Hening. Hanya dentuman musik di headset yang menempel di telingaku yang ku dengar. Mungkin ada satu lagi yang terdengar selain suara itu. Itulah suara hatiku. Ya suara hatiku. Hanya angin yang berasal dari kipas anginku yang menempel didinding yang bisa kurasakan saat ini. Mungkin ada hal lain yang dapat aku rasakan, perasaan dalam hatiku yang entah tertuju untuk siapa.


Keheningan dalam ruangan yang tak lebih dari sembilan meter persegi ini sangat aku nikmati. Aku nikmati ditemani dengan perasaan yang tak karuan. Perasaan rindu, tapi entah rindu pada siapa. Perasaan sayang, tapi entah sayang pada siapa. Dan perasaan lainnya yang tak bertuan.


Perasaan logikanya tak akan pernah bisa disatukan dengan logika. Perasaan tak akan pernah sama dengan logika. Perasaan tak akan pernah bisa dihitung dengan kalkulator, dihitung dengan jari, dihitung dengan berbagai macam bentuk alat bantu apapun. Perasaan ya perasaan. Tak akan pernah masuk logika yang selalu mensyaratkan adanya data dan fakta.


Jangan pernah paksakan aku untuk menjawab apa yang sedang aku rasa saat ini. Karena berjuta kali pun kau tanyakan itu lidahku tetap kelu untuk menjawab, otakku tetap tak mampu menembus hatiku yang entah sedang merasakan apa didalam sana.


Jangan pernah pakai logika-mu untuk menembus segala yang aku rasakan kini. Jangan pernah pakai data dan fakta yang kau lihat untuk merasakan apa yang kurasakan ini. Cobalah untuk meraba dengan hati, cobalah untuk memahamiku dengan perasaan yang ada dalam hatimu. Jangan gunakan logika-mu, kau takkan pernah sampai menggapaiku dengan logika-mu itu.


Kau tau? Aku adalah makhluk perasa. Mana bisa aku merasakan logika-mu. Mana bisa aku merasakan dengan berbagai macam fakta-fakta yang kau kemukakan. Aku adalah makhluk perasa, aku hanya bisa merasakan. Jika yang aku rasa itu adalah nyaman bagiku, itulah yang ku yakini. Jika kau melihat dengan berbagai macam data yang mendetail, dengan ribuan fakta yang tertulis di kertasmu itu, kau tak akan prenah temukanku, dimana pun. Karena aku hanya hadir disini (menunjuk ke dada –hati).


Jika aku hanya ada di otakmu, jika aku hanya ada sebatas logika yang kau yakini, yakinlah kita tak akan pernah lama bersama. Bagaimana mungkin kita bisa bersama jika aku menyimpanmu di hatiku dan kau menyimpanku di otak-mu? Sangat jauh bukan?


Akulah makhluk perasa. Aku siap mencintaimu setulus hatiku, sepenuh jiwa ragaku, hanya untukmu. Apakah kau pun siap belajar menggunakan hatimu itu? Aku siap kau ajarkan untuk lebih obyektif, untuk bisa menilai yang baik dan buruk, sesuai realitanya.


Satu hal yang perlu kau ketahui dan mesti kau ingat, sesungguhnya sekalipun cinta itu tentang perasaan, tentang hati, tentang hal abstrak, tentang hal yang tak bisa kau lihat, kau raba, namun ianya akan semakin kuat kala kau bersamaku menjadikan aku seorang perasa yang bisa menggunakan logikanya. Hebat bukan kita?


Sudahlah, kita memang ditakdirkan berdua, kita ditakdirkan bersama. Membangun rumah ini dengan pilar cinta dan kasih sayang, dengan jendela dan pintu obyektivitas, dan hal lain yang akan kita lengkapi bersama. Kau dan aku itu hebat. Bukan lagi cinta buta, bukan lagi otak tak berperasaan. Tapi cinta berdasar logika.




@imardalilah

Terinspirasi dari Seorang Feeling dan Thinking

Leave a Reply