Gemericik hujan menyamarkan suara isak tangis manusia yang berjalan ditengah serbuan ribuan tetes air.

Hujan, ia seakan mewakili tabiat manusia. Menangis. Terisak sedu. Petirnya yang menggelegar bak teriakan manusia yang sudah tak kuasa lagi menahan rasa duka.

Langit, ia seakan mewakili mata manusia. Terkadang ia bermuram durja bahkan menangis. Diujung langit bagian lain terlihat mendung. Terlihat sekali ia sedang tak bahagia. Terkadang ia tersenyum cerah menerangi manusia yang ada di bumi.

Langit, ianya bak mata manusia. Apa yang sedang ia rasakan tak pernah sedikitpun bisa membohongi manusia yang melihatnya.

Mata manusia, satu-satunya yang tak bisa berbohong. Lisan yang mengucap bisa berkata apapun. Menutupi perasaan hatinya. Menutupi kegelisahannya. Namun mata, apa yang bisa ia sembunyikan dari hatinya? Tidak ada.

Ribuan kali mata menangis --mengeluarkan jutaan tetes air mata-- ia tak akan pernah kering. Bak siklus hujan dan air di bumi. Air hujan yang turun ke bumi diserap oleh tanah yang kemudian dialirkan ke sungai dan lautan. Lalu awan membawa molekul-molekul air yang kelak menjadikannya air hujan. Seterusnya begitu.

Malam ini langit malam menyembunyikan gemerlap bintang dan cahaya bulan.
Malam ini langit malam lebih memilih menghadirkan jutaan tetes air hujan, memutar suara gemericik suara air yang jatuh diatas tanah, dan membasuh sebagian permukaan dengan isak tangisnya.

Air hujan yang mengalir membawa apa yang ada dihadapannya, termasuk luka orang-orang yang malam ini sedang merasakan pilu.

Hujan, aku rela kau bawa luka itu sejauh mungkin. Ke muara sungai yang kau suka. Kemanapun. Sapu bersih ia.

@imardalilah

Leave a Reply