Posted by Imar in
on
-
Bebas. Nampaknya banyak diantara manusia menginginkan hal
itu. Mungkin juga termasuk Aku didalamnya. Siapa yang tak ingin bebas
menentukan arah hidupnya? Berjalan semaunya? Melakukan apapun yang ia suka dan
inginkan? Tentu saja sebagian besar manusia menginginkannya.
Hidup ini ada yang mengawali. Tentu saja Yang Maha Mengawali
tidak serta merta menciptakan manusia tanpa teman lainnya. Dia menciptakan
manusia satu paket yaitu manusia, bumi, dan Al Qur’an (aturan). Ketiganya tidak
bisa dipisahkan. Jika salah satu tidak ada, maka kehidupan tak akan berjalan
lancar.
Bayangkan jika Bumi ini tanpa manusia, siapa yang akan
mengelolanya? Bayangkan jika Bumi ini tanpa Al Qur’an, akan seperti apa
nasibnya? Bayangkan jika hanya ada manusia dan Al Qur’an saja, dimana manusia
tinggal dan melaksanakan aturanNya? Maka dari itu, Allah menciptakan satu
paket. Ada aturan Allah yang disebut Agama. Agama terdiri dari dua kata yaitu A
artinya tidak, Gama artinya kacau. Gunanya ada agama agar hidup manusia tidak
kacau dan agama tersebut termaktub dalam Al Qur’an.
Zaman sekarang nampaknya Al Qur’an hanyalah sebuah kitab
suci. Bukan petunjuk dan pembeda. Ianya hanya dipakai untuk hal-hal tertentu
saja. Hukum didalamnya digunakan jikalau ‘enak’ menurut manusia. Yang tidak
enak, tak perlu-lah dipakai. Maka kita lihat sekarang terjadi kekacauan dimana-mana
karena manusia telah jauh dari Al Qur’an.
Al Qur’an hanya di eja, dijadikan barang suci –yang jika
terinjak, terbakar, atau jatuh manusia menjadi marah karenanya. Namun manusia
tak pernah marah manakala sumber hukum tersebut tidak dipakai seutuhnya. Mereka
tak akan marah jika Al Qur’an tak lagi dijadikan sumber hukum. Padahal ianya
langsung berasal dari Allah yang menciptakan manusia-bumi-Al Qur’an satu paket.
Coba kita tanya, siapa yang paling tahu tentang suatu ciptaan? Tentu Penciptanya
bukan? Begitu pun hal tersebut. Namun manusia sok tahu menciptakan hukumnya
sendiri. Sehingga apa? Kacau balau semua.
Tak bisa dipungkiri, belahan dunia mana yang saat ini tidak
kacau? Penyebabnya satu karena kita telah jauh dari fitrahNya. Kita merasa kita
paling benar dengan apa yang kita lakukan dan ciptakan. Kita ingin bebas dari
aturanNya. Itulah sok tahu yang paling
berbahaya.
Sama halnya seperti saat fenomena tahun 1998 dimana banyak
mahasiswa yang menyerukan reformasi, menuntut rezim Orde Baru untuk turun –mengakhiri
pemerintahannya. Tuntutan itu diserukan salah satunya karena rezim Orde Baru
mengekang kebebasan masyarakat, pemerintah kala itu otoriter, tidak memberikan
kebebasan pada masyarakatnya untuk bersuara. Hingga akhirnya rezim Orde Baru
pun angkat tangan. Tak ada pilihan lain selain mengabulkan keinginan ribuan
orang yang mengepung gedung DPR/MPRRI kala itu.
Beberapa tahun kemudian hingga saat ini efek kebebasan itu
sangat terasa. Lihatlah semua orang menyuarakan kebebasan berpendapat,
menyuarakan hak asasi manusia mereka untuk bebas berbicara apapun –melakukan apapun
sesuka mereka. Jika ada yang menghalangi mereka, membungkam mereka dengan
ocehan-ocehannya itu maka dianggap sebagai pelanggar kebebasan berpendapat.
Penyeru kebebasan itu berpendapat bahwa inilah yang
diinginkan, demokrasi. Namun ternyata kebablasan. Kebebasan yang mereka
nisbatkan melanggar kebebasan orang lain. Para pejuang reformasi itu ibarat
manusia yang tidak mau melaksanakan Al Qur’an seutuhnya. Mereka sok tahu. Bagi mereka
rezim Orde Baru membuat bodoh masyarakatnya. Padahal boleh jadi seorang
pemimpin melakukan hal demikian karena untuk melindungi rakyatnya dari
opini-opini yang menyesatkan seperti sekarang ini. Justru dengan cara demikian
seorang pemimpin melindungi rakyatnya.
Dengan cara itu pula, bisa jadi pemerintah kala itu menjaga
kestabilan Negara. Opini menyesatkan sangat membahayakan bagi kestabilan Negara.
Masyarakat tidak lagi bisa membedakan mana opini, mana fakta. Mana orang baik,
mana orang jahat. Semua abu-abu.
Para pejuang kebebasan menyalahkan pemimpin otoriter
tersebut sehingga seolah-olah beliau adalah seorang pemimpin yang buruk yang
tidak patut dicontoh. Padahal selama puluhan tahun beliau menjaga stabilitas Negara
–diluar ketidaktahuan kita tentang sebenarnya beliau.
Kebebasan saat ini kebablasan. Pemimpinnya seakan tak punya
harga diri di mata mereka. Ibarat pepatah karena nila setitik rusak susu
sebelanga. Hanya karena cela satu hal, maka ratusan kebaikan yang dilakukan
pemimpin langsung tertutupi. Na’udzubillah.
Semestinya demokrasi yang diusung adalah demokrasi
terpimpin. Bukan demokrasi liberal seperti sekarang ini. Bebas namun tetap
dalam koridor aturan-aturan yang ditetapkan. Bebas bukan berarti menerabas
sana-sini. Bebas berarti boleh melakukan apapun asal masih dalam batas. Seperti
kuda liar yang dijinakkan, ia bebas berlarian kesana kemari namun pada tanah
lapang yang sudah dibatasi.
Pemimpin, siapapun ia mestinya harus kita dengar dan taati. Bukan
malah mengkhianati atau bahkan mencaci maki. Tidak juga buta mencintai akan
tetapi cinta berdasar rasionality. Sebagai warga Negara sudah seharusnya kita
siap mendukung pemimpin terpilih, terpilih sesuai dengan aturan yang sahih. Siapapun
pemimpinnya cinta mati kita hanya untuk Negara ini bukan untuk siapa dia yang
memimpin kali ini.
@imardalilah
Ngobrol yuk dengan saya :
worlditswonderfull@gmail.com