Cewek Merokok? So What?

Weekend, bagi sebagian orang sangat menyenangkan dan ditunggu-tunggu. Kenapa? Karena libur dari aktivitas selama weekday. Bisa hang out bareng teman, keluarga, bahkan pacar mungkin? Weekend, bagi saya sih biasa-biasa saja. Cuma ya memang di akhir pekanlah saya bisa hang out bareng teman. Sekedar cuap-cuap ngomongin ke-bodoh-an zaman sekolah, haha.

Weekend gini sih biasanya cuma nongkrong di resto fastfood, ngobrol ngalor-ngidul nggak penting, hihi. Satu-dua menit sih suka ada obrolan yang penting sih.

Malam ini nongkrong. Saya datang paling duluan, jam 20:20. Sepuluh menit kemudian, datang satu orang. Saya pesan makan duluan. Lapar.

"Mau pesan apa?" Tanya saya pada teman.
"Minum aja." Jawab ia singkat.

Lima menit kemudian saya datang dengan satu porsi nasi, ayam, kentang goreng, dan dua minuman.

Sudah setengah jam yang lain belum juga ada yang datang. Saya sudah selesai makan dan cuci tangan. Perasaan sudah mulai dongkol. Intinya mah pada nga to the ret, ngaret. Hufttt... Ada yang datang jam sembilan lewat, jam sepuluh, bahkan jam setengah dua belas. Malem loh itu. Ya tak enteni rek. Sebel sebel enyoy.

Namanya malam minggu ya, banyak anak muda yang kongkow bareng teman-temannya. Ya termasuk saya and the genk. Kami duduk di luar, smoking area. Actually, i hate it. Asapnya itu loh yang nggak nyante. Nusuk idung, nusuk tenggorokan. Duh bang, bisa nggak asapnya abang telen aja? Neng nggak kuat nih.

Sebenernya udah seneng tuh sebagian pada pergi. Agak lega nih hidung nyerep oksigennya. Eh nggak berapa lama pada datang alayers. Penuh lagi dah tuh kursi-kursi.

Saya perhatiin satu-satu. Mereka datang bergerombol. Ya lebih dari empat orang. Arah jam 5 saya ada segerombol abege, 5 cowok 1 cewek (kalo nggak salah, yang pasti ceweknya satu duduk di tengah). Liat dari muka dan dandanannya, saya berdecak hemm... Bukan berdecak kagum, kayak something wrong deh sama itu anak. Nggak begitu lama pas saya nengok ke belakang, bener aja, doi ngerokok.

Satu gerombolan di samping berselfie ria. Yang ini lebih banyak ceweknya di bandingkan cowoknya. Datang lagi sepasang muda-mudi, nampaknya temenan bukan pacaran, si cewek ngerokok. Perawakannya bongsor. Saya perhatikan bibirnya, hmm...emang perokok aktif.

Sekilas terdengar dia bercerita bahwa keluarga sudah tahu dia merokok dan yasudahlah ndak apa-apa kata orang tuanya. Asal kalau ada yang datang ke rumah merokok di belakang atau di toilet. Saya cuma bisa ngomong dalam hati "oh".

Nggak lama datang dua cewek. Duduk persis di samping saya. Satu temannya mengeluarkan sebungkus rokok, entah merk apa. Yang pasti bukan kretek. Hehe, yakali anak muda ngerokok kretek, bisa di bilang wis tue ya?

Sebeum di buka, ia pukul-pukuli dulu tuh orang. Saya nggak ngerti, apa salahnya si rokok sampai di pukuli seperti itu. Di getuk-getuk gitu. Nggak tahu deh biar apa. Nggak paham. Lalu dia buka bungkusnya, ambil satu batang, dan HAP!

Fenomena cewek merokok itu emang biasa aja sih buat saya. Sudah nggak aneh lagi. Tapi di masyarakat pada umumnya masih tabu. "Gile, cewek ngerokok?" Cewek yang merokok dianggap 'nakal'.

Kalau kita mau tarik garis penyebab cewek merokok sih banyak faktor. Tapi menurut saya, faktor utama ada pada keluarga. Kenapa? Kenapa ya, hahaha...

Hmm...gini, ketika anak marah kepada orang tua dia bisa melampiaskan kemarahannya pada apapun. Termasuk merokok. Itu salah satu contoh saja. Penyebabnya nggak selalu karena anak marah kepada orang tuanya. Bisa karena nggak nyaman di rumah, kurang perhatian, kurang kasih sayang, dan sebagainya.

Dulu, saat saya melihat cewek merokok saya langsung judgement. Tapi sekarang melihat mereka saya justru kasihan. Duh neng, kamu punya rahim. You are first school, first teacher for your kids. Ah, pokoknya cewek itu penting banget deh nanti kalau jadi ibu.

Saya punya teman cewek perokok berat. Gile, kalo doi ngerokok rasanya pengen melambaikan tangan ke kamera. Hayati nggak kuat bang. Mending ngisep bau duit deh daripada asap rokok, hahaha.

Dia begitu karena dia marah pada keluarganya, orang tuanya. Dia ingin membuktikan dia kuat. Oh girl, gue tahu lo tuh rapuh, rapuh banget.

Saya tahu dia perokok apa lantas membuat saya menjauhinya? Membencinya? Atau bahkan meninggalkannya. ENGGA! Karena saya tahu sebenarnya dia nggak kepengen begitu. Sebobrok-bobroknya orang pasti nggak mau di jauhi teman-temannya. Maka, rangkullah. Jangan seperti pengalaman saya dekat dengan ukhti-ukhti dan diantara mereka ada yang pacaran lalu dijauhi. Bergaul nggak seperti itu, bukan?

Saya melihat 'orang suci' yang menjauhi 'orang kotor' seperti melihat najis besar. Jika mereka melihat kotoran tersebut pada temannya, mereka jauhi. Seharusnya jika memang sayang dan ingin orang-orang yang kata mereka itu najis mbok ya di rangkul. Kita nggak pernah tahu kan kenapa mereka seperti itu? Mengapa mereka berbuat demikian?

Jika kita di posisi mereka, apa kita mau di jauhi? Di benci?

Saya memang nggak suka perokok tapi bukan berarti teman saya, si cewek perokok itu, saya jauhi karena dia merokok. Who knows oneday dia berubah atau saya bisa membantunya berubah?

Berteman, bersahabat, lebih daripada sekedar kongkow bareng, ketawa bareng, liburan bareng, ngobrol sampai pagi, nraktir, bahkan bantuin saat teman susah. Tapi juga tidak sampai kita mengikuti yang salah dari mereka hanya karena solidaritas. Benar kita dukung, salah kita rangkul.

Jadi, jangan pernah langsung menghakimi saat kita melihat seseorang berperilaku tidak sesuai norma yang berlaku. Di hakimi tanpa di adili itu menyakitkan. Cewek merokok? So what? Do'akan saja mereka :)

Love you my friends

@imardalilah

p1

Keep Going On

Beberapa waktu lalu, menulis menjadi rutinitas saya. Tepatnya akhir tahun 2013 saya memutuskan untuk menulis satu hari satu artikel. Kenapa? Karena saat itu saya ingin menjadi seorang penulis. Akhirnya saya berkomitmen rutin menulis setiap hari, melatih diri skill menulis saya. Bukan karena saya merasa tulisan saya bagus. Tapi karena saya memiliki suatu keinginan. Maka saya berpikir langkah saya haruslah sesuai dengan apa yang saya inginkan.


Komitmen sudah saya tentukan dan tentu saja konsekuensinya saya harus meluangkan waktu untuk melaksanakan komitmen saya tersebut. Di awal memang saya sangat bersemangat, hingga perlahan saya excuse karena ada hal yang lebih prioritas yaitu menyelesaikan skripsi. Akhirnya blog saya ini saya isi sesempatnya saja. Hingga akhir 2014 terjadi peristiwa besar dalam hidup saya dan men-distract kehidupan saya.


Singkat cerita, blog ini saya hidupkan lagi (saat ini). Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis kembali. Tapi entahlah, otak seperti blank. Tidak tahu harus menulis apa. 


Penyebab blog ini saya isi kembali adalah tugas dari guru saya untuk berlatih menulis. Sebelumnya memang sudah saya katakan apa keinginan saya, blablabla...saya katakan panjang lebar. Bahkan saya mengatakan bahwa saya merasa bukan ingin menjadi penulis. Guru saya hanya berkata : "Lakukan tugas menulisnya, nanti kamu tahu apa maksudnya." Sebelumnya saya sudah ditugaskan untuk menulis.


Sebagai murid, saya sami'na wa atho'na. Ya walau pun saya blank tidak tahu harus menulis apa. Saya tidak tahu mengapa ini harus saya lakukan. Lumayan berat bagi saya yang harus tahu alasan dibalik sesuatu. 


Berhari-hari saya pikirkan sapa yang harus saya tulis. Mengapa dulu saya bisa dengan mudahnya menulis sedangkan sekarang tidak?


Lalu saya teringat pesan guru saya tersebut : lakukan saja, nanti kamu akan tahu. 


OK. Keyakinan dan kepercayaan dalam menuntut ilmu antara guru dan murid memang sangat di perlukan. Saya yakin dan percaya kepada guru saya bahwa beliau memberikan arahan sesuai dengan diri saya. Maka saya memutuskan untuk just do it, keep going on, keep running even you don't know. 


Mudah? Tentu saja tidak.


Manusia itu sering sekali tidak percaya, bukan? Terlebih dengan yang tidak terlihat, tidak berwujud, invisible, dan belum terbukti/teruji. Padahal Allah jelas mengatakan bahwa ciri orang beriman adalah percaya pada yang ghoib. Apakah yang ghoib itu hanya sebangsa jin? Tentu saja definisinya lebih luas daripada itu. Termasuk kasus yang saya alami diatas.


Manusia.... Jangankan percaya dengan sesama manusia. Pada Allah saja sebatas di mulut beriman, percaya, dan yakin. Tapi sering hatinya atau apa yang di lakukannya menunjukkan bahwa dia tidak yakin pada Allah.


Ya, beriman atau yakin atau percaya adalah pertaruhan keyakinan seumur hidup. Seperti saya, untuk hal seperti ini saja saya masih banyak berpikir dan bertanya-tanya. Mungkin jika di hitung selama saya hidup lebih banyak tidak yakin atau tidak percaya dalam diri saya.


Dengan keterbatasan yang saya miliki sebagai manusia, saya hanya bisa keep going on. Jika saya berhenti, saya MATI. Manusia bisa HIDUP hanya dengan (tetap) bergerak. Yup, bergeraklah hingga akhirnya langkahmu menyampaikan pada tujuanmu.



@imardalilah


p1