lupa. Ya itulah salah satu penyebab kenapa manusia bisa menjadi mulia dihadapan Allah. Manusia bisa memilih jalan hidupnya sendiri. Dengan tantangan seperti itu wajar adanya jika Allah berikan surga bagi yang taat dan neraka bagi yang kafir.


Betapa wajar manusia itu mengeluh. Hidup ga mudah boss. Adalah ga wajar kalo ada manusia yang ga pernah ngeluh, sekalipun. Mengeluh itu manusiawi, yang penting ga sering dan bukan jadi hobi. Di zaman modern kayak gini, mengeluh itu ga cuma dari lisan aja. Sekarang udah banyak banget sosial media, macem-macem. Dan dengan mudah bisa kita temukan keluhan-keluhan orang lain disitu.


Guru saya pernah bilang “Apa yang kamu twit itu menggambarkan diri kamu.” Saya sangat setuju. Untuk menilai seseorang itu seperti apa, cek aja sosial medianya. Cek statusfacebook-nya, cek celotehannya, cek private message-nya, cek status whatsapp-nya, cekpath-nya, cek instagram-nya, cek line-nya, banyak deh dan macem-macem.


Allah mengatakan dalam Al Qur’an “Famayya’mal mitsqoola dzarrotin khoiroyyaroh. Wamayya’mal mitsqoola dzarrotin syarroyyaroh.” (QS. 99:7-8) Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.


Mari kita pahami 2 ayat diatas. Ga pernah ada satu helai rambut pun yang bisa kita sembunyikan dari Allah. Ga ada satu kebaikan atau kejahatan pun yang luput dari pandangan Allah, walaupun itu sebesar debu. Katanya dzarroh itu lebih kecil dari debu.


Saat ini, abad ke-21. Dimana zaman informasi, zaman teknologi, semua serba cepat, serba ada, punya tantangan tersendiri. Jika teknologi yang ada saat ini kita pergunakan tidak sebagaimana mestinya, ciloko dua belas. Seperti apa? Media sosial misalnya. Siapa sih yang sekarang ga punya akun Facebook? Bahkan yang punya hape baru bisa browsing aja pengen bikin akun Facebook. Emak-emak, abah-abah, pengen bikin akun Facebook. Tapi apakah tujuannya kita punya akun Facebook?


Jika kita memahami ayat yang saya kutip tentu kita akan sangat berhati-hati dalam menggunakan media sosial. Mestinya akun sosial media kita gunakan untuk hal-hal yang baik. Jualan (tentu dengan ilmu biar ga balik jadi mudharat), sharing hal bermanfaat, berbagi pengalaman (yang baik), komunikasi dengan teman/saudara yang jauh, dls.


Buaaanyak banget menurut saya yang menyalahgunakan sosial media. Mubazir. Sosial media seperti buku diary digital anak muda zaman sekarang. Baru diputusin pacarnya update, sedih, galau, gelisah, kecewa, dls. Baru jadian, update, sayang-sayangan, upload foto berdua, eh ga lama putus status-statusnya 180 derajat berubah. Hadeuh capcay deeeeeh.


Ada masalah ini, ngeluh, update status. Ada masalah itu, ngeluh, update status lagi. Coba deh diliat timeline-nya, selama punya akun sosial media udah nulis apa aja. Mungkin aja bisa dijadiin buku dengan judul “Kumpulan Status-Statusku Semasa Aku Masih Alay dan Galau.”


Saya begitu juga ternyata, duluuu. Facebook kan sekarang tampilannya di update, kita bisa liat dari awal bikin akun Facebook sampe detik ini kita udah nulis apaan aja, share apaan aja disitu. Pas saya iseng-iseng liat, Masya Allah, langsung lah bebersih timeline. Ratusan status ngeluh, berapa banyak dosa yang saya dapetin dari situ? Kalo teman saya aja ada 600, dan semuanya liat status keluhan saya, di kali 1000 hari (misalnya) lamanya akunFacebook saya, udah 600.000 dosa. Itu juga kalo dosanya diitung satu, kalo lebih? Terus kalo statusnya nongol beberapa kali dalam satu hari, jadi berapa tuh? Astaghfirullah.


Kalo kita nulisnya yang jelek-jelek, orang bacanya juga jadi kebawa ga enak hawanya. Begitu sebaliknya. Berarti si akun sosial media kita bisa jadi salah satu sumber pahala/dosa kita. Kalo saya lebih memilih untuk hidden orang-orang yang statusnya alay, ngeluh, uploadfoto-foto sama pacarnya (jijay liatnya). Supaya saya-nya juga enak pas buka akun saya tapi ga mesti unfriend dan si friend itu tetep bisa temenan sama saya.


Udahlah, ngeluh itu cuma narik apa yang ga kita pengen. Jangan nyampah dan jangan jadi sampah di sosial media. Masa sih kita berbagi kesulitan sama orang-orang? Ga perlu juga kan semua orang di dunia tau apa yang lagi kita rasain? Mendingan kita berbagi kebahagiaan aja deh, itu bikin kitanya juga happy terus.



@imardalilah

p1

Know What To Do

Malam itu, saya sangat lapar. Perut kukuruyukan, si usus pengen ‘kerja’. Padahal udah malem, sekitar jam 10an. Yaudah deh ngeluarin motor, caw beli sate ayam, daripada krucuk-krucuk terus nih perut. 

Nyampe di tempat tukang sate, mesen “Mbak, 10 ya. Tusukannya aja. Eh pake ayamnya deh.” Karena ga ada kerjaan tuh si Mbak ngipas-ngipasin sate. Tuh sate gerah kali kena bara api, jadi dikipasin terus. Mending kipasin hati aku Mbak yang lagi panas *eh.

Sambil nunggu satenya ga gerah lagi, saya perhatiin orang lalu lalang ngendarain motor. Dalam hati, ini orang mau pada kemana yaaaa malem-malem gini. Rapi lagi pakaiannya. Cling, oh iya mau pada kerja kali shift 3. Ada juga orang yang baru pada pulang kerja. Sekitar tempat itu ada pedagang lain juga, beberapa lagi beberes mau pulang. Ada juga counter pulsa, udah nutup. Si Abangnya pesen sate juga ternyata.


Pas saya liat orang yang lalu lalang saya ga kebayang capeknya tuh orang. Apalagi ada juga ibu muda, gimana tuh anaknya? Si ibu malem-malem jemput rezeki buat si anak. Apa kebutuhannya terpenuhi? Bukan sekedar kebutuhan materiil tapi juga non-materiil. Ibu kan guru pertama bagi anak, keluarga kan sekolah pertama bagi anak.


Kerja di pabrik atau di perusahaan gitu pasti banyak waktu ke makan disana. Ga kebayang kalo seorang ayah dan ibu kerja semua. Terus gimana nasib anaknya? Dititipin ke mertua, ke orang tua, atau pengasuh? Seorang ibu kalo punya perhiasan dia ga akan titipin perhiasan itu ke mertua, orang tua, bahkan orang lain. Tapi ko bisa ibu nitipin anaknya ke mertua, orang tua, bahkan orang lain? Memang lebih berharga mana anak dengan perhiasan?


Coba bayangin, kalo guru jarang masuk kelas. Gimana tuh nasib murid-muridnya? Bisakah mereka paham dengan pelajaran yang seharusnya mereka pelajari bersama gurunya? Udah gitu, sekolahannya ga nyaman buat mereka. Makin-makin deh. Sama gitu juga mungkin ya kondisi anak yang ayah dan ibunya kerja, apalagi pake shift. Nyampe rumah, ayah dan ibu ngasih sisa-sisa energi. Ga sedikit juga yang ngebawa capeknya kerja ke rumah. Anak kena dampratnya.


Anak sangat-sangat membutuhkan peran orang tua dan keluarga. Sebagai orang tua, kita mesti paham apa tugasnya sebagai orang tua? Orang tua bisa berperan sebagai pendidik, sebagai pengajar, sebagai motivator, sebagai konsultan, dll. Sudah seharusnya sebelum menikah, calon orang tua punya bekal ilmu tentang anak, pendidikan anak, masa kehamilan, masa pertumbuhan dan perkembangan anak, dll. Agar orang tua Know What To Do.


Saya sangat berharap, di zaman modern seperti ini kita lebih maju pemikirannya. Namun yang terlihat, kita mengalami kemunduran. Kita seperti orang-orang jahiliyah dahulu kala. Kalo kita disebutnya jahiliyah modern. Kita bodoh banget, nikah ngasal aja nikah 'bermodalkan' suka sama suka, kerja asal kerja yang penting dapet uang, anak istri bisa makan.


Untuk melakukan apapun, ketahuilah apa yang harus dilakukan. Jangan ampe deh cuma ngeliat dari satu sisi. Actually, saya sungguh salut sama ayah ibu zaman sekarang yang banting babi membuta tulang, saking membela keluarga mereka rela kerja seharian, kerja shift malam, cuma buat menghidupi keluarganya. Tapi sungguh, berkeluarga ga semata-mata dan sekali-kali hanya untuk itu. Cari uang buat makan, sekolah anak, tabungan, belanja, terus abis, kerja lagi. Engga !


Mari kita mulai berpikir cerdas, lalu kita bekerja cerdas. Kerja keras sekali aja, kerja cerdas yang berkali-kali. Usia emas si anak jangan pernah di sia-siain. Menjadikan anak cerdas itu bukan saat dia masuk PAUD tapi semenjak kita masih lajang, semenjak si calon ibu dikabarkan hamil. Juga dengan cara si ayah ga ngerokok. Masa ayah tega sih anaknya kena penyakit paru-paru gegara jahiliyah-nya ayah? Juga dengan cara si Ibu mengatur emosinya saat hamil supaya anaknya ga emosian.



Ayo, kita mesti tau apa yang mestinya kita lakuin biar ga salah arah, salah langkah hingga berujung tersesat, tak tau arah jalan pulang karena aku tanpa Know What To Do hanya butiran debu.



@imardalilah

p1

Think Globally Act Locally

Saya tuh bisa dibilang Lady Racer (eh apaan tuh yaaa artinya, xixixi). Itu tuh artinya tukang ojeg, wkwkwk. Dari SD saya udah belajar mengendarai sepeda motor. Pas SMA ke sekolah pake motor, kemana-mana udah sering pake motor. 


Sampe kuliah juga ke Rawamangun pake motor, Pergi Pulang (PP) naik motor dari akhir semester 2. Surat Izin Mengemudi (SIM) udah punya sejak 5 tahun lalu, bentar lagi mesti diperpanjang. Kalo SIM (Surat Izin Menikah) sih belom ada, wkwkwk.


Saya jadi anak jalanan kali yaaa, hehe. Cuma bedanya saya ga bawa kecrekan sama plastik bekas bungkus permen, xixixi. Kehidupan dijalanan tuh banyak yang bisa diamati. Saya kadang suka mikir (pas otaknya bener, baru di servis) orang-orang ga ngelakuin hal-hal kecil tapi sebenernya itu punya pengaruh dan memperlihatkan dirinya juga agamanya.


Misalnya gini deh, feel ngendarain motor di Jakarta sama di Bogor itu kerasa banget bedanya. Kalo di Bogor tuh feel-nya bisa lebih kalem. Nah kalo di Jakarta beuh ibarat lagi nge-track di Sentul, xixixixi. Paling seru itu pas di Traffic Light (TL) lampu merah, beuh itu motor baris paling depan, pokoknya pada ga mau ngalah. Maunya ‘gw paling depan, lo mesti dibelakang gw’. Itu udah kayak mau balapan.

Saya suka iseng perhatiin traffic light-nya. Pas pindah dari lampu merah-kuning-ijo, saya ngasih aba-aba ke diri sendiri. Itu berasa beud feel balapannya wkwkwk. Semua pengendara motor bersiap dengan aba-aba, sambil nge-gas ‘gruuuung gruuung meooong’. Wusss wusss wussss. Tarik gas, ga ngebut sih cuma narik gas-nya sampe mentok K


Saya ga abis pikir gitu yaaa. Selow aja napa, entar juga kebagian jalan. Keliatan banget kan egois, serobot sana serobot sini. Bukannya membahayakan diri sendiri juga orang lain kalo kayak gitu? Ngebut boleh aja, tapi ga sradak sruduk kayak kebo ngamuk.


Belum lagi ya kalo lagi nunggu lampu ijo, didepan kita ada motor 2 tak. Tau ga motor 2 tak kayak gimana? Itu yang knalpotnya ngebul terus. Ampuuun dah, mana panas, capek, bau beud lagi tuh asap, polusi, bikin penyakit aja. Knalpotnya berisik, gas dimainin terus. Emang itu gas ga capek apa dimainin terus? Kasih dong kepastian? *Lah, salah fokus.


Helooooo, lo pikir jalanan punya nenek moyang lo? Punya lo? Lo kayak gitu bukannya zholim sama orang lain? Kalo agama lo Islam, malu dong. Sebagai muslim masa kelakuan ga islami sih? Kita tuh kalo ribut-ribut tentang Islam udah tinggi banget, berasa paling bener, paling soleh. Telunjuk pas tahiyat lah diributin, bismillah pas baca Al Fatihah solat lah diributin, qunut lah diributin, Palestina lah diurusin. Puyeng abdi.


Menurut saya, perlihatkan kita adalah seorang muslim yang baik, yang rahmatan lil ‘aalamiin. Kalo ada perbedaan, yasudahlah ga usah diribut-ributin. Kita sampe Palestina aja diurusin, Indonesia Negara kita sendiri diurusin ga? Apa yang udah dikasih buat Indonesia?


Ngaji udah kemana-mana tapi pas berangkat ngaji ga tertib lalu lintas. Ga pake helm, semotor tuti (tumpang tiga), sampe orang lagi ‘kebagian’ lampu ijo diberentiin paksa karena rombongannya lewat. Hidup mewah, boros, hobinya gossip, gibah, belanja belanji. Mobil sih harga 300jutaan ke atas tapi pas buka kaca mobil eh ngelempar sampah ke jalanan. Ih ga malu tuh sama harga mobil? Kayak gitu namanya muslim?


Ngendarain motor tengah malem di komplek, di kampung, ngebut ga karuan. Aduh itu knalpotnya berisik bener. Itu kan ngeganggu orang yang lagi istirahat, zholim bukan itu namanya? 


Buat nisa-nya, abis wudhu jangan langsung pake kaos kakinya dong. Kan jadi bau. Nutup aurat sih nutup aurat tapi perhatiin juga kebersihan dong. Di lap dulu kek, atau bawa 2 kaos kaki. Badan jangan bau keringet, bau ketek, mulut juga bau, jilbab dekil. Hadeuh gimana rijal mau ‘suka’ kalo begitu?


Emang kalo ngurusin Palestina ga boleh? | Boleh aja. Tapi pake deh rumus “Think Globally, Act Locally”, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Berpikirlah yang luas, tapi lakukan dari yang kecil, dari dimana kamu tinggal. Bukannya kalo kita begitu memperlihatkan Islam seperti itu juga? Yah, kita bukannya menolong agama Allah malah jadi fitnah.


Kalo kata Aa Gym, kita tuh rempong banget. Banyak banget yang kita pikirin, yaaa dunia lah, koruptor yang malingin duit Negara, pemimpin yang ga amanah, wakil rakyat yang ga amanah, sampe ayam tetangga aja kita pikirin. Tapi kita ga pernah mengubah diri kita. Simple, lakuin 3M ditambah rumus yang tadi tuh.



Kita terlalu fokus ke hal yang besar tapi melupakan hal yang kecil dan mengecilkan hal kecil itu. Padahal orang jatuh itu bukan karena batu besar tapi karena kerikil, yang kecilnya nyaingin upil –mungkin. Itu kata guru saya dan itu tamparan untuk diri saya sendiri.


@imardalilah

p1

Investasi Pahala dan Dosa

Kerasa ga sih sekarang banyak banget orang yang mikirin uang mulu? Materialistis banget. Saya baru ngeh pas nonton tipi, yaaa lagi-lagi tipi jadi salah satu obyek analisis saya. 

Dari tayangan tipi menurut saya menggambarkan masyarakat Indonesia sedang mengalami budaya seperti apa. Ga bisa dipungkiri adanya tayangan suatu program di tipi karena adanya permintaan dan minat dari penontonnya. Bertahannya suatu program tipi karena banyaknya masyarakat yang menonton acara tersebut.


Kadang saya nonton tipi karena bosan, kadang juga Cuma sekedar pengen tau lagi rame apa sih di tipi-tipi itu. Banyaknya acara kuis, acara pencarian bakat, acara bagi-bagi uang, memperlihatkan sekali masyarakat Indonesia lapar uang. Coba aja liat mimik muka mereka, liat sebenernya orang-orang yang ikut audisi pencarian bakat mau uangnya, mau terkenalnya, atau mau mengasah kemampuannya. Terlihat jelas.


Media elektronik seperti televisi sangat sangat mempengaruhi masyarakat. Dimana infotainment mempertontonkan artis-artis yang hidup glamour, bermobil milyaran, rumah seperti istana, tas-tas branded, dan yang lainnya. Itu menjadi contoh untuk masyarakat yang menontonnya. Inget loh, saat ada orang yang mencontoh kita –sekalipun kita ga ada niat untuk memberikan contoh—kita bertanggung jawab atas hal itu.


Kalo kita buruk lalu dicontoh,ditiru, dijadikan role model oleh orang kita punya ‘rantai’ dosa, punya investasi dosa. Dan sebaliknya, jika kita baik lalu dicontoh, ditiru, dijadikan role model oleh orang lain kita punya ‘rantai’ pahala, punya investasi pahala. Maka, berhati-hatilah dalam bersikap.


Misalnya gini deh di tipi ada ada sinetron yang menceritakan orang ga punya uang, udah gitu banyak utang. Dia putus asa, entah apalagi yang mesti diperbuat olehnya. Debt collector nagih terus, ditelponin terus, rumah terus disatronin. Sampe akhirnya orang tersebut buntu akal dan memutuskan untuk ngerampok.


Kebetulan kita yang nonton ada di posisi yang sama dengan alur cerita sinetron tersebut. Nah kita jadi punya ide untuk menyelesaikan masalah dengan cara ‘cepat’ dan ‘instan’ yaitu dengan ngerampok. Itu salah satu contohnya.


Atau misalnya ada cewek pake baju yang terbuka, serba ngepas kayak leupeut merecet singset wkwkkw. Mungkin kayak cabe-cabean gitu yaaa xixixi. Lalu dia pergi ke luar rumah, jalan-jalan dengan berpakaian seperti itu. Ada pemuda yang melihatnya lalu terangsang syahwatnya. Karena dikuasai oleh syahwat, si pemuda tersebut mencari pelampiasan. Ada anak kecil, dia ‘embat’. Kena lah si cewek cabe-cabean tadi ‘rantai’ dosanya.


Wah enak aja nyalahin saya. Harusnya dia bisa tahan dan jaga dirinya dong? | Iya betul sekali, memang seharusnya kita menahan dan menjaga diri kita sendiri karena kita ga bisa menahan dan menjaga diri orang lain. Dengan kita menahan dan menjaga diri sendiri, otomatis orang lain pun terjaga. Kasus tadi memperlihatkan bahwa kita bisa membawa pengaruh baik/buruk terhadap orang lain.


Menjadi seorang artis itu ga mudah. Orang dengan mudah melihat keseharian si artis, apa yang dilakukan, gaya hidup, dan segala macamnya. Masyarakat banyak yang nafsu sama duit, bisa juga karena ada pengaruh artis tadi ditambah dengan daya ungkit media yang bisa menyebarkan virus begitu cepat.


Bukan cuma jadi artis, pun jadi yang lain mestilah pintar menjaga dan menahan diri. Jadi pengusaha stasiun tipi terlebih lagi kan karena itu sumber rezekinya, baik buruknya acara yang ditayangkan bisa mempengaruhi baik buruknya rezeki yang didapatkan.


Banyaknya sekarang motivasi seseorang itu to have (memiliki). Memiliki uang, harta benda, ketenaran, dll. Baiknya minimal sekali agar hidup kita bernilai milikilah motivasi hidup to be (menjadi). Menjadi artis, apakah termasuk to be? Belum tentu. Jika dia ingin menjadi artis sekedar tergiur oleh penghasilannya, gaya hidupnya, ketenarannya, itu termasuk to have. Materialistis.


Misal menjadi artis yang menginspirasi masyarakat dengan karya-karyanya, prestasinya, dll, itu baru termasuk to be. Menjadi, kebermanfaatan yang muncul dari dalam diri tersebar ke orang lain.



Yuk daripada mengutuk kegelapan lebih baik kita menjadi cahaya, walaupun setitik. Cuma ada 2 kemungkinan, jika kita bukan bagian dari solusi maka kita bagian dari masalah. Saya ga akan pernah bosan untuk mengajak teman-teman berbuat, sekecil apapun. Karena ga ada perbuatan sekonyong-konyong gueeede.



@imardalilah

p1

Rumput Tetangga Lebih Hijau

Ke inget iklan yang contentnya rumput tetangga lebih hijau. Si Embeee liat rumput sebelah lebih hijau, lebih segar dan lebih menggoda *uHUG. Eh ternyata pas disamperin tuh rumput sintetis, wkwkwk. Ketipu kan looo. Udah gitu ada harimau lagi, wkwkwk. Ngenes bener. Udah ketipu, dikejar sama harimau lagi. Mending kalo dikejar cinta atau jodoh *eh. Xixixiixixi.


Sering ya kita ada di posisi si Embeee itu? Menganggap rumput tetangga lebih hijau, asri, menyenangkan, menenangkan, segar, dan lebih menggoda. Dan menganggap kalo rumput kita itu ga menggairahkan, ga segar, membosankan, ga enak, dll. Padahal itu kan cuma keliatannya aja, sama kayak si Embeee itu. Pas disamperin ternyata eng ing eng cuma fatamorgana doang.


Dulu juga saya pernah mengalami apa yang si Embeee alami. Kondisi seperti itu penyebabnya karena saya ga bersyukur dengan apa yang saya miliki. Menganggap bahwa kehidupan orang lain lebih enak, lebih menyenangkan, lebih beruntung dibandingkan saya yang hidupnya ga enak, ga menyenangkan, ga beruntung. Padahal saya ga pernah tau apa yang sesungguhnya dirasakan orang itu rasakan dengan kehidupannya.


Saya asal nilai, asal judge, asal ngira-ngira. Itu suatu kesalahan yang saya lakukan, fatal banget. Saya kufur nikmat kepada Allah karena ga bersyukur sama kehidupan saya. Malah ngebanding-bandingin kehidupan saya dengan orang lain. Ternyata sikap saya itu mempengaruhi apa yang saya lakukan, mental saya melempem, ble’e e e e ela e e e ela e. Udah jangan diterusin entar malah bau.


Taubatan nasuha dah saya, ga mau lagi bilang rumput tetangga lebih bergoyang eh lebih hijau. Ga ga  ga mau, ga ga ga mau (Ala 7 icons). Mulai open mind, sering nyuci otak di laundry sebelah rumah biar bersih, biar kena sinar matahari juga. Supaya otak ga mikir sempit, sesempit daun kelor.


Saya melihat dengan mata dan hati apa yang dialami oleh teman-teman disekitar saya, saya jadi lebih bersyukur. Saya bersyukur ga mengalami apa yang mereka alami. Sumpeh, jujur aja kalo saya mengalami apa yang mereka alami saya ga kuat. 


Saya ga kuat mesti kerja monoton tiap hari, saya ga kuat naik angkot tiap hari pake macet-macetan berjam-jam, saya ga kuat ditanyain mulu kapan nikah, saya ga kuat ga ngemil (wkwkwkw), saya ga kuat merantau ga pulang-pulang (xixixi), saya ga kuat kuliah sore sampe malem, saya ga kuat pokoknya.


Kalopun ada orang yang melihat hidup saya enak, ya itu ga seperti yang terlihat. Namun bagi saya, hidup saya jelas lebih enak (bukan iklan) dibandingkan orang-orang disekitar saya. Kenapa? Karena jika hidup saya seperti mereka belum tentu saya sanggup menjalaninya. Allah berikan hidup masing-masing manusia sesuai kemampuannya. Artinya pada saat kita mengalami suatu hal ini itu, tandanya kita mampu. Namun sering kita ‘memandulkan’ diri, mengatakan bahwa ‘saya ga mampu, ini terlalu berat bagi saya.’


Bukan berarti kita berbangga diri dengan diri kita dan menunjuk-nunjuk idung orang lain bahwa hidupnya ga seenak hidup kita. Kita tetap belajar dari kehidupan mereka, nilai-nilai positifnya kita tiru dan aplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.


Dengan saya bersikap demikian, bikin saya SALUT pada teman-teman saya. Beneran, saya salut banget sama mereka. Kagum, dan suka heran “Wih bisa ya lo lewatin fase kayak gitu. Gue aja belum tentu sanggup. Salut, Hebat!” Bagi saya mereka semua adalah guru. Pengalaman kehidupan saya jauh dibawah mereka.


Ayo kita ambil sikap, mensyukuri apa yang kita miliki, mensyukuri apa yang telah Allah berikan pada kita. Sekalipun itu menyakitkan, syukurilah. Karena dari pesakitan itu kita akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih bijaksana, lebih kental santannya, hihihii. Ayo kita yakini bahwa Allah memberikan segala sesuatu sesuai kemampuan kita.



Jangan lagi membandingkan rumput tetangga dengan rumput kita. Seperti halnya saat solat, kita fokus melihat ke sajadah. Sajadah kalo ga salah artinya tempat tinggal *CMIIW, implementasi dalam kehidupan sehari-hari adalah kita wajib kudu mesti fokus sama rumah kita bukan rumah orang lain. Kalo mau belajar, itu beda urusan.


Rumput gue jelas lebih HIJAU :)


@imardalilah

p1