Korupsi adalah perilaku mengambil apa yang bukan menjadi haknya. Ianya masuk dalam kategori kejahatan. Sedangkan pelakunya disebut koruptor. 


Koruptor itu sama saja seperti maling, pencuri, copet, rampok. Hanya saja, koruptor adalah penjahat berkerah putih. Penjahat bertangan bersih. Mereka (para koruptor) melakukan aksinya tersistem dan terencana.


Indonesia merupakan negara yang menjadi surga bagi koruptor. Bagaimana tidak? Berapa banyak koruptor yang terjerat hukum namun masih bisa melenggang bebas diluar. Atau jangan kejauhan kesana deh. Berapa banyak koruptor yang bisa menikmati penjara layaknya hotel bintang lima?
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?


Menurut saya karena aturan (hukum) atas koruptor dan penegakannya yang masih terlalu ‘manis’ untuk seorang koruptor. Di Indonesia tidak ada koruptor di hukum mati (sepengetahuan saya). Paling-paling di penjara sekian tahun (itu pun masih bisa jalan-jalan ke luar negeri dan makan di restoran, hahaha).


Dengan penjara yang hitungan tahun dan denda yang sangat kecil tidak akan membuat koruptor jera. Koruptor yang keluar penjara masih punya uang hasil korupsi dia. Dia masih bisa menikmati ini itu dengan mudah. Tidak ada rasa malu sudah merugikan negara dan memakan uang rakyat. Semestinya koruptor itu wajib mengembalikan seluruh uang hasil korupsi, lalu bayar denda senilai uang yang ia korupsi, dan terakhir di hukum mati.


Belum lama ini sahabat saya Pungki Harmoko, seorang diri mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Tipikor yang dianggap tidak sesuai dengan ruh pemberantasan korupsi di tanah air.  Guru privat tersebut menggugat pasal 2 ayat 2 UU No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi dan meminta pemberlakuan hukuman mati bagi para koruptor.

Pungki Harmoko, menyampaikan pokok-pokok permohonan dalam sidang uji materi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), Selasa (29/9) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. *sumber : website MK.

Tidak seperti perawakannya yang kecil, Pungki memiliki nyali yang besar. Pria kelahiran Jakarta 36 tahun silam ini menganggap bahwa UU PTPK tidak selaras dengan cita-cita dan tujuan berdirinya NKRI. Baginya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) tidak mampu mewujudkan apa yang telah dicita-citakan substansinya sehingga merugikan secara khusus kepada dirinya. Kerugian tersebut terletak pada hilangnya hak dan harapan Pungki sebagai warga negara Indonesia akan terwujudnya cita-cita berdirinya NKRI, yaitu Negara yang makmur dan sejahtera.


Berdasarkan alasan tersebut, Pungki meminta agar penjelasan pasal 2 ayat 2 UU PTPK yang bertentangan dengan UUD 1945 diganti dengan penjelasan pasal yang sama dalam UU PTPK 1999. Karena menurutnya, penjelasan pasal 2 ayat 2 UU PTPK 1999 memungkinkan untuk memberlakukan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi.


“Ada frasa dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 UU PTPK No. 20 tahun 2001 yang menyebabkan hukum tidak dapat ditegakkan,” ujar Pungki dalam salinan gugatannya di website MK, Senin (28/9/15).


Koruptor harus diberikan efek jera. Caranya hukum mati koruptor. Selama ini hukum yang dikenakan bagi koruptor tidak ada efek jera. Itulah mengapa koruptor merajalela dan Indonesia kini dalam kondisi darurat korupsi.


Hukuman bagi koruptor terlalu ringan. Padahal kerugian yang dialami negara tidak sedikit. Secara tidak langsung koruptor itu seorang pembunuh, pembunuh rakyat. Makan uang negara, uang yang menjadi hak rakyat, uang untuk mensejahterakan rakyat (khususnya rakyat miskin dan dibawah garis kemiskinan) dia ambil tanpa rasa berdosa. Orang yang membunuh satu orang saja bisa di hukum mati kok. Kenapa koruptor yang ‘membunuh’ puluhan juta rakyat Indonesia tidak di hukum mati saja?


Jika hukuman mati diberlakukan dan ditegakkan, maka orang-orang yang berniat korupsi akan berpikir ulang. Menurut saya, jika hukuman mati itu selalu bertentangan dengan HAM atau Komnas HAM mestinya ditanyakan balik kepada Komnas HAM (atau siapapun yang menentang dengan alasan HAM) : 

“Bukankah koruptor telah mengambil HAM puluhan bahkan ratusan juta nyawa rakyat Indonesia? Lalu mengapa masih berkata dan berkelit bahwa koruptor mempunyai HAM? Mengapa kita lebih memilih menyelamatkan satu-dua nyawa koruptor dibandingkan nyawa puluhan bahkan ratusan jiwa rakyat Indonesia?”



 Please, think again and be smart J


Sebagai penutup saya salut dengan keberanian sahabat saya tersebut.  Mas Pungki terus berjuang walau sendirian menyuarakan yang saya yakin ini pun menjadi keinginan rakyat Indonesia. Sebelumnya pada tahun 2012 beliau pernah mengajukan gugatan tersebut ke MK namun dicabut.


Semoga tulisan ini menjadi salah satu penyemangat Mas Pungki walau pun saya tidak ikut serta mendatangi MK. Semoga tindakannya ini menjadi awal kebangkitan suara rakyat untuk menumpas koruptor di bumi Indonesia dan menyadarkan rakyat Indonesia bahwasannya mereka memiliki hak konstitusi sebagai warga Negara Indonesia untuk menguji atau menggugat UU yang tidak sesuai dengan tujuan dan dasar NKRI.


Mari dukung Mas Pungki dalam bentuk apapun. Selama koruptor masih ada, korupsi akan tetap ada. Maka berantaslah koruptornya bukan korupsinya. Hehe…. 


One Response so far.

  1. Anonim says:

    Good job, Mas Pungki. Maju terus pantang mundur.

Leave a Reply